Rabu, 19 Juni 2013

PUISIKU YANG DIMUAT HU KABAR CIREBON, HARI SABTU TANGGAL 08 JUNI 2013

HANYA PADAMU

di subuh sendu
kulangkahkan kaki 
terseok susuri jalan-Mu
ditemani tetesan peluh
dan kedua sungai kecil
yang menderas luruh

suara rintihan biru hatiku
mengoyak lembar kelam keheningan-Mu
‘kan kuadukan semua gejolak pilu
hanya pada-Mu
ya, hanya pada-Mu

Kau satu
satu-satunya yang mengerti
satu-satunya yang masih menemani
satu-satunya yang kupercayai
satu-satunya yang setia mendengarku berbagi
hanya pada-Mu
ya, hanya pada-Mu

Cirebon, 08 Agustus 2012

PADA DIA

satu per satu menjauh
tinggalkan jejak membiru
berupa luka nganga di bongkahan dadaku
dan aku masih membisu

di pekat malam
kutitipkan berjuta pesan
pada desau angin nan girang
pada daun-daun bergoyang
pada Dia yang menghembuskan angin
pada Dia yang membelai daun-daun
pada Dia yang selalu ada
menemaniku dalam suka dan duka
jangan berpaling dariku walau sekejap saja

Cirebon, 06 September 2012

Selasa, 11 Juni 2013

PUISI DI ULTAHNYA MBAK RATNA

HARI JADI
oleh: Menning Alamsyah

dalam remang dunia maya aku mengenalmu 
lewat jempol indah yang menyapa
lalu menjelma rasa 
berbunga sapa dan canda

30 puisi menjadi saksi
kita tautkan imajinasi
sebagai sahabat terkasih
dan kenang itu tersimpan rapi
hingga kini

di hari jadimu
mampuku kirimkan permohonan tuk Ilahi robbi
semoga bahagia kan selalu kauraih
ukir senyum indah ‘tuk permata hati
seiring hembus napas yang Dia beri

Sahabat, selamat mengulang hari lahir
ingatlah! walau jarak jauh terbentang
namun kau nyata di sudut hati

Cirebon, 11 Juni 2013

Hari ini, Mbak Ratna membalas puisi saya itu seperti ini:
Terima Kasih, Sahabat

senyum manis nan merekah

sapa salam hangat indah
segala perhatian meruah

saling berbagi
saling mengerti
temukan inspirasi

rangkaian doa dipanjatkan
sebaris harapan disematkan

darimu
untukku 

terima kasih, sahabat
hadirmu memberiku semangat

***

Bandung, 11 Juni 2013
Terima kasih, Mbak Menning...

Rabu, 01 Mei 2013

BENARKAH KAU MENCINTAIKU?

Cerpen ini awalnya berjudul WANITA DAN CERITA HIDUPNYA, tapi dimuat HU. Kabar Cirebon, hari Sabtu, tanggal 27 April 2013, dengan judul ini:
BENARKAH KAU MENCINTAIKU?

Aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang wanita cacat tak berdaya. Kecelakaan itu telah merenggut kebebasanku. Kini, di atas kursi rodalah segalanya kuandalkan. Kutatap lekat sebuah foto pernikahan di layar monitor. Foto suamiku dan istri barunya. Pasca kecelakaan yang menimpaku, kuijinkan suamiku menikah lagi. Keputusan yang diprotes Ratna, temanku.

“May, seharusnya tak begitu mudah kau memberi izin Hans menikah lagi.”
“Lalu, apa yang harus kulakukan Rat. Aku tak mungkin menghalangi kebebasan Hans.” 
“Ya, memang. Namun Hans tak semestinya memperlakukanmu seperti ini.”
“Entahlah Rat. Aku hanya wanita cacat. Tak ada alasan aku melarang Hans. Dia tidak menceraikan aku saja. Aku sudah cukup bahagia.”
“May, aku mengerti perasaanmu. Aku percaya kamu akan mampu melewati ini semua.”
“Semoga Rat. Aku percaya tak ada yang sia-sia.”
“Ya, May. Aku kagum padamu. Kamu relakan suamimu membawa wanita lain ke dalam rumahmu.”

Aku tak menjawab. Kuwakili jawabanku dengan senyuman dan Ratna tak berani mengusikku lagi. Ditinggalkannya aku di ruanganku seorang diri. Walau di atas kursi roda aku masih bekerja. Beruntung pihak perusahaan mengijinkan. Toh, aku hanya tak bisa berjalan, aku masih bisa mengetik huruf demi huruf di keyboard komputer.
Setahun sudah Hans menikah dengan Siska, dan kebahagiaanku sedikit demi sedikit mulai menjauh hingga benar-benar hilang saat Hans menemuiku siang itu. 

“May, sebenarnya aku ingin menyampaikan sesuatu padamu.” Kutatap mata coklat Hans. Tubuhnya yang tegap dan kulitnya yang putih sungguh mewakili ketampanannya. Didorongnya kursi rodaku ke ruang tengah.
“Apa Mas?”
“Aku tak sampai hati menyampaikan ini padamu May.”
“Sebenarnya ada apa Mas?” Hans tak segera menjawab, digenggam erat jemariku. Tangannya yang kokoh dan bulu halus di lengannya itu selalu mendamaikan hatiku. “Mama memintaku bercerai darimu.”
“Apa?”
“Iya, May. Aku juga tak ingin seperti ini, tapi Siska memintaku memilih kamu atau dia dan Siska kini sedang mengandung.”

Aku menelan ludah, kukuatkan hati. Aku tak ingin menangis di depan Hans. 
“Lalu mama tahu tentang hal itu dan mama memilih Siska.”
Lagi-lagi kutelan ludahku dan kini terasa lebih pahit. Tenggorokanku semakin terasa sakit. Sayatan-sayatan perih pun mulai merajam hatiku. Aku masih membisu. Tak ada satu kata pun yang mampu kuucapkan dari bibirku. 

“May, maafkan aku. Aku masih mencintaimu, tapi aku harus memilih.”
Mataku memanas. Kutahan gejolak yang menghentak dada. Aku hanya 
menunggu, kata apa lagi yang keluar dari bibir Hans. Kata itu juga yang akan mengantar ke nasib hidupku selanjutnya. 

“May, aku harus menceraikanmu, maafkan aku.” Hans memelukku erat, kini pipiku basah tak mampu kutahan lagi. Kubalas pelukan Hans erat. Tak ingin kulepas pelukan itu. Kami pun saling mendekap. “Ya Allah, benarkah ini? Aku harus merelakannya. Ya, Allah aku tahu aku harus ikhlas.”
Dengan derai air mata, kulepas Hans pergi. Dia masih menatapku saat Siska datang. Buru-buru kuhapus air mataku. “May, aku minta maaf. Aku harap kau tak membenciku.” 

Aku tersenyum pahit, aku tak perlu basa-basi itu. Aku manusia biasa yang juga bisa terluka. “Sudahlah Sis, tak perlu membahas itu saat ini. Ayuk kita ke rumah mama,” ajak Hans sembari menggandeng tangan Siska.

Hatiku perih. Kupandangi mereka berdua hingga punggungnya menghilang di balik pintu. Hans, benarkah kau mencintaiku? Cinta seperti apa? mengapa kini kau tinggalkan aku di saat aku sangat membutuhkanmu? Berbagai pertanyaan berdesakan dalam dadaku. Aku sungguh benci hidupku.

Hari-hariku terasa kelam. Menangis dan menangis. Masa depanku terlihat gelap. Aku hanya wanita cacat. Aku tak punya siapa-siapa, bahkan laki-laki yang kucintai dan belum genap dua tahun pernikahan kami, kini dia meninggalkanku. Hanya keputusan pengadilan tentang perceraianlah yang akan menghampiriku dan setelahnya mungkin aku akan diusir dari rumah ini.

Beberapa kali hp-ku berdering. Aku tak minat walau hanya sekedar melihat siapa yang meneleponku. Sudah tiga hari ini aku tak masuk kantor. Kulirik hpku saat berbunyi lagi, ternyata Ratna yang mengirimkan sms. 

“May ... kamu ke mana aja? Kamu baik-baik aja kan?”
“Rat, ke rumahku ya, aku tunggu.” Hanya itu balasanku.
Setengah jam kemudian kulihat Ratna tergopoh. Dadaku terasa penuh. Ingin rasanya aku berlari menghambur dalam pelukannya. Seandainya saja aku tak cacat seperti sekarang.

“May, kamu kenapa ditelepon beberapa kali kok gak diangkat, ada apa?”

Kuseka air mataku, “Hans akan menceraikanku Rat.”

“Apa?”

“Iya, aku hanya tinggal menunggu surat putusan pengadilan.”

“Ya, Tuhan. May ...” Ratna memelukku erat. “Sabar ya ...”

“Aku bosan dengan kata sabar itu Rat. Apa yang aku harapkan dari hidupku sekarang.”

“May, gak boleh ngomong gitu.”

“Coba bayangkan Rat. Aku cacat. Aku tak memiliki siapa pun di dunia ini.”

“May, percayalah. Tak ada masalah yang tak ada jalan keluarnya. Allah tidak akan membiarkanmu sendirian.”

“Nyatanya aku sendirian, Rat.”

“May, aku masih di sampingmu.” 

“Rat, kamu memiliki keluarga, suami, anak. Sudah begitu banyak kesibukanmu. Aku hanya akan membuatmu repot.”

“May, percayalah aku akan membantumu.”

“Aku percaya. Kamu memang baik, Rat. Sekarang aku ingin sendiri, tolong tinggalkan aku.”

“Tapi, May ...”

“Sudahlah Rat. Aku akan baik-baik saja. Terima kasih kamu sudah datang ke rumahku.”

Alunan syahdu suara Once mendendangkan Dealova tiba-tiba terdengar dari hp Ratna. Dengan tergesa Ratna mengangkat hp itu.
“Iya Pa, mama akan segera pulang,” ucap Ratna dengan suara ketakutan. Kulihat wajahnya yang gusar.
“Maaf ya May. Suamiku sudah menelepon. Aku harus pulang.”
“Pulanglah. Aku akan baik-baik saja.” Dengan terburu Ratna meninggalkanku. Sudah berkali kulihat ekspresi wajahnya yang ketakutan ketika suaminya menelepon. “Ratna, aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Jadi mana mungkin aku menambah bebanmu,” gumamku lirih.

***
Rintik hujan masih terdengar satu-satu. Pikiranku sedang berlayar ke samudra kehidupan. Ratna, teman baikku yang tangguh. Dia tak pernah mengeluh dan menyampaikan masalah dalam rumah tangganya dan aku sendiri menyimpulkan ada yang telah disembunyikannya dariku. Aku tak berusaha memaksanya bercerita. Sedangkan untuk diriku sendiri, telah kuputuskan dengan perenungan yang mendalam. Aku harus melewati semua ini. Aku harus tetap bekerja demi memenuhi kebutuhanku. Beruntung Hans tak mengusirku dari rumah ini. Aku masih bisa menempatinya.

“Bu, ini tehnya.” Wanita paruh baya menghampiriku. Bi Surti. Dia akan menjadi kakiku dan mengantar ke mana pun aku pergi. “Tak ada yang tak berarti dalam hidup ini. Selama kita memberinya arti walau pahit sekalipun,” tulisku di sebuah jejaring sosial.

Cirebon, 17 April 2013

Minggu, 28 April 2013

"RONA KEHIDUPAN" e-book pertamaku

Ini kiriman dari Pustaka e-book

Judul: Rona Kehidupan
Penulis: Menning Alamsyah
Penyunting: Tim Pustaka Hanan
Penerbit Digital: Pustaka Hanan
Tebal: 48 Halaman
Size: 1,4 MB
E-Book ini adalah kerjasama Perpustakaan Online dengan komunitas menulis PNBB (Proyek Nulis Buku Bareng)

“Rona Kehidupan” adalah buku elektronik pertama yang ditulis oleh Menning Alamsyah. Buku ini berisi kumpulan cerita pendek yang sudah dimuat di berbagai media, baik media online maupun media cetak seperti Malang Post. E-book dengan judul “Rona Kehidupan” ini adalah bukti perjalanan penulis di dunia tulis-menulis.

Cerpen-cerpen yang termuat dalam e-book ini mengisahkan tentang rona kehidupan yang harus kita cecap. Liku-liku hidup yang tak selalu indah dan tak selamanya apa yang kita inginkan akan kita dapatkan. Keprihatinan penulis kepada Lesbian yang coba ia tulis pada diri Hika, kesedihan seorang istri yang sering berbohong terwakili pada diri Amelia, keberanian mengatakan kebenaran pada diri Rani, sekelumit kisah anak jalanan pada Rifki dan Naina, serta kesetiaan cinta pada Nadya dan rindu yang datangnya di saat yang tak tepat.

Silakan unduh gratis di http://pustaka-ebook.com/pnbb-e-book-38-rona-kehidupan/



Minggu, 21 April 2013

EMANSIPASI

PUISI TELAH DIMUAT DI LINK:http://www.bengkelpuisi.net/330/post/2013/02/emansipasi.html


Wangi semerbak melati
di sanggul kartini
Wanita penggigih
emansipasi

Wajah Kartini pucat pasi
melihat wanita masa kini
melenggang jajakan diri
disanding poligami
dan ajang latihan bela diri

dimanakah emansipasi ?
apakah kodrati atau takdir ilahi ?

Cirebon, 21 April 2012

Senin, 01 April 2013

KORBAN CINTA PALSU

Cerpenku yang sudah dimuat HU Kabar Cirebon, hari sabtu tanggal 30 Maret 2013. Dengan judul awal dari saya SEDALAM LUKA yang diganti redakturnya menjadi KORBAN CINTA PALSU

Rima asyik memandang layar monitor di hpnya dan Andi sibuk menghadapi layar monitor komputer yang biasa dipakai Rima.
“Wah, berduaan aja nich.” Suara itu, suara Jodi. Laki-laki yang sedari tadi bolak balik melewati ruangan Rima.
“Hmm, ya gaklah. Kok berduaan sich? Di ruangan lain kan banyak. Aneh,” ujar Rima agak ketus. Sementara Jodi sudah berlalu menuju ruangannya. Tadi Jodi juga sudah menyapa Rima sebelum ada Andi, tapi Rima tetap datar menjawabnya.

Masih lekat dalam ingatan Rima bagaimana dulu Jodi selalu menyanjungnya penuh cinta. Bahkan ucapan cinta Jodi berkali-kali diungkapkannya lewat telepon hingga hari itu mereka memutuskan bertemu setelah jam pulang kantor. Jodi menemui Rima di ruangannya.
“Kenapa kamu gak pernah percaya kalau aku cinta kamu.”
“Cinta? Aku ...” Rima menunduk malu.
Jodi mendekatinya, “Iya, aku mencintaimu Rima dari sejak aku melihatmu siang itu.”
“Aku juga, tapi aku gak mau terlalu geer. Sebelum kamu menyampaikan sendiri,” sahut Rima dengan pipi memerah.
“Aku kan sudah menyampaikan lewat telepon.”
“Iya, kenapa kamu gak menemuiku langsung selama ini?” tanya Rima dengan bola mata yang menelisik wajah Jodi.
“Aku gak mau seisi kantor ini ribut. Jadi, biarlah kita berdua saja yang tahu.”
“Bener? Yang aku tahu kamu kan dekat sama Sinta. Gosipnya kalian pacaran tuch.”
“Aku sama dia? Gak ada kok. Gak ada yang spesial. Aku dekat sama Shinta karena satu ruangan aja.”
“Ah, yang bener?”
“Bener, sayang.”
“Sayang?”
“Iya, sayang. Aku memang sayang sama kamu kok.”

Dada Rima bergetar. Rasa yang dipendamnya begitu lama kini menjadi nyata. Jodi, dia benar mencintainya. Setidaknya tatapan mata Jodi yang telak menusuk jantungnya itu menjadi pertandanya. Senyum manis di bibir tipis Jodi itu menambah Rima tak ingin berpaling menelanjangi wajah Jodi.
“Rima, kamu terima kan ucapan cinta ini?”
Rima tak menjawab. Dianggukkan kepalanya dengan binar bahagia dan hari itu awal semuanya bermula. Mereka berjalan beriringan menuju motor Jodi lalu berboncengan menyusuri senja yang mulai menjelang. 

***
“Rima, kamu tahu gak sih kalau Lukita itu mau nikah sama Jodi.” Suara Shinta yang tiba-tiba terdengar dengan nada ketus itu seketika menghentikan aktivitasnya di depan komputer. Rima menatap wajah Shinta lurus. 
“Apa?” Rima berusaha menyimpan rasa keterkejutannya. Hubungannya dengan Jodi adalah hubungan rahasia yang tak diketahui siapa pun teman kantornya. Tidak juga Shinta.
“Iya, aku denger gitu.” Mendengar jawaban Shinta serasa ada yang copot dari hatinya. 
“Rima, aku mau curhat. Sebenarnya aku sama Jodi...” Shinta tak meneruskan kata-katanya. Matanya mulai berkaca.
“Shinta, sebenarnya ada apa?”
“Rima, aku sama Jodi udah ...” air mata Shinta mulai membasahi pipinya yang bulat. Ada rasa ngilu di hati Rima. 
“Udah apa? Kalian ..”
“Aku terbawa suasana. Rayuan maut Jodi telah merenggut kesucianku.”
“Apa?” rasa sesak seketika menohok jantung Rima. 
“Jadi malam itu aku rela menyerahkan segalanya. Terjadi begitu saja.” 

Rima tak bersuara. Mengamati wajah Shinta yang memilukan, dan pancaran yang sama pun terlihat dari wajahnya. Sungguh perih rasanya menyadari mereka berdua adalah korban Jodi. Rima masih membisu. 
“Rima, kamu kok malah diam aja. Aku mesti gimana?”
“Shinta, Jodi kan belum tentu menikahi Lukita, jadi mintalah penjelasan dari Jodi.”
“Rima, aku sangat mencintai Jodi. Aku sudah berkorban dan aku tak menyangka dia akan mencampakkanku seperti ini.”
“Shinta, aku gak tahu harus gimana. Coba minta penjelasan ke Jodi aja. Kepalaku pusing. Aku mau ijin pulang aja nih.”
“Rima, kamu kenapa? Kok mau nangis gitu?”
“Aku pulang dulu ya. kepalaku pusing. Tolong sampaikan ke Mbak Fanny ya.” Rima berlalu meninggalkan Shinta yang bengong tak mengerti.

Sesampai di kamar kosnya Rima mengaduk-aduk isi tasnya mencari hpnya yang terselip di antara dompet dan kotak kosmetik. Sesaat kemudian jarinya memencet sebuah nama yang ada di phonebooknya, Jodi. Sementara di seberang sana hanya terdengar suara tut tut. Rima mencoba beberapa kali dan kali ini terdengar suara menyahut, tapi suara operator telepon, “maaf nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif.” 

Rima lemas. Keringat dingin mengucur deras. “Oh Tuhan, masih pantaskah aku memohon. Aku hanya butuh penjelasan dari Jodi. Apa benar yang telah dikatakan Shinta?” tanyanya di hati. Sejak hari itu Jodi menjauhinya. Jangankan menelepon atau mengirimkan sms. Telepon dan sms Rima tak satupun dibalas. Jodi sengaja menghindari Rima. 

***
Suasana kantor yang riuh hari itu menambah kepenatan Rima. Ditatapnya undangan pernikahan berwarna biru berpita warna pink yang tergeletak di atas meja kerjanya. Mata Rima sembab. Rasa sesak menguliti hatinya. Jelas-jelas tertera dalam undangan itu. Jodi Prabawa dan Lukita Handayani. Jodi? Begitu tega dia tak menyampaikan apa pun hingga undangan itu diterimanya. Bagaimana bisa Jodi tak memperdulikan hati Rima? Bukankah Jodi telah berjanji akan mencintai Rima di sepanjang hidupnya dan Rima telah menyerahkan semua miliknya. Termasuk hal yang paling berharga. Tandas, tak bersisa. 

Air mata Rima mulai menetes satu-satu. Rima memutuskan berlari ke kamar mandi. meluapkan tangisnya yang tak terbendung lagi. Langit seakan runtuh. Gelap yang tiba-tiba hadir memenuhi ruang kamar mandi. Rima sekuat tenaga menahan udara pengap yang tiba-tiba saja menyeruak. Rima limbung, tak mampu meneruskan aktivitasnya di kantor. Meninggalkan kantornya tanpa ijin adalah satu-satunya cara menyembunyikan perasaannya yang hancur lebur. 

Di sepanjang jalan kenangan-kenangan bersama Jodi seakan membanjiri ingatannya. Tiba-tiba rasa cinta yang tadinya begitu besar menghilang berubah menjadi bongkahan benci yang mengkristal di hatinya. Pengakuan Shinta dulu yang mengatakan bahwa Jodi telah merenggut kesuciannya adalah kali pertama luka itu mengangga. Dan undangan ini bukti nyata bahwa Rima adalah korban kebiadaban Jodi. Rima menyesal telah menyerahkan semuanya. Apalagi yang kini bisa dibanggakan. Sebagai wanita Rima telah kehilangan harga dirinya.

Jodi masih berhutang penjelasan padanya, tapi apakah perlu untuk ditagih. Undangan pernikahan itu telah tersebar dan tak mungkin Rima menyakiti hati wanita lainnya. Setidaknya Lukita tak mengalami hal yang sama dengan Shinta dan dirinya. Rima tak berupaya, begitupun Shinta, dan kenangan itu terbang seiring debu meninggalkan jejak yang menyakitkan. 

Rima memasuki kamar kosnya dengan gontai. Dibenamkan tubuhnya di kasur busa dengan posisi telungkup dan banjir air mata menghanyutkan wajahnya. Dinding kamarnya yang berwarna biru dan sprei merah muda menjadi saksi bisu kesedihannya. Sementara suasana terasa semakin hening bagi Rima.

***
Hari ini kenangan itu hadir seiring sosok Jodi. Sejak undangan itu tersebar dan hingga lima tahun ini Rima masih membujang dan Jodi tak pernah merasa salah. Meminta maaf pun tak pernah. Seperti kata Jodi yang disampaikan ke Shinta kalau Jodi tak sepenuhnya salah. Mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Sikap Jodi yang tak sungkan menyapanya membuat Rima semakin kesal. “Jodi aku telah menguburmu dengan kebencian dalam palung hatiku yang terdalam, sedalam lukaku karena penghianatanmu. Haruskah aku masih percaya terhadap makluk yang bernama laki-laki?” batin Rima setelah Andi meninggalkannya sendiri.

Cirebon, 13 Februari 2013

Senin, 25 Maret 2013

KEKASIHKU YANG PUISI

Sayang, aku mendekapmu malam ini
mengurai kehangatan
dengan putih dan hitam cintamu
jangan pernah tinggalkan aku lagi
sendiri dengan gigil rindu yang menguliti

Sayang, aku ingin semakin erat memelukmu
karena bersamamu aliran darahku terasa mendidih
agar kunikmati gejolak yang menghentak dada
dengan membelaimu kata demi kata

Ah, resah gelisahku telah tercurah
hingga hadirkan letupan nikmat tiada tara
sayang, kau memang kekasih
yang paling puisi

Cirebon, 18 Maret 2013

Kamis, 21 Maret 2013

TAK ADA YANG ABADI

menandai hari berganti
kusesap pahit empedu
dari perih yang merajai

tahukah kau?
telah kutambal lubang nganga di hati
‘tuk sesaji sepasang merpati

ah, tak mesti terlontar tanya
andai kupahami keikhlasan
sejatinya, tak ada yang abadi

dan harap itu masih berpijar
seiring pendaran mentari

Cirebon, 19 Maret 2013

Selasa, 19 Maret 2013

KECEWA BERAT

Puisi ini ada juga di link ini, saat akun saya bernama Ning Menning di FB:

http://www.bengkelpuisi.net/ning-menning.html

kuurai mimpi di antara nyata

yang memahat beribu harap

melambungkan berjuta hasrat


namun baru sebatas hajat


lalu melesat


lenyap


tak tersemat


walau hanya sekejap



Cirebon, April 2012

Kamis, 14 Maret 2013

BAGIMU





aku terdampar pada padang luas membentang

senyap. suara angin mendesau girang

mencumbu daun-daun ilalang


ilalang bergoyang seperti penari streptis jalang



lunglai tubuhku di antara riang


tertancap berjuta pedang


menghujam


sebarkan racun kematian



aku sekarat


tak sanggup mendebat


sebab nafasku tersengal


nyaris terpenggal


tak berdaya


karena aku bukan sesiapa


hanya ada di antara tak ada


bagimu. ya, bagimu!

Cirebon, 25 Mei 2012

Rabu, 20 Februari 2013

Mengabadikan Puisi berbalas di Hari Ulang Tahunku ke-31

SAHABAT
untuk : Mbak Menning Alamsyah

sahabat,
senyummu selalu hadir sebagai penyejuk hati
seperti bening embun di dini hari

sapamu tulus dan lembut
penghangat batin dari dinginnya kabut

semangatmu tuk berkarya tak akan henti
bagai bunga cantik menebar wangi

sahabat,
setangkup doa sederhana untukmu
semoga anugerah dan berkah melimpah
menghampirimu di segenap jejak langkah
bahagia senantiasa
dengan ridha-Nya dalam lindungan-Nya

***Bandung, 18 Februari 2013

Selamat ulang tahun, Mbak Menning.
Semoga sehat dan makin sukses.



UNTUK WANITA BERKERUDUNG MERAH

: Tri Ratna Rachmawati

Pagi berkabut berteman mentari setengah hati
sementara sedu sedan masih tertahan
dan bahagia menyusup datang perlahan

Kau, kutunggu sapa lembut
sebagai tanda pengingat
aku masih ada di anganmu

Dan haru mengelilingi jiwa
ketika kubaca untaian kata
yang kaukirim di dunia maya

Aku tak ingin kau menjauh
tinggalkanku di sudut bisu
jadi peluk erat aku di rentang waktu

Cirebon, 18 Februari 2013

Kamis, 14 Februari 2013

AKU BERBEDA


Cerpen ini juga sudah dipublish di:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/02/14/aku-berbeda-533604.html
http://radarseni.com/2013/02/24/aku-berbeda/

AKU BERBEDA

Senyap yang amat kurasa di antara begitu banyak canda dan tawa mereka. Dadaku terasa sesak saat aku membaca status seorang wanita yang dulu sangat dekat denganku. TehNisya. “Dulu, aku pernah membuka pintu itu seluas-luasnya. Namun kini aku menutupnya. Harapku kau mengerti mengapa aku melakukannya? karena kesempatan itu tak selalu datang dua kali. Maka manfaatkanlah bila ada kesempatan baik menghampirimu,” tulisnya di sebuah jejaring sosial. Aku terhenyak, kalimat itu seperti tertuju untukku.

Berbagai cara sudah kulakukan untuk mendekatinya seperti dulu. Bagiku, dia bukan hanya sebagai rekan kerja sekantor, tapi juga sebagai kakak. Orang yang sangat mengertiku, orang yang selalu mendengar keluh kesahku, dan satu-satunya orang normal yang menerimaku di dunia ini. Ya, hanya dia, karena aku berbeda. Berbeda karena rasa dalam diriku yang kadang membuatku membenci diriku sendiri. Namun, karena kesalahanku kiniTeh Nisya menjaga jarak denganku. Aku memang salah, padahal aku sangat mengenalnya. Aku telah mengecewakannya.

Aku masih ingat saat pertama aku membuka rahasia besar dari diriku yang selama ini aku simpan. “Teh, aku ingin cerita sesuatu sama Teteh, rasanya mengganjal,” ucapku suatu pagi cerah bersinar mentari. Aku berkunjung ke ruangannya yang nyaman berAC dan rapi.

“Ada apa Lyra? Cerita aja. Teteh, akan mendengarkan,” jawabnya dengan sabar.

Teh, sebenarnya … Lyra ….” Aku tak meneruskan kata-kataku.

Aya naon?” Teh Nisya mulai penasaran. Dia menatapku lekat, tak lagi menatap layar komputer yang dari tadi dilakukannya.”

Aku tak segera meneruskan, kain gordin berwarna hijau itu seperti memelotiku. Membuat keyakinanku yang tadi telah terkumpul hilang begitu saja.

“Lyra, Aya naon? Kok malah diam,” tanyanya lagi.

Teh … aku …”

“Lyra, ceritakan saja bila memang mengganjal, tapi kalau memang belum siap, ya jangan lakukan ya.”

Teh, Lyra akan cerita. Terserah Teteh akan menerima Lyra atau tidak,” ucapku dengan nada pasrah.

“Lyra, bagaimana Teteh bisa tahu kalau Lyra tak cerita.”

“Iya, Teh.  Lyra, berbeda dari Teteh. Lyra juga benci dengan perasaan ini. Lyra mencintai Vina.”
Teh Nisya tersenyum walau aku melihat kekagetan di wajahnya.

Teh, kok tersenyum?”

“Lyra, Teteh sudah menduga sebelumnya ada yang beda dari dirimu. Yang mengagetkanTeteh, kenapa harus Vina?”

“Ya, karena perasaan yang menyiksa ini juga. Pagi ini Lyra menemui Teteh. Ada yang menghentak-hentak dalam diri Lyra bila dekat di samping Vina. Lyra sungguh ingin memeluknya, membelai rambutnya, dan mencumbunya Teh. Lyra sudah lama menyimpan perasaan ini.”

“Lyra, boleh Teteh tanya sesuatu?”

“Boleh, Teh.”

“Dulu, bagaimana perasaan itu muncul. Apakah Vina orang pertama yang membuatmu merasa begitu?”

“Gak, Teh. Perasaan ini sudah ada sejak Lyra SD.” Aku terdiam, ingatan menakutkan itu kembali hadir. Kejadian bertahun-tahun yang lalu itu membuatku menjadi seperti sekarang. Dia, pamanku sendiri tega melakukannya. Malam itu, aku terkaget saat pintu terbuka dari luar kamar. Sesosok yang sangat kukenal muncul dari balik pintu. Om Hendro. Pamanku, adik dari ibu kandungku.

“Lyra, belum bobo sayang?” tanya Om Hendro sembari membelai rambutku.

Aku masih tak berpikir macam-macam. Aku mulai merasa aneh, saat tangan Om Hendro mulai menggerayangi tubuhku. Aku yang masih kanak-kanak kala itu. Sungguh tak tahu apa yang akan Om Hendro lakukan.

“Belum Om. Om kok meraba-raba tubuh Lyra,” tanyaku polos.

“Lyra, Om akan membawamu ke surga, mau gak?”

“Surga? Kata guru ngaji Lyra surga itu indah ya Om?”

“Iya Lyra, Om buka bajunya ya?”

“Kok buka baju Om?”

“Iya Lyra, udah Lyra diam aja ya.”

Om Hendro mulai membuka semua baju yang menempel di tubuhku, tak ada sehelai benang pun. Om Hendro menciumi leher, dada, dan perutku. Aku merasa aneh saat Om Hendro mulai membuka bajunya sendiri, satu persatu hingga Om Hendro benar-benar telanjang. Om Hendro menekan tubuhku, aku merasakan sesuatu dimasukkan ke kemaluanku. Aku mengerang kesakitan, “Om, sakit Om, sakit. Lyra gak mau, Lyra gak mau.”

Aku menangis, meronta-ronta, dan terus menjerit kesakitan, Om Hendro tak memperdulikan. Dia semakin erat mencengkeram tubuhku, rasa sakit itu semakin terasa. Sesuatu yang dimasukan Om Hendro itu seperti pisau yang merobek kemaluanku. Beberapa saat kemudian Om Hendro melepas cengkeramannya. Keringatnya bercucuran, dia tersenyum. Aku masih menangis, merasakan sakit dan perih. Aku melihat darah di sprei. Aku terus menangis, Om Hendro meninggalkanku begitu saja. Saat itu aku teringat Mamaku yang meninggalkanku karena bercerai dengan Papa. Aku juga teringat Papa yang telah menikah lagi dengan wanita lain. Aku benci mereka. Mereka tega meninggalkan aku sendiri di rumah ini dengan nenekku yang sudah renta. Aku masih kelas 3 SD kala itu.

“Mama, Papa, tolong Lyra. Om Hendro nakal sama Lyra. Sakit.” Kalimat itu yang keluar dari bibir mungilku. Malam itu kesucianku terenggut paksa.
***
“Lyra, Lyra … kok malah menangis, ada apa?”. Teh Nisya mengagetkanku, dari tangannya dia memegang selembar tisu dan menyerahkannya kepadaku.

Aku menarik napas panjang. “Teh, maaf. Tadi Lyra teringat kejadian menakutkan itu.”
“Kejadian apa Lyra?”

“Awal dari rasa aneh dalam diri Lyra muncul.”

“Bolehkah Teteh tahu? Lyra jangan buat Teteh penasaran.” Teh Nisya mulai tak sabar.

“Lyra, kini siap cerita Teh, saat Lyra kelas 3 SD. Lyra diperkosa sama Om Lyra. Adik Mama Lyra.”

Astaghfirullahalazhim … Lyra, tega sekali Ommu itu.”

“Iya Teh. Mulai sejak kejadian itu Lyra benci laki-laki, apalagi Papa juga bukan laki-laki yang baik. Papa sering gonta-ganti wanita, sampai Mama meminta cerai. Mama meninggalkan Lyra. Papa yang membuat Lyra kehilangan Mama.” Aku menghapus gundukan kristal yang menggenang di mataku.

Teh Nisya mengambil kotak tisu dan diletakkan di depanku.

“Lyra, Teteh masih penasaran, tapi kalau Lyra tak ingin menceritakan,  jangan lakukan ya.Teteh gak tega melihatmu sedih begitu.”

“Teh Nisya, Lyra akan ceritakan semuanya. Lyra ingin Teteh tahu. Dua tahun setelah kejadian itu Lyra kenal Kak Nadya. Kak Nadya begitu baik, sering memberi Lyra kue dan uang jajan. Lyra yang saat itu sudah ikut dengan Papa yang menduda untuk kedua kalinya, merasa Kak Nadya sebagai pengganti Mama. Kami tidur bersama dalam satu ranjang, makan berdua, mandi berdua sampai SMP dan kedekatan kami itu mulai tak wajar. Awalnya hanya Kak Nadya yang sering menciumi Lyra. Namun karena begitu seringnya akhirnya Lyra juga membalas apa yang dilakukan Kak Nadya. Rasa cinta itu hadir dengan sendirinya. Saat itu Lyra merasa Kak Nadya itu segalanya. Kami bahkan selalu bercumbu sebelum tidur setiap malamnya. Ada ketakutan dalam hati Lyra, takut apa yang kami lakukan diketahui teman-teman kami.” Kuuraikan semuanya, pagi itu topengku telah kulepas di hadapan Teh Nisya.

“Hmm … Lyra, hidupmu sungguh berat. Lalu bagaimana hubunganmu dengan Nadya sekarang?”

“Lyra sudah lama hilang kontak dengan Kak Nadya Teh. Sejak Papa memutuskan pulang ke rumah Nenek di Subang. Sedangkan Kak Nadya kan masih di Jakarta waktu itu.”

“Gak pernah ketemu lagi?”

“Gak, Teh. Lyra igin melupakan Kak Nadya, tapi sungguh susah. Kini Lyra sudah jatuh cinta dengan orang lain. Vina sudah membuat hari-hari Lyra berwarna.”

“Lyra, Teteh mengerti beban yang Lyra alami. Namun menurut Teteh. Lyra harus menahan rasa cinta Lyra ke Vina, jangan tunjukkan sifat berlebihan.”

“Maksudnya berlebihan?”

“Ya, sifat Lyra yang Teteh lihat selama ini dengan Vina itu seperti sifat seorang laki-laki yang menaruh hati, yang rela melakukan apa saja.”

“Ya, itu dorongan dari dalam jiwa, Teh.”

“Memang, bagi Teteh yang kini tahu tentang Lyra, menanggapinya wajar. Dan walaupunTeteh gak tahu tentang Lyra, Teteh juga menganggap wajar karena Teteh gak terlalu senang mencampuri urusan orang lain, tapi di kantor kita ini banyak orang yang senang mencampuri urusan orang lain, benar gak? Ini untuk kebaikanmu sendiri.”

“Iya, Teh. Lyra pernah kaget saat Teh Cindy menyinggung soal mimpinya yang mengatakan Lyra Lesbian.”

“Nah, itu.”

“Tapi Teh. Lyra benar cinta sama Vina. Lyra ingin sekali saja menciumnya. Bagaimana yaTeh?”

“Lyra, jangan! itu sama dengan menghancurkan dirimu sendiri. Belum tentu Vina tidak akan cerita ke yang lainnya. Tahanlah perasaanmu ya.”

“Hmm, sepertinya susah Teh, tapi Lyra akan coba lakukan,” ucapku berjanji kepada TehNisya.

“Lyra, ingat pesan Teteh ya? jangan lupa.”

“Iya Teh.” Hari itulah awal Teh Nisya menjadi orang terpenting dalam hidupku. Tak ada rahasia yang aku simpan satu pun darinya. Setiap aku curhat tentang Vina, selalu hal yang sama yang Teh Nisya sampaikan kepadaku.
***
Hawa dingin menyebar di kamar kosku. Menusuk tulang belulang. Hujan lebat malam ini selain membuat pakaianku basah kuyup juga membuatku demam. Vina menginap di tempat kosku karena dia kemalaman pulang ke rumahnya. Seharusnya hujan itu tak membasahi sejengkal tubuhku bila tadi aku tak menjemput Vina. Namun aku sungguh tak tega saat Vina mengirim sms, dia terjebak hujan lebat di depan kampusnya.

Semalaman aku berusaha menekan perasaanku saat Vina memeluk tubuhku. Malam ini aku tidur seranjang dengan wanita yang kucinta. Wanita yang sangat ingin kucium. Gejolak dalam hatiku semakin membuncah. Dadaku bergemuruh, aku berusaha menahan, ucapanTeh Nisya tiba-tiba melintas. Aku urungkan niatku untuk membelai rambut Vina. Namun lama-lama aku hanyut dalam arus perasaanku. Aku mulai membelai rambut Vina, mencium keningnya, menciumi wajahnya, meraba tubuhnya, dan mulai melepaskan kancing bajunya, Vina sama sekali tak menolak, tanganku mulai menyentuh dadanya, saat itulah Vina mulai menyadari apa yang kulakukan.

“Lyra, kamu mau apa?” Aku tersentak. Aku merasa malu.

“Maaf,Vina. Maaf.”

“Lyra, kamu baik sama aku ada maunya ya?” ucapVina dengan nada suara tinggi. Vina bergegas membereskan pakaiannya dan langsung ke luar kamarku. Aku tak berusaha mengejarnya. Aku menangis di sudut kamar. Malam ini aku telah mengecewakan dua orang yang penting dalam hidupku. Vina dan Teh Nisya. “Maafkan aku, inilah aku. Aku memang berbeda,” gumamku lirih. Hujan masih memercik, begitu pun tangisku.
SELESAI
Teh, Teteh = Panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa sunda.
Aya Naon  = Ada apa
Cirebon,  17  Oktober  2012