Senin, 01 April 2013

KORBAN CINTA PALSU

Cerpenku yang sudah dimuat HU Kabar Cirebon, hari sabtu tanggal 30 Maret 2013. Dengan judul awal dari saya SEDALAM LUKA yang diganti redakturnya menjadi KORBAN CINTA PALSU

Rima asyik memandang layar monitor di hpnya dan Andi sibuk menghadapi layar monitor komputer yang biasa dipakai Rima.
“Wah, berduaan aja nich.” Suara itu, suara Jodi. Laki-laki yang sedari tadi bolak balik melewati ruangan Rima.
“Hmm, ya gaklah. Kok berduaan sich? Di ruangan lain kan banyak. Aneh,” ujar Rima agak ketus. Sementara Jodi sudah berlalu menuju ruangannya. Tadi Jodi juga sudah menyapa Rima sebelum ada Andi, tapi Rima tetap datar menjawabnya.

Masih lekat dalam ingatan Rima bagaimana dulu Jodi selalu menyanjungnya penuh cinta. Bahkan ucapan cinta Jodi berkali-kali diungkapkannya lewat telepon hingga hari itu mereka memutuskan bertemu setelah jam pulang kantor. Jodi menemui Rima di ruangannya.
“Kenapa kamu gak pernah percaya kalau aku cinta kamu.”
“Cinta? Aku ...” Rima menunduk malu.
Jodi mendekatinya, “Iya, aku mencintaimu Rima dari sejak aku melihatmu siang itu.”
“Aku juga, tapi aku gak mau terlalu geer. Sebelum kamu menyampaikan sendiri,” sahut Rima dengan pipi memerah.
“Aku kan sudah menyampaikan lewat telepon.”
“Iya, kenapa kamu gak menemuiku langsung selama ini?” tanya Rima dengan bola mata yang menelisik wajah Jodi.
“Aku gak mau seisi kantor ini ribut. Jadi, biarlah kita berdua saja yang tahu.”
“Bener? Yang aku tahu kamu kan dekat sama Sinta. Gosipnya kalian pacaran tuch.”
“Aku sama dia? Gak ada kok. Gak ada yang spesial. Aku dekat sama Shinta karena satu ruangan aja.”
“Ah, yang bener?”
“Bener, sayang.”
“Sayang?”
“Iya, sayang. Aku memang sayang sama kamu kok.”

Dada Rima bergetar. Rasa yang dipendamnya begitu lama kini menjadi nyata. Jodi, dia benar mencintainya. Setidaknya tatapan mata Jodi yang telak menusuk jantungnya itu menjadi pertandanya. Senyum manis di bibir tipis Jodi itu menambah Rima tak ingin berpaling menelanjangi wajah Jodi.
“Rima, kamu terima kan ucapan cinta ini?”
Rima tak menjawab. Dianggukkan kepalanya dengan binar bahagia dan hari itu awal semuanya bermula. Mereka berjalan beriringan menuju motor Jodi lalu berboncengan menyusuri senja yang mulai menjelang. 

***
“Rima, kamu tahu gak sih kalau Lukita itu mau nikah sama Jodi.” Suara Shinta yang tiba-tiba terdengar dengan nada ketus itu seketika menghentikan aktivitasnya di depan komputer. Rima menatap wajah Shinta lurus. 
“Apa?” Rima berusaha menyimpan rasa keterkejutannya. Hubungannya dengan Jodi adalah hubungan rahasia yang tak diketahui siapa pun teman kantornya. Tidak juga Shinta.
“Iya, aku denger gitu.” Mendengar jawaban Shinta serasa ada yang copot dari hatinya. 
“Rima, aku mau curhat. Sebenarnya aku sama Jodi...” Shinta tak meneruskan kata-katanya. Matanya mulai berkaca.
“Shinta, sebenarnya ada apa?”
“Rima, aku sama Jodi udah ...” air mata Shinta mulai membasahi pipinya yang bulat. Ada rasa ngilu di hati Rima. 
“Udah apa? Kalian ..”
“Aku terbawa suasana. Rayuan maut Jodi telah merenggut kesucianku.”
“Apa?” rasa sesak seketika menohok jantung Rima. 
“Jadi malam itu aku rela menyerahkan segalanya. Terjadi begitu saja.” 

Rima tak bersuara. Mengamati wajah Shinta yang memilukan, dan pancaran yang sama pun terlihat dari wajahnya. Sungguh perih rasanya menyadari mereka berdua adalah korban Jodi. Rima masih membisu. 
“Rima, kamu kok malah diam aja. Aku mesti gimana?”
“Shinta, Jodi kan belum tentu menikahi Lukita, jadi mintalah penjelasan dari Jodi.”
“Rima, aku sangat mencintai Jodi. Aku sudah berkorban dan aku tak menyangka dia akan mencampakkanku seperti ini.”
“Shinta, aku gak tahu harus gimana. Coba minta penjelasan ke Jodi aja. Kepalaku pusing. Aku mau ijin pulang aja nih.”
“Rima, kamu kenapa? Kok mau nangis gitu?”
“Aku pulang dulu ya. kepalaku pusing. Tolong sampaikan ke Mbak Fanny ya.” Rima berlalu meninggalkan Shinta yang bengong tak mengerti.

Sesampai di kamar kosnya Rima mengaduk-aduk isi tasnya mencari hpnya yang terselip di antara dompet dan kotak kosmetik. Sesaat kemudian jarinya memencet sebuah nama yang ada di phonebooknya, Jodi. Sementara di seberang sana hanya terdengar suara tut tut. Rima mencoba beberapa kali dan kali ini terdengar suara menyahut, tapi suara operator telepon, “maaf nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif.” 

Rima lemas. Keringat dingin mengucur deras. “Oh Tuhan, masih pantaskah aku memohon. Aku hanya butuh penjelasan dari Jodi. Apa benar yang telah dikatakan Shinta?” tanyanya di hati. Sejak hari itu Jodi menjauhinya. Jangankan menelepon atau mengirimkan sms. Telepon dan sms Rima tak satupun dibalas. Jodi sengaja menghindari Rima. 

***
Suasana kantor yang riuh hari itu menambah kepenatan Rima. Ditatapnya undangan pernikahan berwarna biru berpita warna pink yang tergeletak di atas meja kerjanya. Mata Rima sembab. Rasa sesak menguliti hatinya. Jelas-jelas tertera dalam undangan itu. Jodi Prabawa dan Lukita Handayani. Jodi? Begitu tega dia tak menyampaikan apa pun hingga undangan itu diterimanya. Bagaimana bisa Jodi tak memperdulikan hati Rima? Bukankah Jodi telah berjanji akan mencintai Rima di sepanjang hidupnya dan Rima telah menyerahkan semua miliknya. Termasuk hal yang paling berharga. Tandas, tak bersisa. 

Air mata Rima mulai menetes satu-satu. Rima memutuskan berlari ke kamar mandi. meluapkan tangisnya yang tak terbendung lagi. Langit seakan runtuh. Gelap yang tiba-tiba hadir memenuhi ruang kamar mandi. Rima sekuat tenaga menahan udara pengap yang tiba-tiba saja menyeruak. Rima limbung, tak mampu meneruskan aktivitasnya di kantor. Meninggalkan kantornya tanpa ijin adalah satu-satunya cara menyembunyikan perasaannya yang hancur lebur. 

Di sepanjang jalan kenangan-kenangan bersama Jodi seakan membanjiri ingatannya. Tiba-tiba rasa cinta yang tadinya begitu besar menghilang berubah menjadi bongkahan benci yang mengkristal di hatinya. Pengakuan Shinta dulu yang mengatakan bahwa Jodi telah merenggut kesuciannya adalah kali pertama luka itu mengangga. Dan undangan ini bukti nyata bahwa Rima adalah korban kebiadaban Jodi. Rima menyesal telah menyerahkan semuanya. Apalagi yang kini bisa dibanggakan. Sebagai wanita Rima telah kehilangan harga dirinya.

Jodi masih berhutang penjelasan padanya, tapi apakah perlu untuk ditagih. Undangan pernikahan itu telah tersebar dan tak mungkin Rima menyakiti hati wanita lainnya. Setidaknya Lukita tak mengalami hal yang sama dengan Shinta dan dirinya. Rima tak berupaya, begitupun Shinta, dan kenangan itu terbang seiring debu meninggalkan jejak yang menyakitkan. 

Rima memasuki kamar kosnya dengan gontai. Dibenamkan tubuhnya di kasur busa dengan posisi telungkup dan banjir air mata menghanyutkan wajahnya. Dinding kamarnya yang berwarna biru dan sprei merah muda menjadi saksi bisu kesedihannya. Sementara suasana terasa semakin hening bagi Rima.

***
Hari ini kenangan itu hadir seiring sosok Jodi. Sejak undangan itu tersebar dan hingga lima tahun ini Rima masih membujang dan Jodi tak pernah merasa salah. Meminta maaf pun tak pernah. Seperti kata Jodi yang disampaikan ke Shinta kalau Jodi tak sepenuhnya salah. Mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Sikap Jodi yang tak sungkan menyapanya membuat Rima semakin kesal. “Jodi aku telah menguburmu dengan kebencian dalam palung hatiku yang terdalam, sedalam lukaku karena penghianatanmu. Haruskah aku masih percaya terhadap makluk yang bernama laki-laki?” batin Rima setelah Andi meninggalkannya sendiri.

Cirebon, 13 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar