Minggu, 09 September 2012

PERSAHABATANKU TERENGGUT KARENA KESALAHPAHAMAN


Sengaja ingin mengabadikan Cerpen ini, zaman awal saya menulis cerpen, belum diedit dan masih banyak kesalahan penulisannya.

PERSAHABATAN bukan PELANGI yang indahnya hanya sekejap dan Bukan juga MATAHARI yang hanya bisa menemani setengah hari, tapi PERSAHABATAN adalah suatu ikatan bathin yang terjalin antara sesama manusia.
PERSAHABATANKU TERENGGUT KARENA KESALAHPAHAMAN

Cirebon, kata yang tak asing bagiku, bahkan sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar bukan dari guru mata pelajaran IPS tapi karena di kota inilah Bapakku dilahirkan. Aku tak pernah menyangka di Cirebonlah drama kehidupanku yang mengharu biru kualami kini. Dari jatuh cinta pada pandangan pertama sampai persahabatan berubah menjadi permusuhan, sungguh menyakitkan, kenal tapi tak saling menyapa.
Mba Alya, begitu aku memanggilnya, wanita berkacamata dan berkerudung dengan postur badan sedang, dia satu-satunya teman wanita di kantorku yang baru, dia sudah lebih dulu beberapa bulan bekerja saat aku masuk, aku dan dia sangat berbeda, dari strata sosial, latar belakang keluarga, pendidikan, keahlian dan banyak hal lainnya, hmmm... bukannya memang manusia diciptakan berbeda ya... supaya hidup ini kaya. Dia lulusan sarjana dari universitas terkemuka di cirebon, dia juga berasal dari keluarga harmonis dan ayahnya seorang polisi, mahir komputer pula. Sementara aku perantau, tamatan SMA yang bukan favorit dan berasal dari orangtua yang menikah lebih dari satu kali, bahkan aku anak dari istri kedua, ditambah lagi aku tak punya keahlian apa-apa, lengkap deh kekuranganku, itulah alasannya aku agak minder dengannya, tapi aku mulai belajar sedikit demi sedikit, setiap pagi aku datang lebih awal untuk belajar mengetik dengan mesin ketik.

Baru beberapa hari aku kenal dia, dia sudah bercerita tentang seorang laki-laki yang dijodoh-jodohkan oleh teman-teman dengannya, Bang Binsar itu panggilanku untuk laki-laki itu, tapi justru panggilan “Bang” itu yang akhirnya menjadi masalah, buat aku yang lahir dan besar di Simalungun sungguh menganggap panggilan bang itu tak istimewa apalagi bang Binsar pernah lama tinggal di Medan begitu yang aku dengar.
Aku dan Mba Alya sangat dekat, banyak hal yang sering kami ceritakan, Mba Alyalah yang mengenalkan tempat-tempat belanja di Kota Cirebon, singkat cerita Mba Alya dan Bang Binsar menikah tidak melalui proses pacaran karena Mba Alya ingin segera menikah seperti pengakuannya.
“Dulu tiap malam aku berdo’a agar diberikan jodoh, Alhamdulillah ternyata bukan hanya jodoh yang dikabulkan oleh Allah, tapi dikasih kerjaan juga” kata Mba Alya suatu hari dengan rona bahagia saat menjelang hari pernikahannya.

Mba Alya aku anggap kakakku karena usia kami yang terpaut 7 Tahun, dia juga banyak mengajarkan kemajuan teknologi kepadaku, salah satunya cara memakai ATM, terlalu gaptek aku sampai gak ngerti pakai ATM bagaimana, saat aku memutuskan memakai kerudung Mba Alya juga yang membantuku dan mengajari bagaimana caranya, bahkan saat Bos kami menggelar hajatan pernikahan anaknya, karena aku baru berkerudung aku tak punya baju muslimah, Mba Alya menawarkan baju adiknya.
“Pakai punya Raina aja, pasti pas dech buat kamu” ada kerudungnya juga” katanya.
“emang boleh mba sama Rainanya dipinjam saya”
“boleh, nanti aku yang bilang”
“makasih, makasih banyak ya mba”. Jawabku senang.

Aku juga sangat percaya padanya, sampai aku pernah meminjamkan kartu ATMku plus ngasih no Pinnya pula saat dia ingin pinjam uang karena cincin tunangannya hilang. Tapi keesokan harinya Mba Alya mengembalikan kartu ATMku dan bilang gak jadi pinjam.
“Nich Nay gak jadi, udah pinjam sama Tante, makasih ya” katanya.
“Oh iya mba sama sama padahal gak papa pakai punya saya juga “ kataku tulus.
Hmmm.... sungguh persahabatan yang manis sampai suatu hari aku menyesal pernah mengatakan dan memuji muji suaminya Bang Binsar hanya untuk menyenangkan hati Mba Alya.
“Mba dulu waktu pertama masuk, aku kira Bang Binsar yang jadi Bos di sini, soalnya rapi banget pantes cara berpakaiannya” kataku tanpa rasa bersalah. Mba Alya hanya tersenyum saja. ditambah lagi aku pernah bilang, 
“Di bis waktu aku pulang ada orang yang mirip deh sama Bang Binsar” kataku polos dan apa adanya karena memang mirip. Lagi lagi Mba Alya hanya tersenyum simpul.
Semenjak hamil ada yang berubah dari Mba Alya, dia cenderung jutek ke aku, pernah juga menyampaikan uneg-unegnya tentang seseorang yang menyebalkannya tapi dia tak cerita siapa.
“Nay, aku sebel sama seseorang, aku gak tahan lihat orang itu, aku pengen keluar kerja, tapi gak boleh sama mama dan adik-adikku”. Kata mereka nanti keenakan dia aja, curhat mba Alya.
“Siapa mba orangnya” tanyaku penasaran, ada rasa tak nyaman dihatiku, ini kali pertama Mba Alya gak jujur padaku.
“sama aku ya mba, kataku karena perubahan-perubahan sikapnya padaku.
“gak bukan kamu kok” kata Mba Alya menutupi, Hatiku sedikit lega. Tapi belakangan aku tahu kalau akulah yang dimaksudnya.

Hubungan kami masih baik tapi tak seperti dulu lagi, sampai dia cuti melahirkan, mau tak mau kerjaan dia aku yang handle, aku sempat kalang kabut juga karena aku gak punya keahlian komputer. Akhirnya aku kursus komputer, lancar semua kerjaan Mba Alya di tanganku, dua bulan berlalu Mba Alya masuk kantor lagi, tapi orang-orang di kantorku lebih mempercayakan pekerjaan Mba Alya yang dulu ke aku. Aku yang lebih sering disuruh, itu terjadi di depan mata Mba Alya, sungguh aku tak enak... makanya aku menyerahkan itu ke Mba Alya tapi Mba Alya menolaknya.

Lambat laun hubungan kami memburuk, dia berubah judes dan ketus ke aku, kalau ketemu selalu pasang muka masam, aku pikir karena soal pekerjaan saja, aku tak pikir macam-macam, aku masih berusaha biasa seperti dulu. Semakin hari semakin tak ada komunikasi antara aku dan Mba Alya sampai aku menikah dan pindah ke bagian lain dan banyak karyawati lain di kantorku, dia benar-benar menjauh, mereka semua memusuhiku, semua teman-teman wanita menjauhiku, ada apa sebenarnya ? aku tak tahu ?, dari mulut ke mulut aku dengar kalau Mba Alya menuduhku suka ke suaminya, tapi aku masih tak percaya, aku masih berfikir itu soal pekerjaan saja, aku pikir, dia merasa aku merebut pekerjaannya.
Sampai suatu hari Mba Ernas ingin kami berdamai, dia mempertemukan aku dengan Mba Alya di Mushollah kantor, saat karyawan laki-laki sholat jum’at,  Mba Ernas hanya meninggalkan kami berdua.

“Aku mau tahu, kamu suka kan sama suamiku ?” suara Mba Alya memecahkan kesunyian, sekaligus seperti petir di siang bolong tapi gak ada hujan buatku.
“Ya Allah Astaghfirullahalazhim, Demi Allah mba, saya gak begitu” kataku sangat sedih.
“Kalau gak, kenapa kamu selalu memuji-muji suamiku, Kenapa mesti manggil  “Abang”, kenapa gak seperti ke yang lain, manggil Bapak atau nama saja” Mba Alya menghardikku, pantas saja dia pernah bilang alergi sama panggilan abang, saat aku tanya kenapa gak manggil abang saja ke Bang Binsar.
“Mba, sungguh saya gak pernah suka sama suami mba, Demi Allah, kalau panggilan abang itu biasa di Sumatra” kataku berusaha menyakinkan.
“Ah, Demi Allah, Demi Allah, banyak kok orang yang ngomong Demi Allah tapi berbohong.
Aku terdiam, tak berusaha membela diri, aku memang tak pernah menyukai suaminya, tapi aku tak kuasa meyakinkan, itu soal rasa, sulit untuk dibuktikan kalau kata Demi Allah saja tidak juga dipercayanya. Masih terasa sakit hatiku, tapi ditambah lagi dengan kata-kata yang sungguh menyesakkan dada.
“Banyak kok yang ngomong kamu suka cari-cari perhatian ke suamiku, kamu juga cewek gampangan” Katanya dan menyebutkan beberapa nama laki-laki di kantorku.

“Oh Tuhan, Sakiitnya.... aku sedih, hatiku bergemuruh, aku tak terima mendengar itu semua, tapi sungguh tak mampu, aku menghormati dan menyayangi mba Alya, aku menganggapnya seperti kakakku sendiri, mana mungkin aku suka suaminya, ngobrol intens berdua dengan suaminya aja gak pernah, ada hal yang aku sesalkan kenapa aku tak cerita ke Mba Alya soal laki-laki kantor sebelah yang telah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama yang kini jadi suamiku.
Mba Alya mengancamku dan memintaku untuk menjauhi suaminya, “Jangan pernah ngomong sama suamiku lagi, jangan panggil suamiku dengan panggilan abang” aku hanya mengangguk tak berkata apa-apa lagi, badanku lunglai, sakiiit saat kita tak dipercaya.

Aku penasaran, dari kata-kata Mba Alya itu aku tanya ke nama laki-laki yang disebutkannya itu, darimana mereka menyimpulkan aku cewek gampangan, karena makan berdua dengan laki-laki saja aku gak pernah, aku sungguh menjaga sikap untuk tidak membuat oranglain berfikiran negatif, tak ada satupun dari mereka yang mengakui pernah mengatakan itu, aku sungguh tak tahu siapa yang benar mereka atau mba Alya.
Setelah kejadian itu aku yang merasa terluka karena ucapan Mba Alya, aku pikir benar kata-kata orang, kenapa harus ke orang lain dulu baru ke aku, bukannya kita dekat, hmmm.... ternyata kami tidak saling mengenal satu sama lain.

Semua sudah berlalu, semuanya telah hancur karena keegoan masing-masing, aku yang tadinya berusaha mendekati , kini menyerah, aku selalu menangis kalau ada yang bertanya ada apa antara aku dan Mba Alya. Kenal tapi tak saling menyapa, persahabatanku terenggut karena kesalahpahaman itu, akankah kembali ??? ntahlah.... hanya waktu yang bisa menjawab, tapi kenanganku tentang kebaikannya tak akan hilang.
Ada yang aku pelajari dari kejadian itu, Sahabat adalah orang yang harusnya paling mengerti kita, Sahabat ada saat suka dan duka, sahabat memuji di belakangmu, tapi meyampaikan kritikan pedas saat berdua, yang terpenting sahabat orang yang membuat kita nyaman berbagi dengannya begitu sebaliknya, sahabat tempat kita bisa cerita apa aja, buatku sahabat harus saling percaya.

Apakah benar sahabatmu sekarang sahabat sesungguhnya belum tentu, so.... jangan tutupi satu hal kecilpun dari sahabatmu... sebelum kesalahpahaman menghampirimu, semoga kita menemukan sahabat sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar