Kamis, 27 September 2012

RUMAHKU


dindingnya terbuat dari tembok korupsi
lantainya terbuat dari keramik kolusi
pintunya terbuat dari kayu nepotisme

nasi yang kumakan berlauk kesewenangan
baju yang kupakai berkain ketidakadilan
kasur yang kutiduri berselimut keserakahan
               
aku mual
aku  gatal
aku tak nyaman

aku ingin pindah rumah
tapi ternyata sama
karena kutinggal di tanah indonesia
tanah yang kucinta
namun kini tak berdaya
di tangan para durjana

Cirebon, 18 Mei 2012

Kamis, 13 September 2012

KAU SENDIRI


gigil malam selalu hantarkan luka
tentang rasa yang membara
tentang kelam di dasar lembah
tentang jiwa yang terjajah

kau dara jelita
bersanggul pesona
sebarkan aroma bunga
paksa matamata durjana
menggoda
meraba
merasa
mereguk nikmatnya dunia
lalu meninggalkanmu tanpa iba
kau meranggas layu
kering, mati, dan tersapu

kau gagal bawa diri
tersisa luka hati
siapa yang peduli
kecuali kau sendiri
maka benahi sebelum esok terganti
dengan senja yang hampiri

Cirebon,  14 Mei 2012
Nasehat untuk sahabat yang terkasih, yang kini tiada di sisi namun selalu ada di hati.

Senin, 10 September 2012

PERTEMUAN TERAKHIR


bintang gemintang bertaburan di langit benderang
bawa lamunan tentang senyum menawan
menerbangkan angan ke masa silam
menuntun susuri ingatan

masih terasa
kala kau rengkuh aku
dalam dekap hangatmu
kau gantung asa dipundakku
buatku lari mengejar waktu
yang tak pernah mau menunggu

ibu!
wajah keriputmu
penuh gurat kesedihan
kisahkan cerita kepiluan
tentang beban kehidupan

malam itu kita bercengkrama
diantara remang cahaya
tersirat binar bahagia
dari matamu yang membasah
kita tertawa hahahaha
luapkan rasa
lama tak bersua

tak ternyana
malam itu
ya, malam itu
terakhir kita bertemu
kau telah pergi menjauh
sebelum waktu ijinkanku
bersimpuh
membasuh kedua kakimu
sebab takdir pisahkan kita
berjarak jutaan depa
tinggalkan rasa luka
karena saat kutiba
hanya gundukan tanah merah
dan batu nisanmu yang menyapa
tanpa katakata


Cirebon, 14 Mei 2012

HIKA


Ini juga Cerpen lama saya, yang sudah pernah diposting di sebuah Grup di FB, masih belum sesuai dengan EYD


Hika, wanita 20 tahunan ini sangat cuek, tak ada yang mencolok dari sikapnya kecuali gaya tomboynya, saat pertama aku melihatnya aku menangkap sesuatu yang aneh sebenarnya, hanya aku tak berani membiarkan pikiranku itu tambah meluas, dia ponakan bosku waktu itu, sangat sopan itu yang terlihat, karena sangat jarang di zaman sekarang anak seusianya mencium tangan saat berjabatan kepada orang lain kecuali orangtua atau karena ada hubungan keluarga tapi ini dia melakukannya kepadaku yang baru dikenalnya.

 “Permisi mba, mau ketemu Pak Dude, ada mba” sapanya
“Oh ada, tunggu sebentar ya, masih ada tamu”  jawabku
Aku yang saat itu menjadi  Sekretaris Pribadi Pak Dude sangat tahu jadwal bosku itu, di sela-sela Hika menunggu di ruanganku, aku banyak bertanya padanya.
“Dari mana ?” tanyaku
“Dari Bandung ? 
“ooh, ponakan bapak ya” kataku sok tahu, hehehe, sebenarnya bukan sok tahu sich tapi karena tadi Pak Doni sudah memberitahuku. Pak Doni itu Orang kepercayaan Pak Dude.
“iya mba” jawabnya,

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya tamu Pak Dude keluar, dan aku langsung saja lapor kalau diluar ada Hika, Pak Dude langsung menyuruh Hika masuk. Ternyata Hika melamar kerja dan langsung diterima tapi tidak sekantor denganku, di kota lain.
Beberapa kali kami sering berkomunikasi saat dia berkunjung ke kantor, sangat menyenangkan sich berkomunikasi dengannya, aku mencurigai sesuatu tentangnya tapi aku tak mungkin menanyakannya langsung, sampai suatu ketika aku malah yang curhat padanya, karena beban yang aku rasa tak bisa aku tahan sendiri, responnya sungguh bagus saat itu, dia malah mengenalkanku sama omnya yang katanya punya kelebihan bisa membantu mencarikan solusi, sore itu aku dan Hika berjanji ketemu omnya di sebuah rumah makan.

Saat ketemu omnya Hika aku merasakan ada penolakan dalam diriku, ada peringatan yang menyuruhku.“jangan terlalu dekat, kau harus membuat batasan dengannya”, aku tak tahu apa itu, tapi aku mengikuti kata hatiku.
Kini Hika menjadi teman yang paling dekat denganku, karena sudah dua tahun ini, dia sekantor denganku, dia cerita banyak masalah pribadinya tentang mantan-mantan pacarnya yang semuanya menyakitkan hatinya, hmmm, karena munurutku Hika terlalu mudah jatuh cinta, siapa yang berani jatuh Cinta harus siap juga sakit hati.

Pagi ini tidak menyangka Hika tiba-tiba meneleponku
“Halo, Assalamui’alaikum...” kata awal yang selalu aku ucapkan saat menerima telepon
“Mba udah berangkat belum”
“Belum nich, oh iya ka, kemarin Bu Tiwi mengajak senam bersama loh, tapi aku sich udah menolak gak ikut” kataku menawarkan ke dia kalo saja dia mau ikut.
“Gak mba, aku lagi gak enak badan.”  Ya udah ya mba ntar aku jemput ke rumah”
Aku senang saat dia menawarkan itu “ Bener nich mau jemput, ya udah aku tunggu ya” tapi ada kecemasan takut terlambat sich, karena tadi Hika bilang dia masih ada di kosannya.

Aku merapikan kerudungku dan segera menunggu Hika di teras rumah.
Tak berapa lama Hika datang dengan motor yang tak biasa dia pakai, aku langsung tanya
“motor siapa tuch”  belum dia menjawab aku sudah menyimpulkan itu motor teman barunya Nadine.
“motornya temen mba” jawabnya
“motornya Nadine ya?”
“bukan mba, motornya Riza temen kos” kata Hika
“ooh, jawabku. Dan langsung duduk dibelakangnya.

Kalo sudah ketemu begini, akhir-akhir ini pasti kami terlibat obrolan tentang Nadine, wanita manis dengan sikap yang supel, sangat menyenangkan itulah kesan yang aku lihat saat pertama Hika mengenalkannya padaku, memang wajar kalau Hika begitu memujanya, karena nadine itu punya banyak hal yang menyenangkan, aku saja bisa langsung akrab dengannya.
Nadine dikenal Hika melalui teman lelaki Hika yang tadinya sich mau dicomblangkan temannya ke Hika, ternyata malah hati Hika tertambat oleh sikap apa adanya Nadine, dan sungguh di luar dugaan kalau Hika bisa cerita hal yang rahasia, yang selama ini hanya ke aku saja dan omnya Hika berani berbagi, itu sich menurut pengakuan Hika suatu ketika.

“Mb..... Mb... “  sapanya suatu pagi kebiasaan buruknya yang selalu mengganggu pagi-pagi, tapi ya justru karena itulah aku kadang menjadi bersemangat, senang mendengar dia berbagi cerita.
“apa, ada Apa ? aku berusaha meladeninya walau kadang aku kurang fokus karena sembari bekerja
“aku baru kenal sama temannya Aji, dia nice banget mba, dia bisa terima loh keadaan aku”
Alisku mengrenyit aku langsung penasaran, karena selama ini wanita normal, hanya aku yang bisa menerima keadaan Hika.

“oh ya masa’ sich”
“iya mb, aku cerita banyak sama dia, Nadine itu suka fotografi, dia itu apa adanya” kata Hika panjang lebar tentang pujian-pujiannya ke Nadine, membuat aku penasaran, tapi sebenarnya feelingku mengatakan kalau Hika lambat laun akan menyukai Nadine seperti yang lain.
Ya, Hika tak pernah lelah, walau sering patah hati. Begitu semangatnya Hika sampai menyuruhku menilai foto Nadine”

Mba, lihat dech fotonya, what do you think about her? Kata Hika yang lebih sering menyampaikan kata-katanya diselipi bahasa inggris itu.
Aku gak pernah bisa menolaknya, walau aku juga bukan psikolog atau peramal tapi mau tidak mau aku harus menilai, hehehe... kalau sudah begini aku jadi serasa hebat. Tapi itulah Hika yang selalu menganggapku bisa, padahal aku juga belum tentu benar.

Dari foto yang kulihat, aku menyimpulkan :
“Dia sepertinya banyak omong dech”  Angkuh. Seperti anak yang nakal” kataku pada Hika sok tahu hehehe.
Aku melihat wajah Hika berubah, saat aku menyampaikan pendapatku, tapi aku segera meralatnya tapi belum tentu benar loh” kataku, “soalnya fotonya seperti itu”. Posisinya mendongak begitu, timpalku.
Beberapa hari ini pasti soal Nadine yang kami bahas, tapi aku sungguh tak enak hati, karena sempat melakukan penilaian yang salah, makanya saat Hika mengajak Nadine main ke rumah malam-malam saat pertama, aku langsung menyampaikan permintaan maafku.

“ka, ternyata mba salah nilai kok, dia baik, wellcome, menyenangkan, kataku”
Hika malah jadi salah tingkah, karena tiba-tiba aku menyinggung itu, untuk meluruskan keadaan aku langsung bilang ke Nadine
“maaf ya nadine, kmaren mba salah menilai fotomu, habis fotonya gitu sich” terangku.
“ooh, gitu mba” kata Nadine, masih tak mengerti, akhirnya Hika menjelaskan.
“Iya, kemaren mba sama aku lihat fotomu di Fb sama Twitter, terus tanya tentang kamu ke mba”
“iya Nadine, fotonya ganti dech jangan yang itu” kataku. Karena emang di Fotonya terlihat judes banget, padahal orangnya gak seperti itu.

Sejak kejadian malam itu, antara aku dan Nadine tak ada komunikasi kecuali Hika yang sering menceritakannya.
Jam makan siang Hika mengajakku makan, dia ingin banget mentraktirku katanya, memang Hika sudah berjanji akan mentraktir di hari ulang tahunnya, tapi aku memang susah kalau diajak keluar kantor disaat jam kerja, akhirnya aku mengiyakan tapi di jam istirahat.
“mb, ayolah aku kan udah janji mau traktir mba”
“iya, tapi nanti dulu ya, kan belum jam istirahat kataku”
Aku selalu gak enak keluar kantor sebelum jam istirahat, makanya Hika selalu bilang ke aku kalau aku orangnya sangat disiplin.

Hika menelepon Nadine, Hika ingin kami makan bertiga, aku sich gak mikir apa-apa lurus saja, aku pikir Hika ingin aku lebih mengenal Nadine, teman barunya itu.
Aku dan Hika naik motor berboncenagan menuju rumah Nadine yang kebetulan gak terlalu jauh dari kantor kami, tapi Hika tak berani ke rumahnya, kami menunggu di gang dekat rumahnya.
Saat Nadine muncul dari balik gang aku terkaget melihat reaksi mukanya yang tiba-tiba pucat melihatku, “apa yang aneh sama aku pikirku” aku sama sekali gak paham. Tapi mungkin karena ini pertama kalinya dia melihatku pakai pakaian kantor dan kerudung, biasanya dia kerumah aku tak berkerudung. Dia memandangi wajahku dan langsung bersalaman sambil mencium tanganku, mukanya masih terlihat pucat.

Kami langsung menuju warung baso, disana kami mulai mengobrol, tapi baru saja baso panas disajikan, aku terkaget.
“Mba aku pinjem Hika ya”
“Pinjem maksudnya? Tanyaku tak mengerti”
“Iya aku sama Hika”.... Nadine tak meneruskan kata-katanya, tapi aku sudah menangkap ada sesuatu antara mereka.
“Hmmm... apa kalian berdua sudah ......” aku tercekat...
Nadine masih dengan muka pucat dan Hika juga dengan muka bersalah menjawab
“Iya, kami udah jadian mba, “maaf ya mba” kata Hika lagi, maaf aku gak bilang sama mba
“Nadine bilang kalau dia pengen ngomong sendiri” kata Hika dengan muka dan nada yang tidak enak
“Maaf ya mba” Hika ulang lagi. Hika merasa tak enak karena ini kali pertama dia tak berbagi denganku.

Aku berusaha menetralisir keadaan itu, aku memang kaget tapi sebenarnya aku sudah menduga hal itu, ya saat bagaimana Hika menceritakan tentang Nadine. Hanya aku sampaikan harapanku terhadap hubungan mereka, ya cinta dan sayang boleh dimiliki siapa saja, termasuk antara wanita dan wanita, tetapi aku ingin Nadine yang terakhir untuk Hika, dan Hikapun sebaliknya.

Kalaupun mereka menjalin hubungan, pada akhirnya akan sakit, karena budaya, tradisi, agama dan negara tidak akan melegalkan hubungan seperti itu, tak ada satu manusiapun yang memilih untuk menjadi Lesbian, apalagi Hika, dengan latar belakang keluarga yang sangat menyedihkan, ibunya menikah tiga kali, ayahnya menikah tiga kali juga, Hika kecil harus menerima nasib diasuh ayahnya karena ibunya bercerai dengan ayahnya dan memilih menjadi TKW, belum lagi Hika mengalami pelecehan seksual dari pamannya sendiri di waktu kecil.

Apapun keadaan Hika, kita tidak berhak menghukumnya, itu yang membuatku mampu mengertinya, Semoga Hika akan menemukan jalan untuk kembali ke kodratnya sebagai wanita seutuhnya.

Minggu, 09 September 2012

PERSAHABATANKU TERENGGUT KARENA KESALAHPAHAMAN


Sengaja ingin mengabadikan Cerpen ini, zaman awal saya menulis cerpen, belum diedit dan masih banyak kesalahan penulisannya.

PERSAHABATAN bukan PELANGI yang indahnya hanya sekejap dan Bukan juga MATAHARI yang hanya bisa menemani setengah hari, tapi PERSAHABATAN adalah suatu ikatan bathin yang terjalin antara sesama manusia.
PERSAHABATANKU TERENGGUT KARENA KESALAHPAHAMAN

Cirebon, kata yang tak asing bagiku, bahkan sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar bukan dari guru mata pelajaran IPS tapi karena di kota inilah Bapakku dilahirkan. Aku tak pernah menyangka di Cirebonlah drama kehidupanku yang mengharu biru kualami kini. Dari jatuh cinta pada pandangan pertama sampai persahabatan berubah menjadi permusuhan, sungguh menyakitkan, kenal tapi tak saling menyapa.
Mba Alya, begitu aku memanggilnya, wanita berkacamata dan berkerudung dengan postur badan sedang, dia satu-satunya teman wanita di kantorku yang baru, dia sudah lebih dulu beberapa bulan bekerja saat aku masuk, aku dan dia sangat berbeda, dari strata sosial, latar belakang keluarga, pendidikan, keahlian dan banyak hal lainnya, hmmm... bukannya memang manusia diciptakan berbeda ya... supaya hidup ini kaya. Dia lulusan sarjana dari universitas terkemuka di cirebon, dia juga berasal dari keluarga harmonis dan ayahnya seorang polisi, mahir komputer pula. Sementara aku perantau, tamatan SMA yang bukan favorit dan berasal dari orangtua yang menikah lebih dari satu kali, bahkan aku anak dari istri kedua, ditambah lagi aku tak punya keahlian apa-apa, lengkap deh kekuranganku, itulah alasannya aku agak minder dengannya, tapi aku mulai belajar sedikit demi sedikit, setiap pagi aku datang lebih awal untuk belajar mengetik dengan mesin ketik.

Baru beberapa hari aku kenal dia, dia sudah bercerita tentang seorang laki-laki yang dijodoh-jodohkan oleh teman-teman dengannya, Bang Binsar itu panggilanku untuk laki-laki itu, tapi justru panggilan “Bang” itu yang akhirnya menjadi masalah, buat aku yang lahir dan besar di Simalungun sungguh menganggap panggilan bang itu tak istimewa apalagi bang Binsar pernah lama tinggal di Medan begitu yang aku dengar.
Aku dan Mba Alya sangat dekat, banyak hal yang sering kami ceritakan, Mba Alyalah yang mengenalkan tempat-tempat belanja di Kota Cirebon, singkat cerita Mba Alya dan Bang Binsar menikah tidak melalui proses pacaran karena Mba Alya ingin segera menikah seperti pengakuannya.
“Dulu tiap malam aku berdo’a agar diberikan jodoh, Alhamdulillah ternyata bukan hanya jodoh yang dikabulkan oleh Allah, tapi dikasih kerjaan juga” kata Mba Alya suatu hari dengan rona bahagia saat menjelang hari pernikahannya.

Mba Alya aku anggap kakakku karena usia kami yang terpaut 7 Tahun, dia juga banyak mengajarkan kemajuan teknologi kepadaku, salah satunya cara memakai ATM, terlalu gaptek aku sampai gak ngerti pakai ATM bagaimana, saat aku memutuskan memakai kerudung Mba Alya juga yang membantuku dan mengajari bagaimana caranya, bahkan saat Bos kami menggelar hajatan pernikahan anaknya, karena aku baru berkerudung aku tak punya baju muslimah, Mba Alya menawarkan baju adiknya.
“Pakai punya Raina aja, pasti pas dech buat kamu” ada kerudungnya juga” katanya.
“emang boleh mba sama Rainanya dipinjam saya”
“boleh, nanti aku yang bilang”
“makasih, makasih banyak ya mba”. Jawabku senang.

Aku juga sangat percaya padanya, sampai aku pernah meminjamkan kartu ATMku plus ngasih no Pinnya pula saat dia ingin pinjam uang karena cincin tunangannya hilang. Tapi keesokan harinya Mba Alya mengembalikan kartu ATMku dan bilang gak jadi pinjam.
“Nich Nay gak jadi, udah pinjam sama Tante, makasih ya” katanya.
“Oh iya mba sama sama padahal gak papa pakai punya saya juga “ kataku tulus.
Hmmm.... sungguh persahabatan yang manis sampai suatu hari aku menyesal pernah mengatakan dan memuji muji suaminya Bang Binsar hanya untuk menyenangkan hati Mba Alya.
“Mba dulu waktu pertama masuk, aku kira Bang Binsar yang jadi Bos di sini, soalnya rapi banget pantes cara berpakaiannya” kataku tanpa rasa bersalah. Mba Alya hanya tersenyum saja. ditambah lagi aku pernah bilang, 
“Di bis waktu aku pulang ada orang yang mirip deh sama Bang Binsar” kataku polos dan apa adanya karena memang mirip. Lagi lagi Mba Alya hanya tersenyum simpul.
Semenjak hamil ada yang berubah dari Mba Alya, dia cenderung jutek ke aku, pernah juga menyampaikan uneg-unegnya tentang seseorang yang menyebalkannya tapi dia tak cerita siapa.
“Nay, aku sebel sama seseorang, aku gak tahan lihat orang itu, aku pengen keluar kerja, tapi gak boleh sama mama dan adik-adikku”. Kata mereka nanti keenakan dia aja, curhat mba Alya.
“Siapa mba orangnya” tanyaku penasaran, ada rasa tak nyaman dihatiku, ini kali pertama Mba Alya gak jujur padaku.
“sama aku ya mba, kataku karena perubahan-perubahan sikapnya padaku.
“gak bukan kamu kok” kata Mba Alya menutupi, Hatiku sedikit lega. Tapi belakangan aku tahu kalau akulah yang dimaksudnya.

Hubungan kami masih baik tapi tak seperti dulu lagi, sampai dia cuti melahirkan, mau tak mau kerjaan dia aku yang handle, aku sempat kalang kabut juga karena aku gak punya keahlian komputer. Akhirnya aku kursus komputer, lancar semua kerjaan Mba Alya di tanganku, dua bulan berlalu Mba Alya masuk kantor lagi, tapi orang-orang di kantorku lebih mempercayakan pekerjaan Mba Alya yang dulu ke aku. Aku yang lebih sering disuruh, itu terjadi di depan mata Mba Alya, sungguh aku tak enak... makanya aku menyerahkan itu ke Mba Alya tapi Mba Alya menolaknya.

Lambat laun hubungan kami memburuk, dia berubah judes dan ketus ke aku, kalau ketemu selalu pasang muka masam, aku pikir karena soal pekerjaan saja, aku tak pikir macam-macam, aku masih berusaha biasa seperti dulu. Semakin hari semakin tak ada komunikasi antara aku dan Mba Alya sampai aku menikah dan pindah ke bagian lain dan banyak karyawati lain di kantorku, dia benar-benar menjauh, mereka semua memusuhiku, semua teman-teman wanita menjauhiku, ada apa sebenarnya ? aku tak tahu ?, dari mulut ke mulut aku dengar kalau Mba Alya menuduhku suka ke suaminya, tapi aku masih tak percaya, aku masih berfikir itu soal pekerjaan saja, aku pikir, dia merasa aku merebut pekerjaannya.
Sampai suatu hari Mba Ernas ingin kami berdamai, dia mempertemukan aku dengan Mba Alya di Mushollah kantor, saat karyawan laki-laki sholat jum’at,  Mba Ernas hanya meninggalkan kami berdua.

“Aku mau tahu, kamu suka kan sama suamiku ?” suara Mba Alya memecahkan kesunyian, sekaligus seperti petir di siang bolong tapi gak ada hujan buatku.
“Ya Allah Astaghfirullahalazhim, Demi Allah mba, saya gak begitu” kataku sangat sedih.
“Kalau gak, kenapa kamu selalu memuji-muji suamiku, Kenapa mesti manggil  “Abang”, kenapa gak seperti ke yang lain, manggil Bapak atau nama saja” Mba Alya menghardikku, pantas saja dia pernah bilang alergi sama panggilan abang, saat aku tanya kenapa gak manggil abang saja ke Bang Binsar.
“Mba, sungguh saya gak pernah suka sama suami mba, Demi Allah, kalau panggilan abang itu biasa di Sumatra” kataku berusaha menyakinkan.
“Ah, Demi Allah, Demi Allah, banyak kok orang yang ngomong Demi Allah tapi berbohong.
Aku terdiam, tak berusaha membela diri, aku memang tak pernah menyukai suaminya, tapi aku tak kuasa meyakinkan, itu soal rasa, sulit untuk dibuktikan kalau kata Demi Allah saja tidak juga dipercayanya. Masih terasa sakit hatiku, tapi ditambah lagi dengan kata-kata yang sungguh menyesakkan dada.
“Banyak kok yang ngomong kamu suka cari-cari perhatian ke suamiku, kamu juga cewek gampangan” Katanya dan menyebutkan beberapa nama laki-laki di kantorku.

“Oh Tuhan, Sakiitnya.... aku sedih, hatiku bergemuruh, aku tak terima mendengar itu semua, tapi sungguh tak mampu, aku menghormati dan menyayangi mba Alya, aku menganggapnya seperti kakakku sendiri, mana mungkin aku suka suaminya, ngobrol intens berdua dengan suaminya aja gak pernah, ada hal yang aku sesalkan kenapa aku tak cerita ke Mba Alya soal laki-laki kantor sebelah yang telah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama yang kini jadi suamiku.
Mba Alya mengancamku dan memintaku untuk menjauhi suaminya, “Jangan pernah ngomong sama suamiku lagi, jangan panggil suamiku dengan panggilan abang” aku hanya mengangguk tak berkata apa-apa lagi, badanku lunglai, sakiiit saat kita tak dipercaya.

Aku penasaran, dari kata-kata Mba Alya itu aku tanya ke nama laki-laki yang disebutkannya itu, darimana mereka menyimpulkan aku cewek gampangan, karena makan berdua dengan laki-laki saja aku gak pernah, aku sungguh menjaga sikap untuk tidak membuat oranglain berfikiran negatif, tak ada satupun dari mereka yang mengakui pernah mengatakan itu, aku sungguh tak tahu siapa yang benar mereka atau mba Alya.
Setelah kejadian itu aku yang merasa terluka karena ucapan Mba Alya, aku pikir benar kata-kata orang, kenapa harus ke orang lain dulu baru ke aku, bukannya kita dekat, hmmm.... ternyata kami tidak saling mengenal satu sama lain.

Semua sudah berlalu, semuanya telah hancur karena keegoan masing-masing, aku yang tadinya berusaha mendekati , kini menyerah, aku selalu menangis kalau ada yang bertanya ada apa antara aku dan Mba Alya. Kenal tapi tak saling menyapa, persahabatanku terenggut karena kesalahpahaman itu, akankah kembali ??? ntahlah.... hanya waktu yang bisa menjawab, tapi kenanganku tentang kebaikannya tak akan hilang.
Ada yang aku pelajari dari kejadian itu, Sahabat adalah orang yang harusnya paling mengerti kita, Sahabat ada saat suka dan duka, sahabat memuji di belakangmu, tapi meyampaikan kritikan pedas saat berdua, yang terpenting sahabat orang yang membuat kita nyaman berbagi dengannya begitu sebaliknya, sahabat tempat kita bisa cerita apa aja, buatku sahabat harus saling percaya.

Apakah benar sahabatmu sekarang sahabat sesungguhnya belum tentu, so.... jangan tutupi satu hal kecilpun dari sahabatmu... sebelum kesalahpahaman menghampirimu, semoga kita menemukan sahabat sejati.

BERCINTA DI UJUNG MALAM



kucari sosok-Mu pada pekat malam
menjelma dalam lamunan yang jalang
meraba tubuhku yang diam
meremas rindu merangsang
menggelinjang dalam tangisan

di hamparan sajadah panjang
airmataku menetes perlahan
perlahan dan semakin menggenang
jiwaku terguncang
gundah, gelisah bercampur lara
teringat segala derita nista

di hamparan sajadah panjang
kuuntai doa penuh iba
munculkan hasrat membara
aku ingin bercinta
di ujung malam nestapa
dengan-Mu yang maha sempurna

Cirebon, 30 Mei 2012