Rabu, 13 Februari 2013

Cerpenku yang ada di Joefiksi Volume I: SURAT CINTA NAYLA

Cerpenku yang ada di Joefiksi Volume I
SURAT CINTA NAYLA


Lembayung senja terlihat di ufuk barat. Menampilkan keindahan yang memukau. Semburat mega mengintip di balik langit. Seorang gadis manis berambut panjang dengan tubuh langsing, berhidung mancung, dan berwajah polos tanpa make up sedang  asyik menunggu bus di bawah pohon mahoni.  Pipinya memerah, lamunannya mengembara. Dadanya berdetak kuat, ada rasa yang mengaduk hatinya.  Tak sabar membaca surat yang tadi siang diterimanya dari Roy teman sekelasnya.
Dengan tergopoh, di jam istirahat Roy menemuinya. “Nay, ini ada titipan dari Bobby.”
“Apaan Roy?” Nayla melihat ada amplop putih polos di tangan Roy.
“Gak tahu Nay, tapi pesen Bobby kamu bacanya di rumah.”
“Wah, surat cinta Nay,” ledek Lidya. Roy cenderung tanpa ekspresi.
Nayla menerima amplop itu. Mata teduhnya mengamati. Tak ada nama pengirimnya. “Surat apakah ini. Apakah surat cinta,” gumamnya dalam hati. Nayla tak sabar ingin membuka, tapi perasaan itu ditahannya. “Ah, belum tentu Lid,” jawab Nayla dengan pipi memerah. Ada debar dalam hatinya.

Konsentrasi Nayla sungguh terbagi. Pelajaran Fisika yang disampaikan Pak Hanafi hari ini tak disimaknya dengan sungguh-sungguh. Amplop putih yang tadi diterima dari Roy penyebab pikirannya bercabang. Dua jam terasa begitu lama. Selesai pelajaran Fisika. Nayla masih harus berjibaku menunggu bus yang akan ditumpanginya untuk pulang. Sementara hari menjelang magrib. Satu jam menunggu akhirnya bus itu datang juga.

Bus begitu penuh sesak. Nayla terpaksa berdiri di depan pintu masuk bus. Hawa sejuk mulai terasa menyeruak ketika melewati perkebunan karet yang begitu luas. Bus terseok-seok dengan muatan yang berlebih. Jalanan yang aspalnya mengelupas dan tak rata membuat para penumpang seperti berada dalam kapal yang terombang-ambing oleh ombak.

Pemandangan asri terbentang sesaat setelah turun dari bus. Jalanan berumput yang di kanan kirinya sawah menghijau bagai hamparan permadani. Namun terlihat agak remang di mata Nayla. Karena rumahnya yang terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. Tak ada aliran listrik yang menjangkau rumahnya. Rumah yang terbuat dari geribik bambu, sungguh minim dengan fasilitas rumah mewah. Tak ada air bersih. Apa lagi televisi. Nayla lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya petani. Ibunya, ibu rumah tangga biasa. Namun segala keterbatasannya tak menghalanginya meraih prestasi. Nayla menjadi juara satu di semester pertama padahal dia murid baru di SMP PGRI yang menerapkan masuk siang. Sebelumnya dia murid di sekolah swasta yang terpaksa ditutup karena tanah dan bangunannya disita oleh Bank.

Melewati sebuah jembatan kayu, sampailah Nayla di rumahnya. Dengan rasa yang tergesa Nayla sungguh tak sabar ingin segera membaca surat cinta yang belum pernah diterimanya selama ini. Keadaannya tak memungkinkan. Rasa penasaran masih harus menguasai hatinya. “Sabar, Nay. Tunggu sampai semuanya tidur,” ucapnya dalam hati.

Pukul 21.00 WIB, malam terasa begitu gigil. Dingin menyergap tubuhnya. Di luar hening, hanya terdengar suara jangkrik dan desau angin. Nayla pelan-pelan mengambil amplop putih yang tersimpan di dalam tasnya. Nayla mulai merobek amplop putih polos. Nayla gemetar. Ini pertama kali dapat surat dari seseorang. Benarkah surat cinta seperti kata Lidya? Amplop putih itu sudah lemas tertidur di lantai tanah. Kini Nayla memegang amplop merah jambu. Bau harum menyerbak ke mana-mana. Wanginya sangat nyaman untuk dihirup.

“Untuk Nayla inspirasiku.” Tertulis kalimat romantis di amplop merah jambu itu. Hati Nayla bergetar.  Disobeknya amplop pink itu. “Owh,” pekiknya dalam hati. Ternyata di dalamnya kertas warna pink juga dengan motif bunga. Bau harum yang tadi diciumnya semakin kuat. Tangan Nayla tambah gemetar. Ada perasaan takut. Bagaimana kalau tiba-tiba kakaknya terbangun memergokinya. Pasti akan mengadukan kejadian itu ke ibunya atau kalau tidak akan mengejeknya membuat hidung Nayla kembang kempis karena malu, tapi segera ditepisnya pikiran itu. Nayla mulai membuka lipatan kertas merah jambu bermotif bunga  dan membacanya.

Nayla, sejak pertama melihatmu
Ada yang aneh dihatiku
Senyummu selalu hadir
Begitu manisnya Nayla
Sampai mengganggu tidurku
Nayla, kau sempurna di mataku
Pintar, cantik, manis, baik pula
Nayla, bolehkah aku mengagumimu
Nayla, aku tak bisa mengartikan rasa ini
Kucoba mencari jawabannya
Kini aku tahu.
Aku sungguh jatuh cinta padamu Nayla
Ya,  rasa yang pertama kali bagiku
Nayla, kau inspirasiku
Aku sungguh mencintaimu
Aku harap kau pun sama
Nayla, tolong balas suratku
Jangan biarkan aku resah menunggu
I Love U

Andre

Deg ... Deg ... Deg ... Jantung Nayla berdegup sangat kencang. Wajahnya merah padam. “Ooh beginikah rasanya kalau membaca surat cinta?” tanyanya dalam hati. “Andre, benarkah dia yang menulis surat ini?” tanyanya lagi. Nayla seperti tak asing dengan tulisan itu, “Ooh siapakah?” ucapnya dalam hati sembari mengingat-ingat. Andre itu sangat pendiam. Mungkinkah dia bisa merangkai kata-kata begitu menyentuh hati Nayla. Kenapa Nayla tak yakin itu dari Andre. Entahlah, begitu banyak pertanyaan yang tak bisa dijawabnya membuat kepalanya pusing. Diilipatnya lagi surat itu dan dimasukkan di amplopnya. Nayla berusaha menenangkan hatinya.

***

Suara riuh  terdengar menyakitkan telinga. Hari ini Pak Johan, guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia tak hadir, hanya memberikan catatan untuk ditulis Nayla di papan tulis. Inilah saatnya Nayla mencari tahu, benarkah surat cinta itu dari Andre.
“Andre, aku pinjam catatannya ya, boleh nggak?”
Laki-laki pendiam itu menoleh. Dengan cuek dia menjawab, “Boleh kok Nay, tapi tulisanku nggak rapi.”
“Nggak papa kok.” Nayla menerima buku Andre dengan senyum mengembang. Sementara sikap Andre tak menunjukkan kecanggungan sama sekali. Sikapnya itu membuat Nayla bertanya-tanya. “Begitukah reaksi orang yang mencintainya?”

Tanya Nayla sedikit terjawab saat dia sandarkan tubuhnya di bangku kayu. Tangannya mulai membuka lembar demi lembar buku tulis catatan Andre. Matanya melotot, tulisan di buku tulis Andre  sama sekali tak mirip dengan tulisan di surat cinta itu. “Oh Tuhan, siapa sebenarnya pengirim surat cinta itu?” Nayla merasa sedih. Hatinya luka. Dia merasa diperdaya. “Ataukah Andre meminta seseorang menuliskan untuknya? entahlah.” Kepala Nayla terasa berat.

“Nay, ada apa?” suara Lidya mengaketkannya.
“Aku ...” Nayla tak meneruskan kata-katanya. Matanya menatap ke arah Lidya. Seperti mencari keyakinan kalau Lidya tak akan membocorkan rahasianya.
“Ada apa?”
“Aku kemarin menerima surat cinta Lid.”
“Tuch kan bener surat cinta.”
“Lydia, jangan keras-keras dong ngomongnya. Aku kan malu.”
Sorry, sorry. Hehehe. Dari siapa?”
“Dari Andre, tapi kok tulisannya gak sama ya?”
“Tulisan siapa?”
“Tulisan Andre dan tulisan di surat cinta itu. Iiih, kamu nich.”
“Oh ya? kamu kok tahu?”
“Lidya, lama-lama kamu buat aku kesel dech. Kan tadi aku pinjem buku Andre.”
Ok, ok. Sorry, sorry, hehehe. Habis mukamu itu kelihatan merah. Lucu.”
“Yey, udah ah. Tuch udah bel. Pulang yuk.” Sungut Nayla.

***

Malam meremang, menambah keheningan yang menghentak dada. Nayla tak dapat memejamkan matanya, dengan penerangan lampu sentir. Dibaca lagi surat cinta itu. Bayangan beberapa orang berkelebat di rongga kepalanya, “Aku harus membalas surat itu. Dengan membalas mungkin saja aku tahu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucapnya dalam hati sembari mengambil buku tulis dan merobek di bagian tengah buku. Nayla sendiri belum tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Dituangkannya perasaannya itu dalam surat balasannya. Remang-remang cahaya lampu sentir membuat Nayla harus menulis begitu dekat.
                              
Andre, maaf ya aku balas suratnya baru sekarang
Terima kasih untuk surat cintamu
Terima kasih telah mengagumiku
Terima kasih juga telah mencintaiku
Tapi maaf aku hanya bisa menganggapmu teman biasa
Aku belum tahu bagaimana rasanya jatuh cinta
Aku tak ingin main-main dalam cinta
Untuk saat ini aku hanya ingin fokus belajar
Karena menurutku
Buat apa beli Lemari
Kalau tidak diisi kain
Buat apa memadu kasih
Kalau tidak menjadi kawin
Aku belum siap pacaran
Maaf ya Andre ...

Nayla

Nayla usianya masih muda, tapi begitu dewasanya dia, mungkin keadaan orang tuanya yang membuat Nayla begitu. Ibarat buah matang sebelum waktunya. Dia tak menikmati masa remajanya selayaknya anak lain seusianya.

Sebelum masuk kelas. Nayla serahkan surat itu ke Roy. Nayla berharap Andre akan mengerti. Andre tidak akan marah dengan surat balasannya. Andre juga tidak akan tersinggung. Ternyata saat jam istirahat justru Nayla terkaget karena kata-kata Bobby.
“Nay, buat apa memadu kasih kalau tidak menjadi kawin ya?”
“Hahahaha.” Belum hilang rasa kaget Nayla, tiba-tiba terdengar Rahmat tertawa terbahak-bahak. Nayla mengalihkan pandangannya ke Andre, tapi Andre hanya menundukkan kepalanya.
“Hmm ... Bobby tahu dari mana dia. Rahmat kenapa tadi ketawa seperti itu?” Nayla kesal tapi tak menegur mereka. Dalam hati Nayla bergumam. “Jangan-jangan  mereka baca surat balasan Nayla rame-rame. Untung gak diterima cinta Andre. Kalau Nayla terima bisa-bisa hanya pura-pura dan mereka akan mempermalukannya.” Nayla sibuk dengan pikirannya sendiri. Nayla berlalu meninggalkan mereka. Dilihatnya Lidya sedang duduk di depan kelas.

“Lid, aku curiga dech. Bobby, Rahmat sama Andre itu ngerjain aku.”
“Kamu kok menyimpulkan begitu Nay.”
“Habis tadi Bobby tahu aku nulis apa di surat balasanku. Terus Rahmat ketawa ngakak lagi. Menyebalkan Lid.”
“Masa’ Nay?”
“Iya Lid. Aku juga kaget.”
“Nay aku ingin menyampaikan sesuatu sama kamu.” Sebuah suara mengagetkan Nayla.
“Ada apa Ris?”
“Rahmat itu suka sama kamu.”
“Maksudnya?”
“Rahmat itu Playboy Nay. Aku pernah pacaran sama dia. Mana mau dia dikalahkan sama cowo lain di kelas ini. Aku dulu diputusin sama dia gara-gara dia suka sama Silvia, eh ternyata Silvia juga diputusin. Gak tahu Rahmat itu maunya apa?, tapi Rahmat itu suka sama kamu Nay.”
“Suka, masa’ sich?”
“Iya Nay, dia suka sama kamu karena kamu pintar tapi dia gengsi aja ngakuin.” Nayla kaget. Sama sekali dia tak menduga Risa menyampaikan itu ke dia apalagi ada Lidya, yang jelas-jelas menerima surat cinta dari Rahmat kan Lidya.
“Tapi Ris, yang menerima surat cinta dari Rahmat itu Lidya.”
“Iya. Aku tahu kok.”
“Ha ... apa? tahu dari mana?”
“Aku dengar gak sengaja saat Rahmat ngobrol Nay.”
“Apa ...?” Mata Nayla terbelalak, dia penasaran benarkah Risa tahu sesuatu.
“Rahmat bilang ke Bobby dan Andre. Dia suka sama kamu karena kamu pintar Nay. Tapi dia juga suka sama Lidya karena Lidya itu cantik.”
“Tapi aku gak suka tuch sama Rahmat.” Lidya yang dari tadi diam langsung bersuara dan memandang ke arah Nayla.
“Iya jangan Lid. Biar tau rasa dia.” Risa terlihat kesal.

Rahmat sungguh membuat Nayla kesal. Kenapa harus memakai nama Andre untuk mengirim surat kepadanya. Kenapa juga Andre mau saja. Nayla juga tak suka Rahmat, tapi Nayla penasaran. Tidak bisa didiamkan. Dia harus cari tahu apa benar yang dikatakan Risa. Lalu siapa sebenarnya yang menulis surat cinta untuknya. Batinnya bergolak. Dengan langkah tergesa didekatinya kerumunan Rahmat dan gengnya. Di sana ada Bobby, Roy, dan juga Andre.

“Bob, aku mau tanya?”
“Soal apa Nay?”
“Tadi kenapa kamu meledekku dengan balasan suratku ke Andre. Sebenarnya siapa yang mengirim surat itu?”
Bobby membisu, justru tawa Rahmat yang terdengar, “Hahahaha, Nayla manis, gak usah marah gitu dong.”
“Rahmat, kamu yang menulis surat itu ya?”
“Iya, kenapa?”
“Jadi, apa yang dikatakan Risa itu benar?”
“Risa? Memang Risa bilang apa?”
“Kamu yang menulis surat cinta untuk aku dan Lidya?”
“Iya, lalu kenapa?”
“Rahmat, kamu cuma mau mempermainkan aku kan? Andre, kenapa kamu juga mendukung Rahmat? Kenapa kamu mau nama kamu dipakai? Bobby, kamu juga .. Roy kamu .. Kalian semua jahat. Kalian jahat. Kalian mempermainkan aku.” Nayla berlari dengan pipi basah. Rasa perih merajai hatinya. Roy berlari mengejarnya.
“Nay, Nay, tunggu ..” Nayla tak mempedulikan. Dia terus berlari menuju kamar mandi sekolah.
“Ya Tuhan, ini surat cinta pertamaku. Mereka tega membuat hatiku sakit,” gumamnya lirih. Air matanya terus menetes sederas air kran kamar mandi. Membasahi wajahnya yang polos. Hati Nayla terasa hancur berkeping. Nayla merasa mereka semua bersekongkol menipunya.

Cirebon, 04 Desember 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar