Rabu, 20 Februari 2013

Mengabadikan Puisi berbalas di Hari Ulang Tahunku ke-31

SAHABAT
untuk : Mbak Menning Alamsyah

sahabat,
senyummu selalu hadir sebagai penyejuk hati
seperti bening embun di dini hari

sapamu tulus dan lembut
penghangat batin dari dinginnya kabut

semangatmu tuk berkarya tak akan henti
bagai bunga cantik menebar wangi

sahabat,
setangkup doa sederhana untukmu
semoga anugerah dan berkah melimpah
menghampirimu di segenap jejak langkah
bahagia senantiasa
dengan ridha-Nya dalam lindungan-Nya

***Bandung, 18 Februari 2013

Selamat ulang tahun, Mbak Menning.
Semoga sehat dan makin sukses.



UNTUK WANITA BERKERUDUNG MERAH

: Tri Ratna Rachmawati

Pagi berkabut berteman mentari setengah hati
sementara sedu sedan masih tertahan
dan bahagia menyusup datang perlahan

Kau, kutunggu sapa lembut
sebagai tanda pengingat
aku masih ada di anganmu

Dan haru mengelilingi jiwa
ketika kubaca untaian kata
yang kaukirim di dunia maya

Aku tak ingin kau menjauh
tinggalkanku di sudut bisu
jadi peluk erat aku di rentang waktu

Cirebon, 18 Februari 2013

Kamis, 14 Februari 2013

AKU BERBEDA


Cerpen ini juga sudah dipublish di:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/02/14/aku-berbeda-533604.html
http://radarseni.com/2013/02/24/aku-berbeda/

AKU BERBEDA

Senyap yang amat kurasa di antara begitu banyak canda dan tawa mereka. Dadaku terasa sesak saat aku membaca status seorang wanita yang dulu sangat dekat denganku. TehNisya. “Dulu, aku pernah membuka pintu itu seluas-luasnya. Namun kini aku menutupnya. Harapku kau mengerti mengapa aku melakukannya? karena kesempatan itu tak selalu datang dua kali. Maka manfaatkanlah bila ada kesempatan baik menghampirimu,” tulisnya di sebuah jejaring sosial. Aku terhenyak, kalimat itu seperti tertuju untukku.

Berbagai cara sudah kulakukan untuk mendekatinya seperti dulu. Bagiku, dia bukan hanya sebagai rekan kerja sekantor, tapi juga sebagai kakak. Orang yang sangat mengertiku, orang yang selalu mendengar keluh kesahku, dan satu-satunya orang normal yang menerimaku di dunia ini. Ya, hanya dia, karena aku berbeda. Berbeda karena rasa dalam diriku yang kadang membuatku membenci diriku sendiri. Namun, karena kesalahanku kiniTeh Nisya menjaga jarak denganku. Aku memang salah, padahal aku sangat mengenalnya. Aku telah mengecewakannya.

Aku masih ingat saat pertama aku membuka rahasia besar dari diriku yang selama ini aku simpan. “Teh, aku ingin cerita sesuatu sama Teteh, rasanya mengganjal,” ucapku suatu pagi cerah bersinar mentari. Aku berkunjung ke ruangannya yang nyaman berAC dan rapi.

“Ada apa Lyra? Cerita aja. Teteh, akan mendengarkan,” jawabnya dengan sabar.

Teh, sebenarnya … Lyra ….” Aku tak meneruskan kata-kataku.

Aya naon?” Teh Nisya mulai penasaran. Dia menatapku lekat, tak lagi menatap layar komputer yang dari tadi dilakukannya.”

Aku tak segera meneruskan, kain gordin berwarna hijau itu seperti memelotiku. Membuat keyakinanku yang tadi telah terkumpul hilang begitu saja.

“Lyra, Aya naon? Kok malah diam,” tanyanya lagi.

Teh … aku …”

“Lyra, ceritakan saja bila memang mengganjal, tapi kalau memang belum siap, ya jangan lakukan ya.”

Teh, Lyra akan cerita. Terserah Teteh akan menerima Lyra atau tidak,” ucapku dengan nada pasrah.

“Lyra, bagaimana Teteh bisa tahu kalau Lyra tak cerita.”

“Iya, Teh.  Lyra, berbeda dari Teteh. Lyra juga benci dengan perasaan ini. Lyra mencintai Vina.”
Teh Nisya tersenyum walau aku melihat kekagetan di wajahnya.

Teh, kok tersenyum?”

“Lyra, Teteh sudah menduga sebelumnya ada yang beda dari dirimu. Yang mengagetkanTeteh, kenapa harus Vina?”

“Ya, karena perasaan yang menyiksa ini juga. Pagi ini Lyra menemui Teteh. Ada yang menghentak-hentak dalam diri Lyra bila dekat di samping Vina. Lyra sungguh ingin memeluknya, membelai rambutnya, dan mencumbunya Teh. Lyra sudah lama menyimpan perasaan ini.”

“Lyra, boleh Teteh tanya sesuatu?”

“Boleh, Teh.”

“Dulu, bagaimana perasaan itu muncul. Apakah Vina orang pertama yang membuatmu merasa begitu?”

“Gak, Teh. Perasaan ini sudah ada sejak Lyra SD.” Aku terdiam, ingatan menakutkan itu kembali hadir. Kejadian bertahun-tahun yang lalu itu membuatku menjadi seperti sekarang. Dia, pamanku sendiri tega melakukannya. Malam itu, aku terkaget saat pintu terbuka dari luar kamar. Sesosok yang sangat kukenal muncul dari balik pintu. Om Hendro. Pamanku, adik dari ibu kandungku.

“Lyra, belum bobo sayang?” tanya Om Hendro sembari membelai rambutku.

Aku masih tak berpikir macam-macam. Aku mulai merasa aneh, saat tangan Om Hendro mulai menggerayangi tubuhku. Aku yang masih kanak-kanak kala itu. Sungguh tak tahu apa yang akan Om Hendro lakukan.

“Belum Om. Om kok meraba-raba tubuh Lyra,” tanyaku polos.

“Lyra, Om akan membawamu ke surga, mau gak?”

“Surga? Kata guru ngaji Lyra surga itu indah ya Om?”

“Iya Lyra, Om buka bajunya ya?”

“Kok buka baju Om?”

“Iya Lyra, udah Lyra diam aja ya.”

Om Hendro mulai membuka semua baju yang menempel di tubuhku, tak ada sehelai benang pun. Om Hendro menciumi leher, dada, dan perutku. Aku merasa aneh saat Om Hendro mulai membuka bajunya sendiri, satu persatu hingga Om Hendro benar-benar telanjang. Om Hendro menekan tubuhku, aku merasakan sesuatu dimasukkan ke kemaluanku. Aku mengerang kesakitan, “Om, sakit Om, sakit. Lyra gak mau, Lyra gak mau.”

Aku menangis, meronta-ronta, dan terus menjerit kesakitan, Om Hendro tak memperdulikan. Dia semakin erat mencengkeram tubuhku, rasa sakit itu semakin terasa. Sesuatu yang dimasukan Om Hendro itu seperti pisau yang merobek kemaluanku. Beberapa saat kemudian Om Hendro melepas cengkeramannya. Keringatnya bercucuran, dia tersenyum. Aku masih menangis, merasakan sakit dan perih. Aku melihat darah di sprei. Aku terus menangis, Om Hendro meninggalkanku begitu saja. Saat itu aku teringat Mamaku yang meninggalkanku karena bercerai dengan Papa. Aku juga teringat Papa yang telah menikah lagi dengan wanita lain. Aku benci mereka. Mereka tega meninggalkan aku sendiri di rumah ini dengan nenekku yang sudah renta. Aku masih kelas 3 SD kala itu.

“Mama, Papa, tolong Lyra. Om Hendro nakal sama Lyra. Sakit.” Kalimat itu yang keluar dari bibir mungilku. Malam itu kesucianku terenggut paksa.
***
“Lyra, Lyra … kok malah menangis, ada apa?”. Teh Nisya mengagetkanku, dari tangannya dia memegang selembar tisu dan menyerahkannya kepadaku.

Aku menarik napas panjang. “Teh, maaf. Tadi Lyra teringat kejadian menakutkan itu.”
“Kejadian apa Lyra?”

“Awal dari rasa aneh dalam diri Lyra muncul.”

“Bolehkah Teteh tahu? Lyra jangan buat Teteh penasaran.” Teh Nisya mulai tak sabar.

“Lyra, kini siap cerita Teh, saat Lyra kelas 3 SD. Lyra diperkosa sama Om Lyra. Adik Mama Lyra.”

Astaghfirullahalazhim … Lyra, tega sekali Ommu itu.”

“Iya Teh. Mulai sejak kejadian itu Lyra benci laki-laki, apalagi Papa juga bukan laki-laki yang baik. Papa sering gonta-ganti wanita, sampai Mama meminta cerai. Mama meninggalkan Lyra. Papa yang membuat Lyra kehilangan Mama.” Aku menghapus gundukan kristal yang menggenang di mataku.

Teh Nisya mengambil kotak tisu dan diletakkan di depanku.

“Lyra, Teteh masih penasaran, tapi kalau Lyra tak ingin menceritakan,  jangan lakukan ya.Teteh gak tega melihatmu sedih begitu.”

“Teh Nisya, Lyra akan ceritakan semuanya. Lyra ingin Teteh tahu. Dua tahun setelah kejadian itu Lyra kenal Kak Nadya. Kak Nadya begitu baik, sering memberi Lyra kue dan uang jajan. Lyra yang saat itu sudah ikut dengan Papa yang menduda untuk kedua kalinya, merasa Kak Nadya sebagai pengganti Mama. Kami tidur bersama dalam satu ranjang, makan berdua, mandi berdua sampai SMP dan kedekatan kami itu mulai tak wajar. Awalnya hanya Kak Nadya yang sering menciumi Lyra. Namun karena begitu seringnya akhirnya Lyra juga membalas apa yang dilakukan Kak Nadya. Rasa cinta itu hadir dengan sendirinya. Saat itu Lyra merasa Kak Nadya itu segalanya. Kami bahkan selalu bercumbu sebelum tidur setiap malamnya. Ada ketakutan dalam hati Lyra, takut apa yang kami lakukan diketahui teman-teman kami.” Kuuraikan semuanya, pagi itu topengku telah kulepas di hadapan Teh Nisya.

“Hmm … Lyra, hidupmu sungguh berat. Lalu bagaimana hubunganmu dengan Nadya sekarang?”

“Lyra sudah lama hilang kontak dengan Kak Nadya Teh. Sejak Papa memutuskan pulang ke rumah Nenek di Subang. Sedangkan Kak Nadya kan masih di Jakarta waktu itu.”

“Gak pernah ketemu lagi?”

“Gak, Teh. Lyra igin melupakan Kak Nadya, tapi sungguh susah. Kini Lyra sudah jatuh cinta dengan orang lain. Vina sudah membuat hari-hari Lyra berwarna.”

“Lyra, Teteh mengerti beban yang Lyra alami. Namun menurut Teteh. Lyra harus menahan rasa cinta Lyra ke Vina, jangan tunjukkan sifat berlebihan.”

“Maksudnya berlebihan?”

“Ya, sifat Lyra yang Teteh lihat selama ini dengan Vina itu seperti sifat seorang laki-laki yang menaruh hati, yang rela melakukan apa saja.”

“Ya, itu dorongan dari dalam jiwa, Teh.”

“Memang, bagi Teteh yang kini tahu tentang Lyra, menanggapinya wajar. Dan walaupunTeteh gak tahu tentang Lyra, Teteh juga menganggap wajar karena Teteh gak terlalu senang mencampuri urusan orang lain, tapi di kantor kita ini banyak orang yang senang mencampuri urusan orang lain, benar gak? Ini untuk kebaikanmu sendiri.”

“Iya, Teh. Lyra pernah kaget saat Teh Cindy menyinggung soal mimpinya yang mengatakan Lyra Lesbian.”

“Nah, itu.”

“Tapi Teh. Lyra benar cinta sama Vina. Lyra ingin sekali saja menciumnya. Bagaimana yaTeh?”

“Lyra, jangan! itu sama dengan menghancurkan dirimu sendiri. Belum tentu Vina tidak akan cerita ke yang lainnya. Tahanlah perasaanmu ya.”

“Hmm, sepertinya susah Teh, tapi Lyra akan coba lakukan,” ucapku berjanji kepada TehNisya.

“Lyra, ingat pesan Teteh ya? jangan lupa.”

“Iya Teh.” Hari itulah awal Teh Nisya menjadi orang terpenting dalam hidupku. Tak ada rahasia yang aku simpan satu pun darinya. Setiap aku curhat tentang Vina, selalu hal yang sama yang Teh Nisya sampaikan kepadaku.
***
Hawa dingin menyebar di kamar kosku. Menusuk tulang belulang. Hujan lebat malam ini selain membuat pakaianku basah kuyup juga membuatku demam. Vina menginap di tempat kosku karena dia kemalaman pulang ke rumahnya. Seharusnya hujan itu tak membasahi sejengkal tubuhku bila tadi aku tak menjemput Vina. Namun aku sungguh tak tega saat Vina mengirim sms, dia terjebak hujan lebat di depan kampusnya.

Semalaman aku berusaha menekan perasaanku saat Vina memeluk tubuhku. Malam ini aku tidur seranjang dengan wanita yang kucinta. Wanita yang sangat ingin kucium. Gejolak dalam hatiku semakin membuncah. Dadaku bergemuruh, aku berusaha menahan, ucapanTeh Nisya tiba-tiba melintas. Aku urungkan niatku untuk membelai rambut Vina. Namun lama-lama aku hanyut dalam arus perasaanku. Aku mulai membelai rambut Vina, mencium keningnya, menciumi wajahnya, meraba tubuhnya, dan mulai melepaskan kancing bajunya, Vina sama sekali tak menolak, tanganku mulai menyentuh dadanya, saat itulah Vina mulai menyadari apa yang kulakukan.

“Lyra, kamu mau apa?” Aku tersentak. Aku merasa malu.

“Maaf,Vina. Maaf.”

“Lyra, kamu baik sama aku ada maunya ya?” ucapVina dengan nada suara tinggi. Vina bergegas membereskan pakaiannya dan langsung ke luar kamarku. Aku tak berusaha mengejarnya. Aku menangis di sudut kamar. Malam ini aku telah mengecewakan dua orang yang penting dalam hidupku. Vina dan Teh Nisya. “Maafkan aku, inilah aku. Aku memang berbeda,” gumamku lirih. Hujan masih memercik, begitu pun tangisku.
SELESAI
Teh, Teteh = Panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa sunda.
Aya Naon  = Ada apa
Cirebon,  17  Oktober  2012

Rabu, 13 Februari 2013

Cerpenku yang ada di Joefiksi Volume I: SURAT CINTA NAYLA

Cerpenku yang ada di Joefiksi Volume I
SURAT CINTA NAYLA


Lembayung senja terlihat di ufuk barat. Menampilkan keindahan yang memukau. Semburat mega mengintip di balik langit. Seorang gadis manis berambut panjang dengan tubuh langsing, berhidung mancung, dan berwajah polos tanpa make up sedang  asyik menunggu bus di bawah pohon mahoni.  Pipinya memerah, lamunannya mengembara. Dadanya berdetak kuat, ada rasa yang mengaduk hatinya.  Tak sabar membaca surat yang tadi siang diterimanya dari Roy teman sekelasnya.
Dengan tergopoh, di jam istirahat Roy menemuinya. “Nay, ini ada titipan dari Bobby.”
“Apaan Roy?” Nayla melihat ada amplop putih polos di tangan Roy.
“Gak tahu Nay, tapi pesen Bobby kamu bacanya di rumah.”
“Wah, surat cinta Nay,” ledek Lidya. Roy cenderung tanpa ekspresi.
Nayla menerima amplop itu. Mata teduhnya mengamati. Tak ada nama pengirimnya. “Surat apakah ini. Apakah surat cinta,” gumamnya dalam hati. Nayla tak sabar ingin membuka, tapi perasaan itu ditahannya. “Ah, belum tentu Lid,” jawab Nayla dengan pipi memerah. Ada debar dalam hatinya.

Konsentrasi Nayla sungguh terbagi. Pelajaran Fisika yang disampaikan Pak Hanafi hari ini tak disimaknya dengan sungguh-sungguh. Amplop putih yang tadi diterima dari Roy penyebab pikirannya bercabang. Dua jam terasa begitu lama. Selesai pelajaran Fisika. Nayla masih harus berjibaku menunggu bus yang akan ditumpanginya untuk pulang. Sementara hari menjelang magrib. Satu jam menunggu akhirnya bus itu datang juga.

Bus begitu penuh sesak. Nayla terpaksa berdiri di depan pintu masuk bus. Hawa sejuk mulai terasa menyeruak ketika melewati perkebunan karet yang begitu luas. Bus terseok-seok dengan muatan yang berlebih. Jalanan yang aspalnya mengelupas dan tak rata membuat para penumpang seperti berada dalam kapal yang terombang-ambing oleh ombak.

Pemandangan asri terbentang sesaat setelah turun dari bus. Jalanan berumput yang di kanan kirinya sawah menghijau bagai hamparan permadani. Namun terlihat agak remang di mata Nayla. Karena rumahnya yang terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. Tak ada aliran listrik yang menjangkau rumahnya. Rumah yang terbuat dari geribik bambu, sungguh minim dengan fasilitas rumah mewah. Tak ada air bersih. Apa lagi televisi. Nayla lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya petani. Ibunya, ibu rumah tangga biasa. Namun segala keterbatasannya tak menghalanginya meraih prestasi. Nayla menjadi juara satu di semester pertama padahal dia murid baru di SMP PGRI yang menerapkan masuk siang. Sebelumnya dia murid di sekolah swasta yang terpaksa ditutup karena tanah dan bangunannya disita oleh Bank.

Melewati sebuah jembatan kayu, sampailah Nayla di rumahnya. Dengan rasa yang tergesa Nayla sungguh tak sabar ingin segera membaca surat cinta yang belum pernah diterimanya selama ini. Keadaannya tak memungkinkan. Rasa penasaran masih harus menguasai hatinya. “Sabar, Nay. Tunggu sampai semuanya tidur,” ucapnya dalam hati.

Pukul 21.00 WIB, malam terasa begitu gigil. Dingin menyergap tubuhnya. Di luar hening, hanya terdengar suara jangkrik dan desau angin. Nayla pelan-pelan mengambil amplop putih yang tersimpan di dalam tasnya. Nayla mulai merobek amplop putih polos. Nayla gemetar. Ini pertama kali dapat surat dari seseorang. Benarkah surat cinta seperti kata Lidya? Amplop putih itu sudah lemas tertidur di lantai tanah. Kini Nayla memegang amplop merah jambu. Bau harum menyerbak ke mana-mana. Wanginya sangat nyaman untuk dihirup.

“Untuk Nayla inspirasiku.” Tertulis kalimat romantis di amplop merah jambu itu. Hati Nayla bergetar.  Disobeknya amplop pink itu. “Owh,” pekiknya dalam hati. Ternyata di dalamnya kertas warna pink juga dengan motif bunga. Bau harum yang tadi diciumnya semakin kuat. Tangan Nayla tambah gemetar. Ada perasaan takut. Bagaimana kalau tiba-tiba kakaknya terbangun memergokinya. Pasti akan mengadukan kejadian itu ke ibunya atau kalau tidak akan mengejeknya membuat hidung Nayla kembang kempis karena malu, tapi segera ditepisnya pikiran itu. Nayla mulai membuka lipatan kertas merah jambu bermotif bunga  dan membacanya.

Nayla, sejak pertama melihatmu
Ada yang aneh dihatiku
Senyummu selalu hadir
Begitu manisnya Nayla
Sampai mengganggu tidurku
Nayla, kau sempurna di mataku
Pintar, cantik, manis, baik pula
Nayla, bolehkah aku mengagumimu
Nayla, aku tak bisa mengartikan rasa ini
Kucoba mencari jawabannya
Kini aku tahu.
Aku sungguh jatuh cinta padamu Nayla
Ya,  rasa yang pertama kali bagiku
Nayla, kau inspirasiku
Aku sungguh mencintaimu
Aku harap kau pun sama
Nayla, tolong balas suratku
Jangan biarkan aku resah menunggu
I Love U

Andre

Deg ... Deg ... Deg ... Jantung Nayla berdegup sangat kencang. Wajahnya merah padam. “Ooh beginikah rasanya kalau membaca surat cinta?” tanyanya dalam hati. “Andre, benarkah dia yang menulis surat ini?” tanyanya lagi. Nayla seperti tak asing dengan tulisan itu, “Ooh siapakah?” ucapnya dalam hati sembari mengingat-ingat. Andre itu sangat pendiam. Mungkinkah dia bisa merangkai kata-kata begitu menyentuh hati Nayla. Kenapa Nayla tak yakin itu dari Andre. Entahlah, begitu banyak pertanyaan yang tak bisa dijawabnya membuat kepalanya pusing. Diilipatnya lagi surat itu dan dimasukkan di amplopnya. Nayla berusaha menenangkan hatinya.

***

Suara riuh  terdengar menyakitkan telinga. Hari ini Pak Johan, guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia tak hadir, hanya memberikan catatan untuk ditulis Nayla di papan tulis. Inilah saatnya Nayla mencari tahu, benarkah surat cinta itu dari Andre.
“Andre, aku pinjam catatannya ya, boleh nggak?”
Laki-laki pendiam itu menoleh. Dengan cuek dia menjawab, “Boleh kok Nay, tapi tulisanku nggak rapi.”
“Nggak papa kok.” Nayla menerima buku Andre dengan senyum mengembang. Sementara sikap Andre tak menunjukkan kecanggungan sama sekali. Sikapnya itu membuat Nayla bertanya-tanya. “Begitukah reaksi orang yang mencintainya?”

Tanya Nayla sedikit terjawab saat dia sandarkan tubuhnya di bangku kayu. Tangannya mulai membuka lembar demi lembar buku tulis catatan Andre. Matanya melotot, tulisan di buku tulis Andre  sama sekali tak mirip dengan tulisan di surat cinta itu. “Oh Tuhan, siapa sebenarnya pengirim surat cinta itu?” Nayla merasa sedih. Hatinya luka. Dia merasa diperdaya. “Ataukah Andre meminta seseorang menuliskan untuknya? entahlah.” Kepala Nayla terasa berat.

“Nay, ada apa?” suara Lidya mengaketkannya.
“Aku ...” Nayla tak meneruskan kata-katanya. Matanya menatap ke arah Lidya. Seperti mencari keyakinan kalau Lidya tak akan membocorkan rahasianya.
“Ada apa?”
“Aku kemarin menerima surat cinta Lid.”
“Tuch kan bener surat cinta.”
“Lydia, jangan keras-keras dong ngomongnya. Aku kan malu.”
Sorry, sorry. Hehehe. Dari siapa?”
“Dari Andre, tapi kok tulisannya gak sama ya?”
“Tulisan siapa?”
“Tulisan Andre dan tulisan di surat cinta itu. Iiih, kamu nich.”
“Oh ya? kamu kok tahu?”
“Lidya, lama-lama kamu buat aku kesel dech. Kan tadi aku pinjem buku Andre.”
Ok, ok. Sorry, sorry, hehehe. Habis mukamu itu kelihatan merah. Lucu.”
“Yey, udah ah. Tuch udah bel. Pulang yuk.” Sungut Nayla.

***

Malam meremang, menambah keheningan yang menghentak dada. Nayla tak dapat memejamkan matanya, dengan penerangan lampu sentir. Dibaca lagi surat cinta itu. Bayangan beberapa orang berkelebat di rongga kepalanya, “Aku harus membalas surat itu. Dengan membalas mungkin saja aku tahu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucapnya dalam hati sembari mengambil buku tulis dan merobek di bagian tengah buku. Nayla sendiri belum tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Dituangkannya perasaannya itu dalam surat balasannya. Remang-remang cahaya lampu sentir membuat Nayla harus menulis begitu dekat.
                              
Andre, maaf ya aku balas suratnya baru sekarang
Terima kasih untuk surat cintamu
Terima kasih telah mengagumiku
Terima kasih juga telah mencintaiku
Tapi maaf aku hanya bisa menganggapmu teman biasa
Aku belum tahu bagaimana rasanya jatuh cinta
Aku tak ingin main-main dalam cinta
Untuk saat ini aku hanya ingin fokus belajar
Karena menurutku
Buat apa beli Lemari
Kalau tidak diisi kain
Buat apa memadu kasih
Kalau tidak menjadi kawin
Aku belum siap pacaran
Maaf ya Andre ...

Nayla

Nayla usianya masih muda, tapi begitu dewasanya dia, mungkin keadaan orang tuanya yang membuat Nayla begitu. Ibarat buah matang sebelum waktunya. Dia tak menikmati masa remajanya selayaknya anak lain seusianya.

Sebelum masuk kelas. Nayla serahkan surat itu ke Roy. Nayla berharap Andre akan mengerti. Andre tidak akan marah dengan surat balasannya. Andre juga tidak akan tersinggung. Ternyata saat jam istirahat justru Nayla terkaget karena kata-kata Bobby.
“Nay, buat apa memadu kasih kalau tidak menjadi kawin ya?”
“Hahahaha.” Belum hilang rasa kaget Nayla, tiba-tiba terdengar Rahmat tertawa terbahak-bahak. Nayla mengalihkan pandangannya ke Andre, tapi Andre hanya menundukkan kepalanya.
“Hmm ... Bobby tahu dari mana dia. Rahmat kenapa tadi ketawa seperti itu?” Nayla kesal tapi tak menegur mereka. Dalam hati Nayla bergumam. “Jangan-jangan  mereka baca surat balasan Nayla rame-rame. Untung gak diterima cinta Andre. Kalau Nayla terima bisa-bisa hanya pura-pura dan mereka akan mempermalukannya.” Nayla sibuk dengan pikirannya sendiri. Nayla berlalu meninggalkan mereka. Dilihatnya Lidya sedang duduk di depan kelas.

“Lid, aku curiga dech. Bobby, Rahmat sama Andre itu ngerjain aku.”
“Kamu kok menyimpulkan begitu Nay.”
“Habis tadi Bobby tahu aku nulis apa di surat balasanku. Terus Rahmat ketawa ngakak lagi. Menyebalkan Lid.”
“Masa’ Nay?”
“Iya Lid. Aku juga kaget.”
“Nay aku ingin menyampaikan sesuatu sama kamu.” Sebuah suara mengagetkan Nayla.
“Ada apa Ris?”
“Rahmat itu suka sama kamu.”
“Maksudnya?”
“Rahmat itu Playboy Nay. Aku pernah pacaran sama dia. Mana mau dia dikalahkan sama cowo lain di kelas ini. Aku dulu diputusin sama dia gara-gara dia suka sama Silvia, eh ternyata Silvia juga diputusin. Gak tahu Rahmat itu maunya apa?, tapi Rahmat itu suka sama kamu Nay.”
“Suka, masa’ sich?”
“Iya Nay, dia suka sama kamu karena kamu pintar tapi dia gengsi aja ngakuin.” Nayla kaget. Sama sekali dia tak menduga Risa menyampaikan itu ke dia apalagi ada Lidya, yang jelas-jelas menerima surat cinta dari Rahmat kan Lidya.
“Tapi Ris, yang menerima surat cinta dari Rahmat itu Lidya.”
“Iya. Aku tahu kok.”
“Ha ... apa? tahu dari mana?”
“Aku dengar gak sengaja saat Rahmat ngobrol Nay.”
“Apa ...?” Mata Nayla terbelalak, dia penasaran benarkah Risa tahu sesuatu.
“Rahmat bilang ke Bobby dan Andre. Dia suka sama kamu karena kamu pintar Nay. Tapi dia juga suka sama Lidya karena Lidya itu cantik.”
“Tapi aku gak suka tuch sama Rahmat.” Lidya yang dari tadi diam langsung bersuara dan memandang ke arah Nayla.
“Iya jangan Lid. Biar tau rasa dia.” Risa terlihat kesal.

Rahmat sungguh membuat Nayla kesal. Kenapa harus memakai nama Andre untuk mengirim surat kepadanya. Kenapa juga Andre mau saja. Nayla juga tak suka Rahmat, tapi Nayla penasaran. Tidak bisa didiamkan. Dia harus cari tahu apa benar yang dikatakan Risa. Lalu siapa sebenarnya yang menulis surat cinta untuknya. Batinnya bergolak. Dengan langkah tergesa didekatinya kerumunan Rahmat dan gengnya. Di sana ada Bobby, Roy, dan juga Andre.

“Bob, aku mau tanya?”
“Soal apa Nay?”
“Tadi kenapa kamu meledekku dengan balasan suratku ke Andre. Sebenarnya siapa yang mengirim surat itu?”
Bobby membisu, justru tawa Rahmat yang terdengar, “Hahahaha, Nayla manis, gak usah marah gitu dong.”
“Rahmat, kamu yang menulis surat itu ya?”
“Iya, kenapa?”
“Jadi, apa yang dikatakan Risa itu benar?”
“Risa? Memang Risa bilang apa?”
“Kamu yang menulis surat cinta untuk aku dan Lidya?”
“Iya, lalu kenapa?”
“Rahmat, kamu cuma mau mempermainkan aku kan? Andre, kenapa kamu juga mendukung Rahmat? Kenapa kamu mau nama kamu dipakai? Bobby, kamu juga .. Roy kamu .. Kalian semua jahat. Kalian jahat. Kalian mempermainkan aku.” Nayla berlari dengan pipi basah. Rasa perih merajai hatinya. Roy berlari mengejarnya.
“Nay, Nay, tunggu ..” Nayla tak mempedulikan. Dia terus berlari menuju kamar mandi sekolah.
“Ya Tuhan, ini surat cinta pertamaku. Mereka tega membuat hatiku sakit,” gumamnya lirih. Air matanya terus menetes sederas air kran kamar mandi. Membasahi wajahnya yang polos. Hati Nayla terasa hancur berkeping. Nayla merasa mereka semua bersekongkol menipunya.

Cirebon, 04 Desember 2012


PENGAKUAN DIRI SETELAH MEMBACA INDONESIA MENULIS (PERJALANAN SPIRITUAL)

PENGAKUAN DIRI SETELAH MEMBACA INDONESIA MENULIS (PERJALANAN SPIRITUAL)


Dua buku dari enam buku kiriman Pak EWA sudah selesai saya lahap. Masing-masing buku saya baca dalam waktu sekali duduk, maksudnya langsung selesai dibaca tanpa disela dengan aktivitas lainnya. Tentunya saya lakukan di saat anak-anak sudah tidur. Aktivitas pagi saya yang bekerja sampai sore dan dilanjutkan kuliah di malam hari tak mengurangi minat saya untuk mencari tahu isi buku “INDONESIA MENULIS (PERJALANAN SPIRITUAL)”. Dini hari tadi pagi tepatnya pukul 01.00 WIB saya selesai membaca buku itu.

Berhamburan rasa melingkupi hati saya. Bagaimana tidak? Membaca buku itu seakan saya berada di beberapa tempat di Jawa Timur. Buku itu membawa saya menikmati perjalanan tour de jatim dalam gerakan Indonesia Menulis dan saya seperti ada di antara mereka. Tour de jatim yang dilaksanakan di beberapa universitas dan pesantren di Jawa Timur itu menyajikan kisah para penggiatnya ditambah foto-foto pelaksanaan terasa nikmat untuk dilahap. Terlebih di bab terakhir buku itu masing-masing penggiat tour de jatim menuliskan kesaksiannya.

Terbersit keinginan dalam hati saya. Nama saya harus ada dalam Buku Indonesia Menulis selanjutnya. Harus! Mungkin keinginan yang terlalu besar, tapi bukankah hal yang baik bila kita mempunyai keinginan sebagai wujud menggairahkan kehidupan. Bagi saya GPM adalah grup kepenulisan yang mempunyai nilai history. Mengenal Pak EWA di GPM adalah saat yang saya sebut masa pembangkitan semangat menulis saya. Saya yang anggota baru dipercaya oleh beliau untuk tantangan membuat buku dengan memposting tulisan setiap hari beserta empat teman saya lainnya yang beliau sebut Lima Srikandi GPM.

Di awal Juli tahun 2012 tulisan kami mulai diposting. Saat itu saya hanya menuliskan apa yang ada di otak saya dan dengan pede menyebut tulisan yang saya posting selama 45 hari itu sebagai naskah novel. Dari sanalah proses itu bermula, saya belajar dari komentar teman-teman yang membaca. Walaupun baru berupa naskah, tapi hal itu yang memicu saya terus menulis hingga di awal Februari tahun ini saya menyelesaikan satu naskah novel lagi yang saya kirimkan mengikuti lomba novel Bentang Pustaka. Apapun hasilnya saya tetap akan bahagia karena saya telah menuliskannya. Bukankah menulis adalah melakukan begitulah kata Pak EWA dan masih mengutip tulisan beliau bahwa menulis adalah proses belajar. Saya lagi-lagi setuju.

Lalu kepercayaan beliau tidak hanya sampai di situ. Beliau memberikan amanah kepada saya untuk menghimpun karya teman-teman dalam rencana antologi cerpen GPM dan saat beliau menawarkan pembentukan GPM Cirebon saya menyetujui dengan harapan teman-teman dapat termotivasi seperti saya. Adapun kegagalan saya sampai hari ini adalah belum terkumpulnya tulisan-tulisan teman-teman GPM Cirebon yang telah diterbitkan menjadi buku.

Dari semua pengakuan itu, sebuah pertanyaan mengganjal hati saya. Apakah teman-teman GPM Cirebon siap membantu mewujudkan mimpi saya? GPM Cirebon dan anggotanya akan menjadi bagian dalam gerakan Indonesia Menulis selanjutnya. Semoga, karena saya percaya tak ada yang tak mungkin bila Allah menghendaki. Amin. Akhirnya saya tuntaskan curhatan ini dengan harapan.

Cirebon, 13 Pebruari 2013