Senin, 17 Desember 2012

BAYANGANMU DI DIRINYA

Cerpen ini juga sudah dimuat di Radar Seni. Edisi Minggu,16 Desember 2012
http://radarseni.com/2012/12/16/bayanganmu-di-dirinya/

Malam hampir usai, aromanya menggelantung di ujung waktu. Sementara dingin masih menyergap tubuhku. Meninggalkan sensasi di pori-pori kulit. Menusuk menghujam jantung menambah rasa nyeri. Perih yang semakin menyiksa. Hening menjadi satu-satunya temanku. Aku benci suasana seperti ini, saat malam kelam menyeretku dalam ruang imajinasi. Mengarungi lautan ingatan. Menghanyutkan ke alam kenangan masa lalu. Aku tercekat, tenggorokanku terasa sakit. Bayangan gadis kecil berumur belasan tahun menguasai rongga kepalaku. Menari-nari menyudutkanku di pojok ruangan beku.

“Andini, cukup! Jangan siksa aku seperti ini,” gumamku lirih. Dia masih menggodaku dengan senyumnya yang manis dan celotehnya yang riang.
“Nad, besok ulang tahunku akan dirayakan di hotel loh. Kamu datang ya?” Dia menatapku lekat dengan wajahnya yang putih dan pipi yang memerah.
“Aku … aku … ingin sekali datang An, tapi …’
‘”Tapi kenapa?” Dia mulai memandangku dengan mata curiga.
“Besok, aku harus menemani mamaku di rumah sakit.”
“Ya … kalau kamu tak datang acaranya kurang seru dech.”
“An, aku bukan siapa-siapa. Kamu akan tetap bahagia kok tanpa kehadiranku.”
“Hmm, Nad, kamu itu temanku. Teman satu bangku, kamu selalu membantuku mengerjakan PR.”
“An, aku tak punya siapa-siapa lagi selain mamaku. Aku mohon kamu mengerti aku tak bisa datang, maafkan aku ya.”

Andini tak menjawab. Wajahnya terlihat kecewa. Aku tak suka melihatnya begitu. Dia sangat manja. Apa pun yang diinginkannya harus tercapai. Sementara dia sama sekali tak memahami keadaanku. Aku masih harus bekerja jualan kue sepulang sekolah. Apalagi sudah seminggu ini mamaku dirawat di rumah sakit. Dia sama sekali tak menjenguk.

***
Matahari begitu sempurna, memamerkan kecantikannya. Daun yang indah berkilau meliuk menari.  sementara daun gugur beterbangan seiring hembusan angin. Kulangkahkan kakiku menuju rumah sakit, siang ini aku tak akan berjualan kue. Sejak mama dirawat tak ada yang membuat kuenya. Aku merasa sangat sedih hari itu. Mama, satu-satunya orang yang menyayangiku. Satu-satunya keluargaku saat ini harus berjuang melawan penyakit kangkernya. Sementara papaku, aku tak tahu dimana keberadaannya. Mama tak suka aku bertanya soal papa.

Ruangan serba putih itu seperti mencengkeramku, kulihat mama terbaring lemah.“Nad, mama sudah tak sanggup lagi, maafkan mama sayang.” Air mata mama mulai menetes, merembes membasahi pipinya yang tirus.

“Ma, mama pasti kuat kok. Mama akan sehat lagi.” Mataku terasa sakit. Kutahan air mataku agar tak tumpah.

“Nak, Mama sudah menyerah. Hari ini kamu akan bertemu dengan Papamu. Mama tadi sudah menelepon  Papa untuk menjemputmu. Tak seharusnya kamu menderita selama ini. Maafkan Mama sayang.”

Kutatap lekat mama, kuhapus benda hangat di pipinya, “Ma, aku bahagia kok ikut sama Mama.”

“Iya Sayang, tapi umur Mama tidak lama lagi. Siapa yang akan menjagamu nanti?” mama membelai rambutku dengan tangan lemahnya. Aku merasa takut. “Benarkah aku akan sendirian? Tidak! Aku harus tetap di samping mama. Apa pun yang terjadi,” batinku perih. “Ma, Nadia tidak mungkin meninggalkan Mama.” Kuhapus bulir bening yang kini mulai menetes. “Nadia tak ingin Mama meninggalkan Nadia.”

“Sayang, semua yang hidup itu akan kembali pada-Nya, tak terkecuali Mama. Sakit hanya perantara saja. Ingat ya, apa pun yang kita miliki saat ini hanya titipan yang sewaktu-waktu akan diambil oleh yang punya.”

“Nadia … Mama, …” sura mama tiba-tiba hilang. Sekujur badannya terasa kaku. Napasnya pun tersengal. Aku mulai panik. “Mama … Mama!” teriakku dengan  mengguncangkan tubuh Mama.
Aku berlari menuju ruang dokter. Berapa menit kemudian aku kembali ke kamar perawatan mama dengan seorang dokter dan kulihat seorang laki-laki  yang sangat kukenal. Dia, papanya Andini. Dokter segera memeriksa mama dan setelah sebuah suntikan mendarat ke lengan mama keadaan mama kembali normal.

“Nadia, sini sayang.” Tangan Mama melambai lemah. Kulangkahkan kakiku segera. Dengan air mata yang menderas kupeluk erat mama. “Ma, Nadia takut. Jangan tinggalkan Nadia, Ma. Nadia sayang Mama.”

“Udah jangan nangis sayang. Mama juga sayang Nadia kok. Ini papa kamu.” Ucapan mama mengaketkanku. Pandanganku beralih melihat laki-laki itu. “Apa? Papaku?” tanyaku dalam hati.
“Mas, ini Nadia anakmu. Aku titipkan dia. Aku tak akan menyerahkannya kalau keadaanku tidak begini. Aku mohon kamu menyayanginya.” Dengan suara serak dan pelan mama  mengucapkan kalimat itu. Pandangan mama menusuk tajam ke arah mata laki-laki itu.

“Jadi, Nadia ini …” laki-laki itu tak meneruskan kata-katanya. Diarahkannya pandangannya ke arahku. “Dia anakku?”

“Kamu masih tak percaya Mas. Dia anakmu? Kamu pikir aku berbohong soal kehamilanku?” Suara mama agak meninggi. “Kenapa waktu itu kamu meninggalkanku tanpa kabar? lalu kenapa kamu bilang kamu keguguran saat kita ketemu?”

“Sudahlah Mas, tak usah bahas itu lagi di depan Nadia. Aku … , Nadia sini sayang, Mmama sudah gak kuat lagi sayang. Dia Papamu, hormati dia seperti kamu hormati mama ya?” Ucapan mama terbata. Kini tubuh mama terasa dingin. Menggigil.

“Mama .. Mama!” Teriakku sembari memeluk tubuh mama. Diam, tak ada sahutan. Aku masih memeluk erat tubuh mama saat laki-laki itu datang membawa dokter.

“Nadia, lepaskan pelukanmu dulu. Biar dokter memeriksa Mama.” Tiba-tiba aku benci suara itu. Suara laki-laki yang kata mama papaku.

Kulepaskann tubuh mama pelan. Aku terus mennagis. Aku takut, sungguh takut. “Nadia, Mama kamu sudah meninggal.” Suara dokter itu mengagetkanku. Aku histeris, “Tidak! Mama gak boleh meninggal. Gak boleh.”  Aku masih terus menangis. Kupeluk erat mama.  Semua terasa menakutkan. Aku seperti berlari di dalam lorong yang gelap. Senyap.

 ***
Taman bunga yang asri, kolam renang dan rumah bertingkat yang mewah. Di rumah itu kini aku tinggal. Rumah yang kuinjak sejak mama meninggal. Andini, tak lagi menjadi teman akrabku sejak aku pindah ke rumah ini, tapi justru menjadi orang yang paling membenciku. Aku tak pernah bisa memilih. Nyatanya Andini adikku.

“Kamu sama Mamamu sama saja. Sama-sama mengganggu kebahagiaan saya.”  Sura sinis dan tatap mata kebencian Tante Lidya menusuk hatiku. Tante Lidya istri tua papa. Papa menikahi mama tanpa sepengetahuan Tante Lidya. Menurut pengakuan Papa, menikahi Mama karena Tante Lidya tak bisa hamil. Siapa yang menduga bila dua bulan setelah kehamilan Mama, tante Lidya juga hamil. Mama meninggalkan Papa dan selalu mengatakan kalau mama telah menggugurkan kandungannya.

Setamat SMA aku memilih kuliah di luar negeri. Aku tak sanggup selalu dihina Tante Lidya dan Andini. Bagaimanapun Andini adikku. Sampai malapetaka itu datang. Roy, laki-laki itu penyebab Andini bunuh diri.

“Aku mencintaimu Nad. Tidak mungkin aku menikahi Andini. Aku tak mencintainya.” Dia menatapku lekat. Ada rasa sakit mengiris hatiku.

“Roy, aku juga mencintaimu. Kamu tahu, betapa sulitnya hidupku, tapi aku tak bisa menikah denganmu. Andini juga mencintaimu,” ucapku lirih. Dia menggengam tanganku erat. Matanya yang jernih menggetarkan dinding hatiku.

“Nad, kamu tak seharusnya berkorban terus untuk kebahagiaan Andini. Kamu juga harus bahagia.”
Aku terdiam.  Aku setuju dengan ucapannya. Namun, “Roy, aku tak bisa. Aku tak ingin terjadi sesuatu dengan Andini.”

“Hmm, lalu aku harus menikahinya, tak mungkin, Nad. Aku tak bisa. Kalau kamu tak mau menikah denganku. Aku pun tidak akan menikahi Andini. Sudahlah Nad, sia-sia aku menjelaskan padamu kalau selalu Andini yang kamu pikirkan.”

“Roy, tunggu!”

“Apalagi?”

“Kau mau ke mana?”

“Aku akan pulang dan mengubur semua keinginanku untuk menikahimu.”

“Roy, kamu tak mengerti.”

“Aku mengerti, karenanya percuma.”

Itu pertemuan terakhirku dengan Roy dan setahun kemudian kuterima undangan pernikahannya. Malam itu Andini mabuk dan menabrakkan dirinya.  Aku kehilanganmu Roy dan juga Andini.

***

Aku terhenyak. Kudengar gerimis membelah kesunyian. Sedang wajahku pun kini basah. Kenangan itu menghempaskanku ke jurang yang begitu dalam. Kuseka air mataku. “Aku sayang kalian berdua,” gumamku lirih, karenanya aku tak menerima Roy yang telah bercerai dan menemuiku mengajak menikah, demi kebahagiaan Andini di alam sana, dan aku masih setia dengan cintaku pada Roy. Hujan mulai menderas. Sederas air mataku. Aku tertatih memegang tongkat yang menopang tubuhku.  Di depan cermin aku berhenti. Kupandangi wajah keriputku. Di balik punggungku, aku melihat Roy dan Andini. Samar dan semakin jelas. Bayanganmu di dirinya. Selalu, mungkin sampai aku mati. ***

 Cirebon, 03 Desember 2012

Jumat, 07 Desember 2012

RIFKI DAN NAINA


Cerpen ini juga sudah dimuat di Radar Seni edisi Minggu, 02 Desember 2012

Matahari bersinar begitu garang. Daun-daun kering beterbangan seiring berembusnya angin. Debu pun tak mau kalah, terasa menusuk pernapasan dan mengganggu mata para pengguna jalan. Rifki anak laki-laki berumur 9 tahun yang menggendong Naina, adiknya. Tetap semangat menengadahkan bungkus makanan yang telah kosong di bawah lampu merah. Mengharapkan belas kasihan para pengemudi kendaraan yang ikhlas memberikan uang. Meminta-minta itulah yang dilakukannya setiap hari. Di tengah panas terik yang menyengat dia harus melakukan pekerjaan yang menyedihkan itu. Tubuhnya kurus kerontang. Matanya cekung. Kulitnya kumal. Pakaiannya pun compang camping. Tanpa rasa lelah dia tetap menggendong Naina, yang keadaannya lebih memprihatinkan. Naina buta sejak lahir. Rifki dan Naina, dua anak manusia yang terlahir tanpa pernah bisa memilih nasibnya.

“Aa, Naina lapar,” ucap Naina dengan bibir pucat dan gemetar.

“Sabar ya Neng, Aa belum dapat uang buat beli makan.”

“Tapi dari kemarin kita belum makan.”

“Iya .. sabar, nanti agak sore ya.”

“Perut Naina sakit A’. Sakit .. beliin Naina kue ya.”

“Uang Aa cuma cukup untuk beli satu bungkus nasi. Nanti Bapak marah Naina kalau Aa’ pulang gak bawa uang,” ucap Rifki sembari menghapus peluh di keningnya. Rifki menurunkan Naina dari gendongannya dan didudukkan di sampingnya. Rifki termangu. Lengan tangannya dan pundaknya membiru. Sisa dari keganasan Bapaknya-Malik, yang pecandu obat. Malik bukan memenuhi tanggungjawabnya sebagai Bapak, tetapi justru memanfaatkan Rifki untuk mencari nafkah.

“Aa, Naina lapar. Neng gak kuat lagi A,” gumam Naina lirih. Badannya menggigil. Bibirnya bertambah pucat.

“Naina, ya udah ayuk kita beli makan.” Digendongnya Naina di punggungnya yang tipis. Rifki berjalan terseok-seok menuju warung makan yang cukup jauh dari lampu merah itu. Setengah jam berjalan, Rifki kembali dengan sebungkus nasi di tangan kirinya dan Naina digandengnya dengan tangan sebelah kanan. Mereka duduk di pinggir jalan. Disuapinya Naina dengan penuh kasih sayang. Sementara Rifki sendiri tidak makan sedikit pun.

“Aa makan juga kan?”

“Iya Neng. Aa makan kok.”

“Jangan gak makan A’. Nanti Aa sakit. Kalau Aa sakit Naina sama siapa? Naina gak mau Aa pergi kayak Emak.”

“Gak Neng. Aa akan tetap sama Neng kok.”

“Aa, seandainya saja Emak masih ada ya? kita tidak seperti ini.”

“Sudah Eneng makan aja ya. Setelah ini kita masih harus bekerja.”

Waktu terus berlari meninggalkan detak pada jam dinding. Meninggalkan Rifki dan Naina. Meninggalkan debu-debu yang beterbangan. Meninggalkan daun-daun kering. Sepeti Wati yang meninggalkan dua buah hatinya. Mati karena suaminya sendiri.

***

Ketika malam mulai beranjak, rembulan bersembunyi di balik awan. Malik yang datang sempoyongan karena mabuk mendobrak pintu yang telah rusak. Malik menyeret tubuh Wati, istrinya. Malik mengamuk karena Wati tidak memberinya uang. Wati yang sehari-harinya bekerja menjadi pembantu dan buruh cuci untuk menghidupi anak-anaknya. Sementara Malik bukan membantu istrinya bahkan sering menyiksa. Saat mengandung Naina. Malik pun sering memukul Wati hingga Naina lahir dalam keadaan buta.

“Mana uangnya?”

“Gak ada Kang. Hari ini Wati belum gajian. Pinjaman Wati juga banyak sama Ibu majikan.”

“Maneh blegug,” ucap Malik dengan bahasa sunda kasar sembari menjambak rambut Wati.

“Sakit Kang!” seru Wati.

“Mana uangnya? Mana?” teriak Malik dengan mata melotot dan tangannya mencengkeram wajah Wati.

“Gak ada Kang. Wati beneran gak punya uang.”

“Kamu bohong, cepat mana uangnya?”

“Gak punya Kang. Wati gak punya.”

Malik tambah meradang, “Maneh harus menghasilkan uang buat saya. Nanti malam ada yang datang. Kamu harus melayani Kang Sukur kalau tidak mau kamu akan saya bunuh.”

“Akang meuni tega melakukan itu ke Wati,” rintih Wati dengan suara memelas, sementara tangan Malik tetap mencengkeram wajahnya.

“Terus mau melawan?”

“Bukan begitu Akang. Wati tidak mau menjual diri Wati demi memenuhi nafsu Akang. Wati tidak mau.” Bibir Wati bergetar. Wajahnya yang cantik terlihat pucat, tubuhnya yang kurus berguncang menahan rasa sakit dalam hatinya.

“Pokoknya kamu harus melayani dia. Kalau tidak aku akan membunuhmu. Udah aku mau ke luar dulu.” Malik melepaskan cengkeraman tangannya begitu kasar hingga Wati terjatuh. Hujan memercik pelan, membasahi tanah berdebu seiring air mata Wati yang menderas.

Waktu serasa begitu menyiksa. Wati menggigil ketakutan terbaring di kasur tipis yang kumal.

“Mak, kita pergi saja tinggalkan Bapak sebelum Mang Sukur datang,” ucap Rifki mendekati ibunya yang terus menangis.

“Emak gak berani Rifki. Emak takut. Percuma, Bapakmu pasti akan mengejar Emak.”

“Kita coba dulu Mak. Rifki kasihan sama Emak,” ucap wajah polos itu. Diusapnya air mata yang menetes di pipi Wati yang kusut. “Rifki sayang Emak.” Wati memeluk Rifki erat. Dibelainya rambut Rifki yang berdebu. Air matanya terus membanjir.

“Mak, Aa’ … memang kita mau ke mana? Mau pergi ke mana? Naina takut dengar suara Bapak marah-marah.”

“Kita gak akan ke mana-mana Naina. Emak akan tetap bersama kalian.”

Mereka terhenyak mendengar ketukan pintu dari luar.

Wati terkesiap. Jantungnya berdetak kencang. Dia peluk kedua anaknya erat. Mereka duduk di sudut kasur busa.

“Tok .. Tok .. Tok ..” ketukan ketiga kali terdengar lagi. Si Pengetuk mulai tak sabar.

“Punteeen!” seru orang dari balik pintu. Wati tak menjawab.

“Wati! ini Sukur. Buka pintunya. Malik sudah berjanji padaku dan kamu juga sudah tahu kan? Ada apa aku datang ke sini.”

Wati tak menghiraukan suara itu. Wati dengan cekatan menggendong Naina dan menarik tangan Rifki.

“Ayuk kita pergi, Emak gak mau harus melayani bandot tua itu,” ucap Wati lirih berbisik di telinga Rifki.

Dengan langkah tergesa mereka keluar dari pintu belakang. Wati terkaget saat lengannya ditarik seseorang.

“Aku sudah duga kamu akan pergi kan? Mau ke mana kamu?” suara itu sangat dikenalnya. Suara Malik suaminya.

Wati belum menjawab, Malik menyeretnya ke dalam rumah.

“Jangan Akang, Wati gak mau harus melayani bandot tua itu.”

“Ah … gak ada tapi-tapi. Sudah cepat sana kamu dandan.” Teriak Malik sembari merebut Naina dari gendongan Wati.

“Dasar anak buta. Kamu pembawa sial!” teriak Malik dan membanting tubuh Naina di lantai tanah.

Naina menangis. Wati pun menangis. Sementara Rifki segera meggendong Naina.

“Bapak tega sekali membanting Naina. Naina adik Rifki. Bapak gak boleh bilang begitu, Naina bukan pembawa sial.”

“Diaaam, kamu ikut-ikutan aja. Kamu itu masih kecil. Udah sana kamu harus cari uang. Kamu tidak boleh di rumah malam ini.”

“Rifki gak mau Pak. Rifki akan melindungi Emak.”

“Aaaah, kamu!” teriak Malik dan menampar pipi Rifki.

“Jangan tampar Rifki Kang. Jangan! Tampar Wati saja. Rifki, pergilah Nak. Emak akan baik-baik saja.”

“Rifki gak bisa Mak. Rifki gak bisa meninggalkan Emak.”

“Pergi Nak, pergi.”

“Aaaah, sandiwara apa ini? Cepat kamu pergi Rifki, kalau tidak. Mau kamu ditendang? Cepat pergi.” Teriak Malik.

“Jangan Kang, jangan kasar sama Rifki.” Wati menghambur memeluk kedua anaknya..

“Malik, jadi bagaimana ini? Awas kalau kamu tidak menepati janjimu. Sepertinya aku membuang waktuku ada di sini. Katamu Wati sudah siap. Ternyata kamu menipuku Malik.” Suara Sukur menghentak di antara adegan kekerasan itu.

Malik membuka pintu, “Maaf Kang, Wati pasti mau.”

“Aah, aku gak mau kalau dipaksa begitu. Sudahlah Malik. Aku sudah tidak berminat lagi. Lebih baik aku pergi dari sini. Aku tetap akan menagih hutangmu Malik dan jangan berharap sebutir pun aku akan memberikan obat itu lagi.”

“Kang Sukur, tunggu Kang. Tunggu! Wati pasti mau kok. Dia pasti mau Kang.”

“Aah, sudahlah.” Sukur menendang tubuh Malik yang bersimpuh memohon.

“Kang, tunggu Kang. Tunggu! Malik butuh obat itu. Tunggu Kang, tunggu!” Malik meraung-raung, tapi Sukur sudah menghilang di kelokan.

Pandangan Malik beralih ke Wati.

“Maneh, sudah menghancurkan semuanya. Maneh tidak berguna.” Dengan mata merah Malik menarik tangan Wati yang memeluk kedua anaknya.

Rifki dan Nina terpental dari pelukan Wati. Malik seperti kesetanan. Akal pikirannya sudah tak waras. Malik berkali-kali memukul tubuh Wati.

“Jangan pukuli Emak Pak,” ucap Rifki berderai air mata. Naina juga menangis.

“Diaaaaam.” Malik bertambah marah, dia mengambil pisau dari saku celananya.

“Wati kamu sudah mengecewakan. Kamu harus menerima akibatnya. Kamu tidak berguna,” bentak Malik dengan pisau terhunus. Pisau itu berkilat terkena cahaya lampu. Wati berteriak parau, “Rifki pergi Nak, pergilah! Bawa Naina pergi. Emak akan baik-baik saja.”

“Jangan Pak. Jangan bunuh Emak. Jangan Pak.”

“Kamu, anak kecil ikut-ikutan. Kamu berani sama Bapak.”

“Rifki! Pergi Nak. Pergilah, tolong Nak! Pergilah.”

“Diaaam.” Malik berteriak tambah keras. Dengan pisau terhunus, tubuh Wati diseret keluar rumah.

Rifki mendekap erat Naina yang terus menangis.

“Aa’ ada apa sebenarnya?” Rifki tak menjawab. Hanya tangisan keduanya yang terdengar.

Sementara Wati berhasil melepaskan diri dari Malik. Malik setengah sakau mengejar Wati. Wanita malang itu berlari menuju jalan raya. Dari arah berlawanan sebuah mobil truk melaju begitu kencangnya.

“Braaaak.” Wati tertabrak. Darah muncrat di mana-mana. Tubuh Wati tergilas mobil truk. Rifki meraung sedih, “Emaaaak,” teriaknya. Pengemudi mobil truk bukannya menolong malah langsung tancap gas. Tinggallah tubuh Wati yang remuk tak beryawa dan tangisan Rifki. Sedangkan Malik yang sakau masih belum menyadari apa yang terjadi. Langit menangis semakin deras. Malam terasa begitu kelam bagi Rifki. Di depan matanya dia melihat adegan demi adegan mengerikan itu.

***

Rifki menyeka air matanya, “Eneng udah kenyang?” tanya Rifki dengan suara terbatuk.

“Sudah A’. Sekarang kita di mana?”

“Masih kerja Naina.”

“Bu, minta sedekahnya Bu, minta sedekahnya Bu,” ucap Rifki ketika trafick ligth berwarna merah berkali-kali dan tak ada seorang pun yang memberi hingga seorang wanita yang terlihat muda dan cantik membuka kaca mobilnya. Dia mengulurkan uang lembaran seribu rupiah. Kaca mobil segera tertutup saat trafick light berwarna hijau. Dalam sekejab mobil itu sudah menghilang dari pandangan Rifki. Di bekakang mobil itu seorang wanita sederhana yang menumpang becak mengeluarkan uang limapuluhribuan dan menjatuhkannya di hadapan Rifki. Dia berteriak “Itu untuk kamu. Ambil ya,” ucapnya dari dalam becak yang telah menjauh. Pandangan wanita itu terus menoleh ke belakang. Rifki berlari mengambil uang itu agar tak terbang terbawa angin. Seulas senyum mengembang di bibirnya saat Rifki berhasil mengambil uangnya.

“Alhamdulillah. Naina, Aa’ dapat uang banyak hari ini.”

“Oh ya? Kok bisa? tadi katanya masih dapat sedikit.”

“Tadi ada seorang ibu yang baik. Kita beli makan lagi yuk. Aa’ belum makan.”

“Loh, tadi Aa’ gak ikut makan ya?”

“Enggak Neng kan biar Eneng kenyang.”

“Aa’. Eneng sayang Aa’. Jangan tinggalkan Eneng ya. Kalau langit itu warnanya apa ya?”

“Sekarang warnanya biru Neng. Cuacaranya sedang cerah.”

“Ooh … kalau saja Eneng bisa melihat pasti indah ya A’?

“Ya, Eneng kan bisa nanya sama Aa’ apa yang pengen Eneng tahu.”

“Kenapa Emak gak pernah pulang ya A’? Emak itu seperti apa ya wajahnya?”

“Emak sudah ada di atas langit. Emak sudah bahagia di sana. Emak itu cantik kayak Eneng, nanti kita pasti akan berkumpul?” ucap Rifki sendu.

“Ooh. Eneng gak sabar ingin mendengar suara Emak lagi. Eneng kangen Emak A’.”

Rifki tak menjawab. Kakinya yang hitam legam dan tak memakai sendal melangkah menyusuri trotoar. Panas masih terasa menusuk hati Rifki yang gundah, terlebih saat Naina merengek dan bertanya soal Emaknya.

“Emak, Rifki janji akan menjaga Naina. Rifki tahu Emak melihat kami dari atas langit sana,” gumam Rifki dalam hati. Pilu. ***

Cirebon, 09 Nopember 2012


Keterangan:

Aa = panggilan untuk anak laki-laki yang lebih besar (kakak)

Eneng, neng = panggilan untuk anak perempuan.

Kang, akang = abang

Meuni = sungguh

Maneh = kamu Blegug = bodoh