Senin, 02 Februari 2015

STATUSKU TENTANG KAMU DAN HUJAN

Seperti matahari yang bersembunyi pagi ini, aku pun hanya bisa mengintipmu. Melihat dirimu dan membaca apa pun yang terjadi. Setelahnya ada sesuatu di dada, mungkin juga luka atau debar bahagia karena pernah mengenalmu atau hanya seuntai doa: Semoga kau bahagia di sana dan Mimpimu untuk memiliki belahan jiwa terwujud segera.

Hujan masih menggedor-gedor jendela seperti kenangan yang menggedor-gedor bilik hatiku. Di sini deng
an rasa sepi.

Lagi, kau menjadi lilin yang memberikan penerangnya sedang dirimu sendiri terbakar. Itu karena perasaanmu yang tak bisa menolak siapa pun yang meminta bantuanmu kan, Ning?
Lalu, tak ada harapan lagi sebab kau tak minta pengertian sebab tak akan pernah ada yang mengerti.

Aku menikmati hujan dan titik airnya sebab air mataku akan berbaur dan terasa asin manakala merembes ke bibirku. Aku begitu luruh dengan kesedihann yang masih tak dapat diterjemahkan.

Hujan, menulis, dan menangis. Tiga hal yang begitu dekat denganmu, bukan? Ya, kau selalu menikmati itu, Ning. Rasakan hentakan dan ngilu di dadamu. Sesuatu yang biasa bukan?

Mungkin tidak ada yang peduli atau masa bodoh saja, tapi bagaimana aku membiarkan semua itu terjadi. Yang menyedihkan adalah begitu susahnya mencari rasa empati dari sekian banyak orang di kantor ini. Oh, begitu luka. Biarlah aku yang mengalah sebab aku tak tega membiarkan itu semua terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar