Rabu, 01 Mei 2013

BENARKAH KAU MENCINTAIKU?

Cerpen ini awalnya berjudul WANITA DAN CERITA HIDUPNYA, tapi dimuat HU. Kabar Cirebon, hari Sabtu, tanggal 27 April 2013, dengan judul ini:
BENARKAH KAU MENCINTAIKU?

Aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang wanita cacat tak berdaya. Kecelakaan itu telah merenggut kebebasanku. Kini, di atas kursi rodalah segalanya kuandalkan. Kutatap lekat sebuah foto pernikahan di layar monitor. Foto suamiku dan istri barunya. Pasca kecelakaan yang menimpaku, kuijinkan suamiku menikah lagi. Keputusan yang diprotes Ratna, temanku.

“May, seharusnya tak begitu mudah kau memberi izin Hans menikah lagi.”
“Lalu, apa yang harus kulakukan Rat. Aku tak mungkin menghalangi kebebasan Hans.” 
“Ya, memang. Namun Hans tak semestinya memperlakukanmu seperti ini.”
“Entahlah Rat. Aku hanya wanita cacat. Tak ada alasan aku melarang Hans. Dia tidak menceraikan aku saja. Aku sudah cukup bahagia.”
“May, aku mengerti perasaanmu. Aku percaya kamu akan mampu melewati ini semua.”
“Semoga Rat. Aku percaya tak ada yang sia-sia.”
“Ya, May. Aku kagum padamu. Kamu relakan suamimu membawa wanita lain ke dalam rumahmu.”

Aku tak menjawab. Kuwakili jawabanku dengan senyuman dan Ratna tak berani mengusikku lagi. Ditinggalkannya aku di ruanganku seorang diri. Walau di atas kursi roda aku masih bekerja. Beruntung pihak perusahaan mengijinkan. Toh, aku hanya tak bisa berjalan, aku masih bisa mengetik huruf demi huruf di keyboard komputer.
Setahun sudah Hans menikah dengan Siska, dan kebahagiaanku sedikit demi sedikit mulai menjauh hingga benar-benar hilang saat Hans menemuiku siang itu. 

“May, sebenarnya aku ingin menyampaikan sesuatu padamu.” Kutatap mata coklat Hans. Tubuhnya yang tegap dan kulitnya yang putih sungguh mewakili ketampanannya. Didorongnya kursi rodaku ke ruang tengah.
“Apa Mas?”
“Aku tak sampai hati menyampaikan ini padamu May.”
“Sebenarnya ada apa Mas?” Hans tak segera menjawab, digenggam erat jemariku. Tangannya yang kokoh dan bulu halus di lengannya itu selalu mendamaikan hatiku. “Mama memintaku bercerai darimu.”
“Apa?”
“Iya, May. Aku juga tak ingin seperti ini, tapi Siska memintaku memilih kamu atau dia dan Siska kini sedang mengandung.”

Aku menelan ludah, kukuatkan hati. Aku tak ingin menangis di depan Hans. 
“Lalu mama tahu tentang hal itu dan mama memilih Siska.”
Lagi-lagi kutelan ludahku dan kini terasa lebih pahit. Tenggorokanku semakin terasa sakit. Sayatan-sayatan perih pun mulai merajam hatiku. Aku masih membisu. Tak ada satu kata pun yang mampu kuucapkan dari bibirku. 

“May, maafkan aku. Aku masih mencintaimu, tapi aku harus memilih.”
Mataku memanas. Kutahan gejolak yang menghentak dada. Aku hanya 
menunggu, kata apa lagi yang keluar dari bibir Hans. Kata itu juga yang akan mengantar ke nasib hidupku selanjutnya. 

“May, aku harus menceraikanmu, maafkan aku.” Hans memelukku erat, kini pipiku basah tak mampu kutahan lagi. Kubalas pelukan Hans erat. Tak ingin kulepas pelukan itu. Kami pun saling mendekap. “Ya Allah, benarkah ini? Aku harus merelakannya. Ya, Allah aku tahu aku harus ikhlas.”
Dengan derai air mata, kulepas Hans pergi. Dia masih menatapku saat Siska datang. Buru-buru kuhapus air mataku. “May, aku minta maaf. Aku harap kau tak membenciku.” 

Aku tersenyum pahit, aku tak perlu basa-basi itu. Aku manusia biasa yang juga bisa terluka. “Sudahlah Sis, tak perlu membahas itu saat ini. Ayuk kita ke rumah mama,” ajak Hans sembari menggandeng tangan Siska.

Hatiku perih. Kupandangi mereka berdua hingga punggungnya menghilang di balik pintu. Hans, benarkah kau mencintaiku? Cinta seperti apa? mengapa kini kau tinggalkan aku di saat aku sangat membutuhkanmu? Berbagai pertanyaan berdesakan dalam dadaku. Aku sungguh benci hidupku.

Hari-hariku terasa kelam. Menangis dan menangis. Masa depanku terlihat gelap. Aku hanya wanita cacat. Aku tak punya siapa-siapa, bahkan laki-laki yang kucintai dan belum genap dua tahun pernikahan kami, kini dia meninggalkanku. Hanya keputusan pengadilan tentang perceraianlah yang akan menghampiriku dan setelahnya mungkin aku akan diusir dari rumah ini.

Beberapa kali hp-ku berdering. Aku tak minat walau hanya sekedar melihat siapa yang meneleponku. Sudah tiga hari ini aku tak masuk kantor. Kulirik hpku saat berbunyi lagi, ternyata Ratna yang mengirimkan sms. 

“May ... kamu ke mana aja? Kamu baik-baik aja kan?”
“Rat, ke rumahku ya, aku tunggu.” Hanya itu balasanku.
Setengah jam kemudian kulihat Ratna tergopoh. Dadaku terasa penuh. Ingin rasanya aku berlari menghambur dalam pelukannya. Seandainya saja aku tak cacat seperti sekarang.

“May, kamu kenapa ditelepon beberapa kali kok gak diangkat, ada apa?”

Kuseka air mataku, “Hans akan menceraikanku Rat.”

“Apa?”

“Iya, aku hanya tinggal menunggu surat putusan pengadilan.”

“Ya, Tuhan. May ...” Ratna memelukku erat. “Sabar ya ...”

“Aku bosan dengan kata sabar itu Rat. Apa yang aku harapkan dari hidupku sekarang.”

“May, gak boleh ngomong gitu.”

“Coba bayangkan Rat. Aku cacat. Aku tak memiliki siapa pun di dunia ini.”

“May, percayalah. Tak ada masalah yang tak ada jalan keluarnya. Allah tidak akan membiarkanmu sendirian.”

“Nyatanya aku sendirian, Rat.”

“May, aku masih di sampingmu.” 

“Rat, kamu memiliki keluarga, suami, anak. Sudah begitu banyak kesibukanmu. Aku hanya akan membuatmu repot.”

“May, percayalah aku akan membantumu.”

“Aku percaya. Kamu memang baik, Rat. Sekarang aku ingin sendiri, tolong tinggalkan aku.”

“Tapi, May ...”

“Sudahlah Rat. Aku akan baik-baik saja. Terima kasih kamu sudah datang ke rumahku.”

Alunan syahdu suara Once mendendangkan Dealova tiba-tiba terdengar dari hp Ratna. Dengan tergesa Ratna mengangkat hp itu.
“Iya Pa, mama akan segera pulang,” ucap Ratna dengan suara ketakutan. Kulihat wajahnya yang gusar.
“Maaf ya May. Suamiku sudah menelepon. Aku harus pulang.”
“Pulanglah. Aku akan baik-baik saja.” Dengan terburu Ratna meninggalkanku. Sudah berkali kulihat ekspresi wajahnya yang ketakutan ketika suaminya menelepon. “Ratna, aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Jadi mana mungkin aku menambah bebanmu,” gumamku lirih.

***
Rintik hujan masih terdengar satu-satu. Pikiranku sedang berlayar ke samudra kehidupan. Ratna, teman baikku yang tangguh. Dia tak pernah mengeluh dan menyampaikan masalah dalam rumah tangganya dan aku sendiri menyimpulkan ada yang telah disembunyikannya dariku. Aku tak berusaha memaksanya bercerita. Sedangkan untuk diriku sendiri, telah kuputuskan dengan perenungan yang mendalam. Aku harus melewati semua ini. Aku harus tetap bekerja demi memenuhi kebutuhanku. Beruntung Hans tak mengusirku dari rumah ini. Aku masih bisa menempatinya.

“Bu, ini tehnya.” Wanita paruh baya menghampiriku. Bi Surti. Dia akan menjadi kakiku dan mengantar ke mana pun aku pergi. “Tak ada yang tak berarti dalam hidup ini. Selama kita memberinya arti walau pahit sekalipun,” tulisku di sebuah jejaring sosial.

Cirebon, 17 April 2013