Senin, 08 Oktober 2012

AKU LELAH HARUS BERBOHONG


Pagi yang cerah, panas menyengat pori-pori. Seperti biasa kuayunkan langkah menyusuri kompleks perumahan yang penuh sesak itu. Langkahku agak tergesa karena aku tak ingin hari ini terlambat masuk kantor. Sesampai di kantor, segudang aktifitas sudah menantiku. Di sela kesibukan itu, pikiranku tak karuan. Aku masih teringat pertemuanku kemarin lusa, di senja berpayung keemasan nan indah. Dia, wanita yang kukenal melalui jejaring sosial, wanita dengan aktifitasnya yang menarik perhatianku, dia istri dan ibu dari anak-anaknya. 

Aku iri padanya. Iri, karena begitu besar dukungan suaminya terhadapnya. Bahkan suaminya rela mengantar ke mana pun istrinya pergi untuk memperluas jaringan kepenulisannya. Ya, iri karena begitu pandainya dia merangkai kata indah, dan aku iri dengan kata-katanya ini :
“Sebesar apa pun masalah selalu ada jalan keluar karena Tuhan menguji dengan akal kita, sembunyi di balik senyum bukan ketabahan tapi penghancuran diri, dusta itu akan selalu mendewasakan dosa. Bukan keraguan namanya jika sudah hilang kepercayaan pada diri. So jadilah diri seutuhnya bukan karena orang lain karena hidup bukan sembarang hidup tapi hidup untuk mendapatkan nilai terbaik.”

Aku merenungkan kata-kata itu, menghela napas berkali-kali. Membuang perasaan sedih yang seakan menumpuk di dada. Aku, menyadari sudah berapa banyak kebohongan yang aku lakukan hanya karena ketakutanku menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Aku juga lelah harus berbohong, tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Namun, akibat kebohongan itu pula banyak hal yang telah kudapat, lebam membiru di sekujur tubuhku, dan ocehan kemarahan yang selalu kudengar. Kebohongan yang kulakukan itu juga karena bila aku jujur, hal yang sama juga yang akan aku dapat.

Aku takut, aku kehilangan kepercayaan diriku, aku juga selalu meragu. Sejujurnya itulah yang kualami. Hidupku adalah semu, bahagiaku juga semu. Senyumku juga semu. Aku harus berubah. Berkali kata itu kuungkapkan dalam hati, tapi sampai detik ini aku masih seperti itu. Takut mengatakan yang sesungguhnya.

***
Pipiku basah, ini kali pertama kubaca curahan hati Amelia, wanita dengan wajah sayu, yang berkunjung ke rumahku. Tepat sehari setelah kami bertemu secara langsung. Dia begitu tertekan, aku berkali-kali terhenyak, mendengar ucapannya yang keluar begitu saja dari bibir pucatnya.

“Maaf, Mbak, saya gak bisa sering-sering ke luar rumah, sekarang juga mohon maaf ya, saya datangnya terlambat. Saya janji jam 10, eh nyampe sini jam segini,” ucapnya sembari merapikan rambutnya yang tergerai berantakan karena angin saat dia dibonceng pengemudi ojek menuju rumahku.

“Gak papa dech, tapi tadi sempat kecewa juga. Kok janji jam 10 gak datang-datang hehe.”

“Iya, Mbak. Sekali lagi mohon maaf ya.”

“Iya, gak papa.”

“Sebenarnya, saya ini juga mencuri-curi waktu, Mbak. Saya ...,” ucapnya terbata-bata.

Aku seperti menangkap kalau dia menyembunyikan sesuatu.

“Kenapa harus mencuri-curi waktu begitu?”

“Iya Mbak. Saya takut sama suami saya. Ini juga saya gak bilang kalau mau ketemu Mbak. Suami saya pasti marah kalau saya cerita ketemu dengan orang-orang dari dunia maya.”

“Loh kok bisa begitu?”

“Iya, Mbak. Itu karena saya pernah ketahuan menulis sesuatu. Seperi curahan hati saya, padahal tulisan saya itu jujur Mbak. Dalam tulisan saya, hanya ungkapan penyesalan saya kalau di dunia maya banyak yang merayu dan mengajak saya bertemu, sementara di nyata hidup saya, saya selalu mendapatkan kekerasan dari suami saya.” Amelia terdiam sejenak.

“Terus ..?” tanyaku penasaran.

“Dalam tulisan saya itu, saya justru ungkapkan penyataan cinta dan sayang saya ke suami. Perasaan menyesal, dan perasaan agar selalu dilindungi Allah SWT. Namun sejak hari itu, saya selalu dicurigai Mbak. Saya dilarang memegang HP bila di rumah. Dilarang menulis apa pun. Bukan itu saja, saya akan dipukuli bila saya ketahuan menulis.”

Aku terdiam mendengarnya, “Begitu pandainya dia menyimpan deritanya itu,” gumamku dalam hati. Selama ini aku tak pernah menyangka, Amelia mempunyai masalah seberat itu.”

“Lalu?”

“Ya, sejak saat itu juga, Mbak. Saya selalu berbohong,” ucapnya lirih.

“Berbohong?”

“Iya, berbohong kalau di belakang suami, saya masih menulis, dan masih berkomunikasi dengan orang-orang dunia maya, tapi hanya mengenai tulisan. Selama ini saya tidak pernah ingin selingkuh, saya selalu mengalah demi ketenteraman rumah tangga kami. Saya tidak pernah berani menulis satu kata pun di depan suami. Saya juga tak berani memegang Hp saya bila di depan suami. Namun, saya ...,” Amelia terdiam. Air matanya mulai menetes. Dia melanjutkan kata-katanya.

“Saya, selalu menerima walau sering dipukul suami, Mbak. Saya selalu diam, hanya saya sedih, semua ini seperti bom waktu. Anak-anak saya melihat adegan kekerasan itu, kebahagian yang saya beri ke anak-anak adalah kebahagiaan semu. Saya juga selalu berbohong karena takut.”

“Kenapa tidak berusaha jujur?”

“Ya, karena kalau jujur pasti akan ribut setiap hari Mbak. Saya sempat benar-benar menuruti kata-kata suami, tidak menulis, tidak berselancar di jejaring sosial, hati saya tambah sakit Mbak. Menulis itu bagian dari hidup saya.”

Aku kehabisan kata-kata. Aku tak ingin menyalahkan sepenuhnya, berbohong memang salah. Namun bagaimana bila aku yang menjadi dia? Sebagai manusia kadang kita selalu melihat kesalahan dari orang lain, tapi apakah kita pernah mencari alasan mengapa dia melakukan kesalahan itu.

Lagu Agnes Monica mengalun dari Hpnya. Begitu syahdu dan menyayat hati. Rindunya Eross Djarot begitu nyaring terdengar dengan lirik yang apik. Namun mengapa membuat wajah Amelia berubah panik.

“Telepon dari suami saya Mbak, saya harus jawab apa ya?” Amelia begitu ketakutan. “Saya harus pulang Mbak. Harus,” ucapnya dengan wajah stress.

“Udah tenang saja dulu.”

“Saya harus pulang Mbak. Kalau tidak wah, saya gak tahu apa yang terjadi Mbak.”

“Ya, sudah nanti diantar ya.”

Amelia terlihat tambah panik. Dia lari keluar sembari menelepon balik ke suaminya.

“Assalamu’alaikum .. “ sejenak kemudian “Iya, Pa. Mama masih di Jalan.”

Amelia terdiam. Wajahnya pucat. Ketakutan terpancar dari wajahnya.

“Mbak, saya bebohong lagi,” ucapnya sendu.

“Ya, kalau itu menurutmu baik,” ucapku gamang.

Jembatan Tol itu seperti raksasa di kegelapan malam. Amelia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedang aku sibuk membalas komentar teman-teman di Fbku.

“Mbak, sebaiknya aku turun di mana ya?”

“Ya, menurutmu sendiri sebaiknya di mana?”

“Di depan gang saja dech. Kalau di depan rumah, suamiku pasti tanya, itu mobil siapa? Bagaimana aku bisa ketemu Mbak? Kan aku izinnya kuliah.”

“Ya, apa tidak seharusnya jujur saja?”

“Saya masih belum berani Mbak, tapi kalau saya pulang selarut ini, saya pasti tetap akan ditanya, bagaimana ya Mbak baiknya?”

“Amelia, bahkan untuk memutuskan itu saja, kamu panik seperti itu?” gumamku dalam hati.

“Bagaimana baiknya ya Pa?” Tanyaku ke suamiku yang mengemudikan mobil dinasnya.

“Ya, kalau memang kuliahnya biasanya pulang jam berapa?” tanya Dodi suamiku.

“Biasanya Jam 8 Pak. Paling malam jam 9, tapi tadi dosennya tidak datang, jadi saya bisa pulang lebih cepat, dan saya berkunjung ke rumah Mbak Resti. Tadinya saya memutuskan untuk pulang setelah magrib, jadi saya tidak harus menjelaskan apa-apa ke suami saya. Sekarang jam berapa ya Mbak?”

“Sekarang sudah Jam 21.49 Amelia.”

“Wah, sudah selarut itu ya Mbak. Sebaiknya sampai rumah saja Mbak. Kalau saya turun di depan gang, Saya takut suami malah tambah curiga.”

“Ya, okelah, akan kami antarkan.”

“Tapi Mbak. Kalau suami tanya bagaimana ya Mbak. Di mana saya bertemu Mbak?”

“Ya, jawab saja bertemu di Kampus.”

“Iya, iya, benar Mbak. Begitu saja jawabnya ya Mbak.”

Di sebuah rumah sederhana bercat abu-abu dan pagar berwarna hitam, dengan tatanan pot bunga di depannya, tiba-tiba Amelia mengagetkan kami.

“Di sini Mbak. Ini rumah saya, tapi kok gelap ya?”

Rumah itu seperti tak ada penghuninya. Lampu di teras rumah mati. Amelia turun dari mobil. Dia memegang pintu pagar.

“Wah, digembok,” ucapnya.

Beberapa kali dia memencet nomor telepon di Hpnya, tapi tak ada sahutan. Sampai akhirnya dia seperti berbicara dengan seseorang lewat hpnya.

“Oh, gak dikunci Mbak.”

“Assalamu’alaikum .. Pa, pa ...”

Dari dalam lampu teras langsung dinyalakan. Pintu itu tidak segera terbuka, lalu keluar sesosok laki-laki, begitu sopan. Aku diajak Amelia masuk ke ruang tamu. Amelia begitu kikuk.

“Ini teman mama, Pa, Mbak Resti.” Ucap Amelia mengenalkanku ke suaminya.

“Ooh, iya bisa bertemu di mana Mbak dengan Amelia?”

“Tadi ke kampus, terus mampir ke rumah. Nanti main ya ke rumah, terus ijin mau minta tolong dalam acara saya,” ucapku membantu Amelia berbohong.

“Ooh, iya Mbak,” ucap Suami Amelia.

“Mbak, mau minum?”

“Gak, udah malam, langsung pulang saja ya?”

“Iya Mbak, terima kasih banyak Mbak.”

“Pak, terima kasih sudah mengantarkan Amelia,” ucap Amelia untuk suamiku.

Aku masuk mobil meninggalkan rumah Amelia dengan segudang tanya. Apa yang terjadi dengan Amelia malam ini?. “Amelia, sebesar apa pun masalah selalu ada jalan keluar karena Tuhan menguji dengan akal kita, sembunyi di balik senyum bukan ketabahan tapi penghancuran diri, dusta itu akan selalu mendewasakan dosa. Bukan keraguan namanya jika sudah hilang kepercayaan pada diri. So, jadilah diri seutuhnya bukan karena orang lain karena hidup bukan sembarang hidup tapi hidup untuk mendapatkan nilai terbaik.” Itu yang bisa aku sampaikan untuknya.

Cirebon, 08 Oktober 2012

2 komentar: