TULISAN LAIN

PENGAKUAN DIRI SETELAH MEMBACA INDONESIA MENULIS (PERJALANAN SPIRITUAL)




Dua buku dari enam buku kiriman Pak EWA sudah selesai saya lahap. Masing-masing buku saya baca dalam waktu sekali duduk, maksudnya langsung selesai dibaca tanpa disela dengan aktivitas lainnya. Tentunya saya lakukan di saat anak-anak sudah tidur. Aktivitas pagi saya yang bekerja sampai sore dan dilanjutkan kuliah di malam hari tak mengurangi minat saya untuk mencari tahu isi buku “INDONESIA MENULIS (PERJALANAN SPIRITUAL)”. Dini hari tadi pagi tepatnya pukul 01.00 WIB saya selesai membaca buku itu.

Berhamburan rasa melingkupi hati saya. Bagaimana tidak? Membaca buku itu seakan saya berada di beberapa tempat di Jawa Timur. Buku itu membawa saya menikmati perjalanan tour de jatim dalam gerakan Indonesia Menulis dan saya seperti ada di antara mereka. Tour de jatim yang dilaksanakan di beberapa universitas dan pesantren di Jawa Timur itu menyajikan kisah para penggiatnya ditambah foto-foto pelaksanaan terasa nikmat untuk dilahap. Terlebih di bab terakhir buku itu masing-masing penggiat tour de jatim menuliskan kesaksiannya.

Terbersit keinginan dalam hati saya. Nama saya harus ada dalam Buku Indonesia Menulis selanjutnya. Harus! Mungkin keinginan yang terlalu besar, tapi bukankah hal yang baik bila kita mempunyai keinginan sebagai wujud menggairahkan kehidupan. Bagi saya GPM adalah grup kepenulisan yang mempunyai nilai history. Mengenal Pak EWA di GPM adalah saat yang saya sebut masa pembangkitan semangat menulis saya. Saya yang anggota baru dipercaya oleh beliau untuk tantangan membuat buku dengan memposting tulisan setiap hari beserta empat teman saya lainnya yang beliau sebut Lima Srikandi GPM.

Di awal Juli tahun 2012 tulisan kami mulai diposting. Saat itu saya hanya menuliskan apa yang ada di otak saya dan dengan pede menyebut tulisan yang saya posting selama 45 hari itu sebagai naskah novel. Dari sanalah proses itu bermula, saya belajar dari komentar teman-teman yang membaca. Walaupun baru berupa naskah, tapi hal itu yang memicu saya terus menulis hingga di awal Februari tahun ini saya menyelesaikan satu naskah novel lagi yang saya kirimkan mengikuti lomba novel Bentang Pustaka. Apapun hasilnya saya tetap akan bahagia karena saya telah menuliskannya. Bukankah menulis adalah melakukan begitulah kata Pak EWA dan masih mengutip tulisan beliau bahwa menulis adalah proses belajar. Saya lagi-lagi setuju.

Lalu kepercayaan beliau tidak hanya sampai di situ. Beliau memberikan amanah kepada saya untuk menghimpun karya teman-teman dalam rencana antologi cerpen GPM dan saat beliau menawarkan pembentukan GPM Cirebon saya menyetujui dengan harapan teman-teman dapat termotivasi seperti saya. Adapun kegagalan saya sampai hari ini adalah belum terkumpulnya tulisan-tulisan teman-teman GPM Cirebon yang telah diterbitkan menjadi buku.

Dari semua pengakuan itu, sebuah pertanyaan mengganjal hati saya. Apakah teman-teman GPM Cirebon siap membantu mewujudkan mimpi saya? GPM Cirebon dan anggotanya akan menjadi bagian dalam gerakan Indonesia Menulis selanjutnya. Semoga, karena saya percaya tak ada yang tak mungkin bila Allah menghendaki. Amin. Akhirnya saya tuntaskan curhatan ini dengan harapan.

Cirebon, 13 Pebruari 2013




REVIEW KUMCER

JUDUL : BAPAK: RIAK LILIN HIDUPKU
PENULIS: AANG M. M. SYAFII
PEMERHATI AKSARA: TRISTANTI
DESAIN SAMPUL: ANTO
TATA LETAK: AGA
DITERBITKAN: LEUTIKA PRIO
CETAKAN PERTAMA: SEPTEMBER 2011
TEBAL: IV + 59 HALAMAN

Kumcer berisi sembilan cerpen ini sungguh menarik untuk dibaca, berbagai kisah tentang bapak tersuguh apik dengan bahasa yang sederhana. Awalnya saya sempat terkecoh saat melihat cover yang menampilkan foto laki-laki tua. Di pikiran saya, buku ini kisah nyata penulisnya.

Saat membaca cerpen ke lima “WAKTU BAPAK MENGINAP” saya sempat mengrenyitkan dahi karena tokoh “aku” yang semula laki-laki berubah menjadi wanita. Saya mulai menyadari bahwa kumcer ini tidak menceritakan kisah nyata si penulis. Saya sempat kehilangan konsentrasi dan membaca ulang cerpen sebelumnya. Setelah membaca ulang justru cerpen ke lima ini yang berhasil membuat emosi saya turun naik, terlarut dalam kisahnya. 

Emosi saya kembali bergolak ketika membaca cerpen ke delapan “SETELAH DELAPAN BULAN” . Cerpen yang berkisah tentang sosok seorang bapak yang rela menjadi penjarah pohon jati yang akhirnya dipenjara selama delapan bulan menunjukkan sifat yang berbeda setelah keluar dari penjara bahkan untuk sekedar menatap mata “aku”. Ketika sang bapak memutuskan merantau ke kota untuk bekerja, saya terlarut pada bagian ini. Adegan “aku” dan keluarganya melepas bapak pergi berhasil mengaduk-aduk hati saya.

Bukan itu saja, “Bapakku memang bukan orang biasa.” (Halaman 47) adalah kalimat yang luar biasa bagi saya. Kalimat ini mempunyai kekuatan yang berbentuk pengakuan, bahwa bapak bagi si penulis apa pun karakternya adalah orang yang berbeda dengan orang lainnya.

Selain itu, buku kumcer yang tergolong tipis ini memberi nilai plus bagi pembaca seperti saya yang tak mempunyai banyak waktu luang. Buku ini bisa menjadi teman kala kita menunggu bus, dalam perjalanan atau waktu istirahat di kantor. Buku mini dengan nilai yang besar di dalamnya. Memberikan nilai tentang perjuangan seorang bapak yang mungkin kita melupakannya. Sayang, si penulis tidak memperjualbelikan bukunya. Beruntunglah saya bisa membaca buku ini secara gratis.

Bapak: Riak lilin hidupku. Menurut saya judulnya menyuguhkan tentang hal yang tak biasa. Kalau biasanya riak itu identik dengan air, kali ini disandingkan dengan lilin. Bagaimana kalau, Bapak: kerlip lilin hidupku? Ah, biarlah pembaca yang menilainya. Namun, seperti halnya saya yang terkecoh di awal. Sebaiknya adalah jangan menilai sesuatu dari yang tampak dari luar karena belum tentu kebenarannya dan mungkin penulis ingin membuat penasaran dengan judulnya.

Selesai membaca, rasa melow mendera hati saya. Jadi teringat bapak yang telah tiada. Sepenggal lagu mengalun lembut di sanubari saya: “Untuk ayah tercinta, aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi.” 

Bapak, walau kita terpisah ruang dan waktu, bapak kan selalu menyala di pijar hatiku. Ini ungkapan saya. Kalau bagi penulis bapak berarti lilin di kegelapan hidupnya, bagaimana dengan Anda?

Cirebon, 03 Januari 2012


REVIEW NOVEL LAILA


Judul : LAILA
Penulis : ABRAR RIFAI
ISBN : 978-602-18755-0-6
Diterbitkan oleh Penerbit PT. AKsara Bermakna
Desain Sampul : Izzudin Abdur Rahim
Tebal : 240  lembar

MENYAMBUT TAHUN BARU BERSAMA LAILA

Tolong, jangan pernah kau tanya kenapa aku bisa suka kamu. Jangan pernah kau gugat kenapa aku bisa mencintaimu, sebab cinta itu punya logikanya sendiri untuk berproses.” (Novel Laila halaman 203).

Gigil masih bersama kala saya dekap wanita cantik berkerudung hitam. 23 Desember 2012 Laila menjadi teman di perjalanan menuju Sumedang. Rasa penasaran mulai mengusik. Saya membuka pembungkusnya dengan hati-hati, plastik itu pelan-pelan lepas, karena terhalang cahaya meremang saya hanya bisa menatapnya dan membolak-baliknya lembar demi lembar. Dia sungguh menarik berbalut baju hijau toska. 

Saat matahari mulai meninggi, barulah saya mengamati dengan sungguh-sungguh kecantikannya dan mulai membaca semua abjad yang terhampar. Laila dan umar tokoh utama dalam novel Laila. Memberikan contoh bahwa begitulah cinta seharusnya ditempatkan. Membaca Laila membawa kita sepeti berada dalam setiap adegan cerita. Dipaparkan dengan bahasa yang renyah membuat tak bosan membuka lembar demi lembar selanjutnya. Sayangnya saya yang harus menghentikan membacanya karena hawa dingin Jatinangor sudah menyergap. Sampailah saya di Hotel Puri Katulistiwa. Sementara Laila masih setia saya genggam di tangan kiri saya kala turun dari bus dan masuk menuju lobby hotel.

Rapat Koordinasi. Ya, ternyata begitu lamanya menyita waktu saya hingga membiarkan Laila tertidur nyenyak di dalam tas kerja saya. Sehari, dua hari, saya masih belum bisa menuntaskan rasa penasaran. Ya Allah, rupanya Laila masih harus lebih lama menunggu, hingga malam ini di antara dentuman suara kembang api dan petasan. Bersama laila saya sambut pergantian tahun.

Laila, Novel Inspiratif. Kalimat itu tepat sekali. Membaca Laila, saya menemukan begitu banyak hal berharga. Pemahaman agama yang disampaikan dengan kata-kata gaya anak muda membuat saya begitu nyaman membacanya . Umar, sosok laki-laki yang diceritakan begitu memukau oleh penulisnya adalah sosok laki-laki idola, laki-laki dengan prinsip yang begitu teguh. Laki-laki, yang mungkin sungguh langkah di zaman sekarang ini.

Bukan hanya soal cinta, novel ini juga membahas soal poligami, dan bagaimana islam memandang tentang seorang wanita yang lebih dahulu menyatakan cinta lewat sosok Nurul. Novel ini seperti nyata dan benar dialami oleh penulisnya. Novel ini mempunyai jiwa yang mempengaruhi pembacanya untuk terus membolak-balik mengikuti alur cinta Umar dan Laila. Cinta sejati, cinta tulus, cinta Umar kepada pengamen yang terlahir dari hasil hubungan ibunya dengan banyak laki-laki. Bertemu Umar maka Laila bertemu dengan hidayah dalam hidupnya. Kekuatan cintanya kepada Umar membuat Laila menjadi santri yang memenangkan lomba MTQ dan hafal 30 juz Alqur’an. Subhanallah!.

Cinta memberikan sinar yang begitu terangnya bagi Laila dan kesetiaan Umar membawanya mengarungi kebahagiaaan bersama Laila. Sang penulis juga terlihat sisi romantisnya pada bagian ini:
Aku bahagia sayang, mendekatlah padaku. Aku ingin memelukmu. Aku ingin mengecup keningmu. Kemarilah. Aku sudah tak sabar ingin menggandeng tanganmu, menuntunmu menuju pelaminan.” (Novel Laila halaman 239).

Seperti enggan berakhir begitulah kesan setelah membaca Novel ini, membuat saya ingin lebih mengenal diri penulisnya, dan menunggu novel-novel berikutnya. Tak ada kata selain, “Novel Laila memberi begitu banyak makna dalam setiap rangkaian huruf demi hurufnya.” Anda ingin menjadi laki-laki dan suami idola? Bila iya, Anda harus membaca novel ini.

Cirebon, 01 Januari 2013, 00.43 WIB.







RESENSI NOVEL


Judul                      :     KEBERANGKATAN
Penulis                    :     NH. DINI
ISBN                       :     978-979-22-5836-3
Cetakan pertama    :     Pertama kali oleh PT. Dunia Pustaka Jaya, 1977
Diterbitkan oleh Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Januari 1987
Cetakan kedua        :     Mei 1989
Cetakan Ketiga        :     Februari 1991
Cetakan Keempat   :     Agustus 1993
Cetakan Kelima        :     Februari 2000
Cetakan keenam      :     Desember 2002
Cetakan ketujuh     :     Agustus 2010
Desain Sampul        :     Agus Purwanto
                                   Foto diambil dari Shutterstock
Tebal                     :     194 lembar


Cinta hadir tanpa dapat kita undang, begitulah kalimat yang sering kita dengar. Cinta dapat menghadirkan kekuatan tetapi dapat juga menghancurkan kekuatan. Membaca salah satu Novel NH. Dini yang mengisahkan tentang kehidupan seorang wanita Indo Belanda Elisabet Frissat yang jatuh cinta kepada Pemuda Indonesia asli yang bekerja di Istana, Sukoharjito. Kita akan menemukan jawaban bagaimana cinta membuatnya meninggalkan Indonesia, tanah air yang sangat dicintainya, tanah air yang sempat dipilih untuk tetap ditinggalinya bahkan saat semua keluarganya pindah ke Negeri Belanda.

Sukoharjito bukan satu-satunya laki-laki yang mendekatinya, walaupun Elisabet Frissat adalah peranakan Indo Belanda, tetapi dia sangat memegang teguh budaya masyarakat Indonesia, bahwa wanita hanya berhak dipilih tanpa bisa memilih dan hanya bisa menunggu. Karena itulah dia menganggap semua laki-laki yang mendekatinya hanya sebatas teman selama mereka tidak menyampaikan kata-kata, “Saya cinta kamu”. Namun semua berbeda, saat Sukoharjito mendekatinya dan berhasil mencumbunya. Tanpa kata “aku cinta” dari Sukoharjito, Elisabet Frissat mengikuti kata hatinya yang sangat mencintai Sukoharjito dan menganggap Sukoharjito kekasihnya.

Latar belakang keluarganya yang tak pernah diketahui jelas dari orang tuanya membuat Elisabet Frissat mencari tahu bermodalkan bayangan yang sekali melintas dalam benaknya. Fisiknya yang tak mirip dengan saudara-saudaranya dan perlakuan ibunya yang kasar membuatnya kadang berpikir apakah benar dia anak kandung ibunya. Bertemu dengan seorang Pastor Rama Beick awal mula harapannya terbuka untuk mengetahui asal usul keluarganya.

Terbukalah latar belakang masa lalunya dari kakak kandungnya yang telah terpisah lama dengannya, bahwa Elisabet bukanlah anak kandung Ayahnya. Ibunya yang cantik mempunyai hubungan dengan banyak pria karena ayahnya sering meninggalkan ibunya. Tak terduga bahwa Elisabet adalah anak dari laki-laki anak angkat yang dibawa ayahnya. Laki-laki Indonesia asli, seorang pelukis yang bernama Talib.

Setahun menjalin cinta dengan Sukoharjito, Elisabet tetap memegang teguh tidak akan menyerahkan keperawanannya sampai menikah.  Walaupun Sukoharjito sering memintanya. Elisabet yang bekerja sebagai Pramugari di GIA berteman dengan begitu banyak orang dan sering menemani para tamu istana. Sampai suatu hari dia mendapat kabar bahwa Sukoharjito akan menikah dengan kemenakan Ajudan Istana. Elisabet tak menyangka apa lagi Sukoharjito sendiri tak pernah menemuinya dan menjelaskan tentang hal itu. Dari Lansih sepupu Sukoharjito yang sekaligus teman satu rumah Elisabet. Dia tahu Sukoharjito terpaksa menikah karena si wanita telah mengandung.

Elisabet merasa terluka dan hancur. Berkali dia berusaha tegar, berusaha melupakan Sukoharjito. Bahkan di saat seperti itu pun hadirlah laki-laki lain Gail, Wartawan dari Amerika. Namun hati Elisabet masih belum bisa menerimanya. Diam-diam, Elisabet mengurus kepindahannya ke Belanda. Apa yang diharapkannya di Indonesia? Pikirnya. Padahal dulu dia tak ingin pindah ke Belanda karena cinta Indonesia. Kegagalan cinta pertamanya membuatnya benar-benar rapuh.
Novel ini ditutup dengan surat cinta dari Gail dan satu paragraf yang begitu menyayat hati pembaca.

Sayang,
Seperti permintaanmu, aku tidak mengantar pagi ini. Hati selalu tersayat melihat kendaraan apa pun juga menjauh membawa seseorang yang kita cintai. Ini masih ada seratus dolar di sudut dompetku. Kupindahkan ke dalam sampul buatmu. Anggaplah sebagai sesuatu yang meyakinkan aku bahwa kau akan segera membeli perangko dan menulis kepadaku setelah tiba di negeri Belanda.
Gail
Kulayangkan mata ke luar jendela. Harinya lembab berhujan kecil. Langit kelabu menyatu dengan air yang berjatuhan. Basahlah tanah. Tanah yang telah berpuluh tahun menjadi tanahku. Kota di mana dua laki-laki mempunyai arti dalam hidupku. Dengan hati rawan tetapi terang, tanah dan kotaku kutinggalkan.


Ending yang begitu memikat. Saya terharu membacanya. Berdesakan rasa muncul dari dalam dada saya. Layaknya sebuah Resensi yang seharusnya menyuguhkan kritik atau opini. Saya tak menyoroti penggunaan tata bahasa atau EYD. Hanya, nama tokoh kakak kandungnya yang tak tertulis dalam Novel itu yang membuat saya berpikir bahwa kakaknya itu jelas tak memiliki arti yang begitu mendalam bagi Elisabet Frissat. Novel ini jelas menjadi bahan belajar bagi saya. Beruntung saya dapat membacanya berkat kebaikan hati sahabat dunia maya yang menghadiahkannya untuk saya.

Cirebon,  20 Desember 2012







OLEH-OLEH PERTEMUAN DENGAN ANGGOTA GPM CIREBON TANGGAL 22 AGUSTUS 2012
Melalui GPM Cirebon, saya mengenal orang-orang hebat, sebut saja Mas Riyanto El Haris penulis Novel “Takbir-takbir Cinta, Bukan Lelaki Terindah, Siraj dan Kudekap Ibu di Sisi Baitullah”. Lalu, Mbak Sonia, Budayawan Cirebon yang begitu luwesnya beserta suaminya yang selalu setia mendampingi.  Juga Pak Goen Smith, sosoknya yang tak banyak bicara dan di blog inilah gmitoro.blogspot.com kita dapat membaca tulisan-tulisan indahnya dan tentunya sahabat-sahabat lainnya anggota GPM Cirebon. Saya sengaja menyebutkan nama mereka bertiga karena merekalah yang hadir lebih awal dalam acara tanggal  22 Agustus 2012, di Keraton Kacirebonan.
Saya Sungguh panik, kala melihat jam di HP saya sudah menunjukan pukul 10.30 WIB. Sedangkan dalam undangan yang saya buat acaranya Pukul 10.00 WIB. Saya beranikan mengirim sms ke Mas Riyanto El Harist, untung beliau sudah inbox saya di FB, jadi saya tahu nomor HP beliau. Saya tanyakan ke beliau “apakah sudah ada di lokasi?” sungguh beliau tepat waktu karena balasan sms dari beliau “sudah teh ...” saya jelas malu dan langsung mohon maaf atas keterlambatan saya. Di suasana masih lebaran memang macet di mana-mana, bukan haya di Jakarta, di Kanggraksan juga mengalami kemacetan yang cukup panjang.
Saat tiba di lokasi, saya yang memboyong serta adik dan anak bungsu saya yang belum genap berumur dua tahun sempat clingak-clinguk ke kanan ke kiri  lalu sepasang mata saya menangkap dua sosok sedang berbincang. Keduanya mengenakan baju berbahan kaos bergaris dengan warna yang hampir senada. Saya dekati mereka dan benar saja, saya menemukan wajah dua orang yang selama ini tak asing bagi saya. Tak lama kemudian Mbak Sonia muncul beserta seorang laki-laki yang belakangan saya tahu suami Mbak Sonia, lagi-lagi mereka memakai pakaian berwarna sama. Inilah yang menjadi indah dalam komposisi warna saat foto-foto ditag di GPM Cirebon bila saya berada di tengah di antara mereka.



 Ternyata, Mbak Sonia juga sudah hadir lebih dulu dari saya. Setelah berbincang sebentar . Mbak Sonia mengajak kami menemui Elang Heri Guru tari topeng cirebon pemimpin sanggar tari sekar pandan wangi karena tari topeng salah satu budaya Cirebon yang diangkat Mas Riyanto El Haris dalam Novel “Senja di Titian Kelana” yang belum berhasil diterbitkan.
Keraton Kacirebonan yang tidak terlalu jauh dari pusat kota dan sangat mudah diakses menurut saya kurang terkenal dari dua Keraton lainnya yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Saya sendiri yang sudah tinggal hampir 12 Tahun di Cirebon, baru kali pertama menginjakkan kaki di Keraton yang tidak terlalu luas ini padahal Keraton Kacirebonan juga merupakan Aset Pariwisata Kekayaan Cirebon yang patut dikembangkan dan dilestarikan. Sebagai warga Cirebon sudah selayaknya kita merasa bangga ikut mempromosikannya.
Sesampai di Sanggar Tari Sekar Pandan Wangi Saya terperanjat, bagaimana tidak? Mbak Sonia begitu akrabnya dengan Elang Heri dan kami disambut begitu hangatnya. Bagi Anggota GPM Cirebon yang belum mengenal budaya cirebon seperti saya, pasti takjub saat melihat  topeng-topeng yang tergantung di dinding, masing-maisng topeng ada namanya sesuai bentuknya. Namun karena sangking takjubnya saya tak begitu menyimak penjelasan Mbak Sonia.






Ketakjuban saya semakin bertambah, saat kami tiba di “Paseban” tempat pertemuan awal kami sebelum ke sanggar tari. Tempat yang tadinya hanya lantai, tiba-tiba seperti disulap. Sudah tergelar karpet dan aneka kue beserta dua teko kopi hitam dan kopi susu terhidang di depan mata. Subhanalloh! Begitu baiknya Sultan Keraton Kacirebonan menyambut tamu. “Lagi-lagi ini kehendak Allah melalui keluwesan Mbak Sonia,” gumam saya dalam hati.

Ditemani hidangan itu, perbincangan kami sungguh asyik sampai anak saya merengek dan mulai menangis, akibatnya saya harus meninggalkan perbincangan asyik itu dan membawa anak saya mencari angin di depan gapura keraton agar tak menangis, anak saya yang mengantuk berat akhirnya harus saya relakan pulang beserta buleknya. “Hmmm ... perjuangan ingin menjadi penulis,” gumam saya.

Tidak sampai di situ, saat saya kembali lagi bergabung dengan mereka, perasaan saya tak karuan. saya kepikiran adik saya. “sudah sampai mana ya dia?”pertanyaan itu mengganggu pikiran saya, ketika hendak meneleponnya,  astaghfirullah! Pulsa saya habis. Terpaksa saya tinggalkan lagi mereka dan saya harus berjalan bermeter-meter sampai paradis dan tak ada satu counter penjual pulsa yang buka. Tak ada pilihan lain, saya harus naik becak sampai pasar Jagasatru. Alhamdulillah! Akhirnya .... ada juga yang  menjual pulsa. Lega!.

Setelah mengisi pulsa, saya kembali ke Keraton Kacirebonan dengan perasaan sedikit tenang karena sudah mendapat kabar dari adik saya.  Jelas, saya tertinggal jauh perbincangan dengan mereka, tapi saya mendapat pelajaran dari Mas Riyanto El Haris agar tak patah semangat saat tulisan kita ditolak satu penerbit, kirim lagi ke penerbit lain, ditolak, kirim lagi ke yang lain, masih ditolak, terus kirim lagi ke penerbit lainnya, sampai terbit. Buktinya dari Lima Novel yang beliau tulis, empat di antaranya sudah terbit.

Pertemuan itu semakin seru, saat pak Dadang Kusnandar hadir bergabung. Laki-laki berkacamata yang juga Budayawan Cirebon dan Penulis di beberapa Media Massa ini membawa perbincangan semakin hidup. Lagi-lagi ketakjuban saya menjelma,Pak Dadang, Mbak Sonia dan Mas Riyanto sama-sama Alumni SMA Negeri 1 Cirebon. Wah, sungguh sekolah yang berkualitas, melahirkan siswa-siswa yang berkualitas juga.

Tibalah saatnya kami bertemu sekaligus berpamitan kepada yang punya tempat, Sultan Keraton Kacirebonan. Sebelum masuk ke ruang istana kami menyempatkan berfoto terlebih dahulu. Tak sempurna rasanya tanpa jeprat jepret kamera. Namun harap maklum, bila wajah saya tak terlihat ceria ya hehehe, mungkin kecapekan setelah lebaran, bisa saja ya, ok , lanjut.





Tak lama menunggu, sang Sultan (Sultan Abdul Gani) dan permaisuri yang cantik jelita menemui kami. Saya tersipu saat Mbak Sonia menyebut membawa penulis-penulis dari Cirebon, tapi kalimat itu semoga menjadi doa buat saya dan pak Goen Smith semoga kami akan menjadi penulis yang bermanfat untuk Cirebon, mengingat Mas Riyanto El Harist sudah menjadi Penulis.  Setelah sesi foto-foto dan bersalaman. Kami keluar dari Istana dengan rona bahagia karena  mendapat sambutan yang tak tersangka dari Sultan, Elang Heri dan Seorang laki-laki tua yang saya tak tahu namanya, yang menyiapkan makanan dan minuman untuk kami.

Subhannaloh! Benar adanya kata Mas Riyanto El Harist kalau Silaturahim itu membukakan pintu rejeki karena bukan hanya ketakjuban-ketakjuban itu saja, setelahnya Mas Riyanto El Harist mentraktir kami makan nasi jamblang. Mas Riyanto El Harist penulis dan teladan yang begitu baik, lahir, besar dan sekolah di Cirebon, kota Wali dan tentunya kota yang sangat kita cintai.

Akhirnya, saya mohon maaf terkhusus untuk mereka berlima, Mas Riyanto El Harist, Mbak Sonia, Pak Goen Smith, Suami Mbak Sonia, dan Pak Dadang Kusnandar bila saya tidak terlalu fokus dalam pertemuan waktu itu. Terima kasih telah bersedia hadir memenuhi undangan kami dari GPM Cirebon dan membantu suksesnya acara. Sekali lagi Mbak Sonia, terima kasih banyak.  Semoga pertemuan dua bulan ke depan yang akan menghadirkan lebih banyak Seniman dan Budayawan Cirebon akan berjalan  lancar dan lebih sukses dari acara tanggal 22 Agustus 2012 dan Anggota GPM Cirebon dapat beramai-ramai hadir lalu terinspirasi menjadikan bahan tulisan dari pertemuan-pertemuan tersebut, Amiin. Melalui tulisan ini, saya ingin membuktikan bahwa menulis itu mudah. Selamat Menulis!

Cirebon,  26 Agustus 2012



KESAN SETELAH MEMBACA PENGHAPUS MENDUNG (BAGIAN I)

Tanggal 15 Juni 2012 tepatnya saya menerima kiriman buku dari pak Heri Cahyo. Dua buku dengan ukuran yang berbeda. Saya tergelitik dengan buku yang ukurannya lebih kecil. "Penghapus Mendung" begitulah judul buku itu. Bagaimana saya tidak tergoda di buku dengan ukuran mini itu berisi 45 kisah motivasi dan inspiratif dari 45 penulis yang tergabung di Grup PNBB.Wah!

Penasaran kan? saya juga. Ada rasa yang mengaduk-aduk hati saya untuk segera menyentuh, membelai dan membuka lembar demi lembar buku itu. Eit, sisi hati saya yang lain mengingatkan. "Ning, ingat rencana novelmu bagaimana?" Ya karena saat itu saya sedang persiapan menulis novel yang akan diposting tanggal 01 Juli 2012 di GPM Cirebon.

Waduh! saya terpaksa menahan dan meredam keinginan hati saya. Buku itu saya simpan satu bendel dalam map plastik yang tiap hari saya bawa ke kantor beserta tulisan-tulisan saya. Saya abaikan perasaan saya untuk menelanjangi buku itu. Oops porno ya, hehehe. maaf!. Hmm, lagi-lagi buku itu benar-benar mempunyai magnet menarik hati saya untuk membacanya. Akhirnya saya menyerah, tadi malam saya mulai iseng membuka. Apa yang terjadi? tunggu!

Baru membuka sampul depan. lalu sampul dalam. Saya terperanjat. Saya sudah disuguhi puisi yang penuh inspirasi. Kata pengantar yang menginspirasi dan Prolog yang juga penuh motivasi. Ckckck, bagaimana isinya? Saya tambah penasaran.

Ayuk kita mulai bahas satu persatu. Tulisan pertama karya Eko Iman Suryanto dengan judul "Gak Punya Ongkos Pulang" berhasil melambungkan ingatan saya saat merantau juga. Lalu tulisan kedua karya Evyta Ar "Melangit Asa". Subhanallah! Saya menangis membacanya. Saya serasa menjadi dia. Saya terkesima. Sungguh benar Allah tidak akan memberi cobaan kepada hamba-Nya bila tak mampu menanggungnya. Puisinya menyentuh hati saya. Tulisannya sangat menginspirasi. Saya yang sehat walafiat harus bisa mensyukuri hidup dan menciptakan karya lebih baik dari dia. Nal loh, saja jadi melow.

Lanjut ke tulisan berikutnya. "Prestasi ≠ Kebetulan”.  Karya Indah Andriani. Saya salut dengan kakak kelasnya yang memotivasi dan setuju dengan pernyataannya ini :
“Dik, Prestasi itu bukan sebuah kebetulan. Prestasi itu dibangun dari sebuah kerja keras yang panjang. Jadi gak ada itu prestasi yang kebetulan. Semua dalam hidup ini merupakan sebab akibat dik dan Adik pantas mendapatkannya karena Adik berjuang lebih keras dibandingkan teman-teman Adik”. Walaupun menurut saya ada kesalahan dalam pemakaian tanda baca dalam tulisan Indah. Namun semua terabaikan. Yang penting isinya Bung. Begitulah seperti kata pak Ersis Wirmansyah Abas mneulis ya menulis saja. Jangan tanya ini itu. Lanjut.

Tulisan keempat “Wanita berhati Baja” karya Citra Dewi. Subhannallah! Saya merinding membaca tulisan ini. Lagi-lagi membawa saya merasakan apa yang dialami Bu Irma. Saya setuju untuk julukan Citra Dewi kepada Bu Irma “Wanita berhati Baja”. Penasaran? kalau penasaran silahkan hubungi Mas Akung Krisna. Hehehe. Selanjutnya sebuah  “Mantra Bahagia” karya Ratu Marfuah. Saya suka Endingnya “Hidup itu adalah menjalani jalan-Nya. Bertambah bahagia setiap waktu” Tentu. Salam buat seseorang yang membawa kebaruan ya Ratu. Masih mau lanjut? Lanjut ya.

“Perjuangan selepas lulus kuliah” karya Vina N Istighfarini. Membaca tulisan ini saya langsung ingat lagu D”Masiv. “Jangan menyerah... Jangan menyerah. Hidup adalah Anugerah” Ya begitulah selayaknya hidup. Wah! Harus berhenti dulu bacanya. Nanti kita lanjut lagi ya. Bagaimana baru 6 tulisan sudah asyik kan? makanya saya merekomendasikan buku ini untuk teman-teman. Gak rugi dech pokoknya.


Bersambung .....



KESAN SETELAH MEMBACA PNPMIM




Selasa 03 Juli 2012. Hari menjelang sore dan saya masih asyik menekan huruf demi huruf di tuts-tuts keyboard komputer. Tiba-tiba Satpam kantor tempat saya bekerja menghampiri dan membawa bungkusan berwarna coklat. Seketika saya bahagia. Wah! Kiriman buku dari pak EWA sudah sampai. Batin saya melonjak. Saya tersenyum saat menerima bungkusan itu dan teringat baru saja tadi siang dua orang Anggota GPM Cirebon menanyakan kabar buku itu. Mereka mungkin berfirasat bukunya sudah selamat mendarat di Cirebon.

Saya pandangi dan buka pembungkusnya. Benar terlihat tumpukan buku-buku. 7 buah buku PNPMIM dan 3 buah SNIM. Wah! Saya semakin antusias karena PNPMIM tak berbaju hehe tak ada plastiknya maksudnya. Saya berencana membaca terlebih dahulu. Alhamdulillah ada manfaat bagi saya mendirikan GPM Cirebon dan saya berharap partisipasi anggota GPM Cirebon dan warga Cirebon agar mendapat manfaat juga. Selepas anak saya tertidur. Saya labuhkan rasa penasaran saya yang sudah tak tertahankan. Saya buka lembar demi lembar buku itu. Pukul 11.30 malam saya sudah selesai melahap semua isi buku. Wow! Itu komentar saya. PNPMIM ternyata ditulis oleh 26 Penulis termasuk pak EWA. Setelah membaca saya mulai tergelitik menuliskan kesan saya.

Ada rasa iri menyergap hati saya karena dalam buku itu tidak ada nama saya sebagai penulisnya. Namun saya beruntung bisa membaca karya mereka orang-orang hebat menurut saya karena apa yang mereka tulis adalah proses belajar mereka sehingga terciptalah tulisan itu. Mustahil menuliskan tanpa mengalaminya terlebih dahulu. “Mengalaminya terlebih dahulu” istilah di sini sama dengan istilah pak EWA “Menulis di Otak” saya semakin tersadar saat membaca ungkapan “Jangan memikirkan apa yang akan ditulis, tetapi tuliskan apa (yang disimpan) di otak” (Kata Pengantar PNPMIM Halaman V). Nah loh! Kalau saja kita benar-benar menuliskan apa saja yang tersimpan di memori otak kita pasti akan tercipta banyak hasil karya dan selama kita masih hidup selama itu pula apa yang kita alami adalah masa kita sedang menulis di memori otak kita.

Namun  apakah kita mau menulis (melakukan?) kalimat yang saya temui di PNPMIM halaman 3. Melakukan di sini menurut saya adalah memindahkan apa yang kita tulis di otak ke media apa saja. Bisa berupa pulpen dan kertas, Komputer, Laptop ataupun Mesin ketik dengan menggerakkan jemari menguntai kata demi kata karena tidak akan tercipta sebuah tulisan bila kita tidak melakukannya.
Saya juga setuju menulis adalah solusi murah meriah bagi katarsis, menenangkan dan menyenangkan diri. Saya sudah mengalami sendiri. Di era zaman yang serba mahal seperti sekarang. Dengan gratis saya bisa mendapatkan kesenangan manakala apa yang menyiksa dalam hati tercurahkan melalui tulisan. Gak percaya? Coba lakukan. Apalagi bila tulisan kita dibaca orang lain. Di saat oranglain rela membayar mahal unutk menyenangkan hatinya. Ternyata dengan menulis saya bisa menyenangkan hati saya tanpa bayar. Mengurangi beban. Menjadikan hati lebih tenteram dari sebelum menulis. Menulis mencurahkan isi hati? Kenapa tidak? Buat saya sah-sah saja.

Lalu menulis membangun diri menguatkan pembelajaran (PNPMIM halaman 86). Saya sedang proses belajar menulis. Berarti saya juga belajar memenej waktu saya. Saya seorang ibu rumah tangga dan bekerja di sebuah kantor  dan hanya memiliki media kertas dan pulpen bila di rumah. Dengan begitu saya sangat memanfaatkan waktu luang saya di kantor. Agar saya tidak lupa saat di rumah saya akan menuliskan apa saja yang ingin saya tulis pada kertas dan pulpen dan di saat saya selesai mengerjakan tugas-tugas di Kantor barulah saya pindahkan di komputer. Nah loh, ribet? Tidak juga. Nyatanya saya nyaman-nyaman saja. Tugas kantor yang seabreg juga lancar. Alhamdulillah saya lebih bahagia.

Kemudian dengan membaca PNPMIM semakin memantapkan hati saya bahwa menulis itu mudah. Alhamdulillah Allah berkenan mempertemukan saya dengan pak EWA di GPM. Coba kalau saya tidak tertarik menulis bagaimana saya bisa mengenal beliau? Mustahil sepertinya walau memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Akhirnya beruntunglah mereka yang mendapat buku gratis dari pak EWA dan beruntunglah mereka yang mau menulis di otak dan melakukan dengan memindahkan menjadi tulisan untuk dibaca orang lain. Betapa bangganya bila tulisan kita dapat memberi manfaat bagi orang lain.
Marilah kita menulis. Mulailah dengan menulis di otak lalu pindahkan ke media apa saja jadilah hasil karya. Selamat menulis. Pasti terasa nikmatnya.

Cirebon, 09 Juli 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar