SURAT CINTA NAYLA
Lembayung
senja terlihat di ufuk barat. Menampilkan keindahan yang memukau. Semburat mega
mengintip di balik langit. Seorang gadis manis berambut panjang dengan tubuh
langsing, berhidung mancung, dan berwajah polos tanpa make up sedang asyik
menunggu bus di bawah pohon mahoni.
Pipinya memerah, lamunannya mengembara. Dadanya berdetak kuat, ada rasa
yang mengaduk hatinya. Tak sabar membaca
surat yang tadi siang diterimanya dari Roy teman sekelasnya.
Dengan
tergopoh, di jam istirahat Roy menemuinya. “Nay, ini ada titipan dari Bobby.”
“Apaan
Roy?” Nayla melihat ada amplop putih polos di tangan Roy.
“Gak
tahu Nay, tapi pesen Bobby kamu bacanya di rumah.”
“Wah, surat cinta Nay,” ledek Lidya. Roy cenderung
tanpa ekspresi.
Nayla menerima amplop itu. Mata teduhnya mengamati.
Tak ada nama pengirimnya. “Surat apakah ini. Apakah surat cinta,” gumamnya
dalam hati. Nayla tak sabar ingin membuka, tapi perasaan itu ditahannya. “Ah,
belum tentu Lid,” jawab Nayla dengan pipi memerah. Ada debar dalam hatinya.
Konsentrasi Nayla sungguh terbagi. Pelajaran Fisika
yang disampaikan Pak Hanafi hari ini tak disimaknya dengan sungguh-sungguh.
Amplop putih yang tadi diterima dari Roy penyebab pikirannya bercabang. Dua jam
terasa begitu lama. Selesai pelajaran Fisika. Nayla masih harus berjibaku
menunggu bus yang akan ditumpanginya untuk pulang. Sementara hari menjelang
magrib. Satu jam menunggu akhirnya bus itu datang juga.
Bus begitu penuh sesak. Nayla terpaksa berdiri di
depan pintu masuk bus. Hawa sejuk mulai terasa menyeruak ketika melewati
perkebunan karet yang begitu luas. Bus terseok-seok dengan muatan yang
berlebih. Jalanan yang aspalnya mengelupas dan tak rata membuat para penumpang
seperti berada dalam kapal yang terombang-ambing oleh ombak.
Pemandangan asri terbentang sesaat setelah turun
dari bus. Jalanan berumput yang di kanan kirinya sawah menghijau bagai hamparan
permadani. Namun terlihat agak remang di mata Nayla. Karena rumahnya yang
terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. Tak ada aliran listrik yang menjangkau
rumahnya. Rumah yang terbuat dari geribik bambu, sungguh minim dengan fasilitas
rumah mewah. Tak ada air bersih. Apa lagi televisi. Nayla lahir dari keluarga
sederhana. Ayahnya hanya petani. Ibunya, ibu rumah tangga biasa. Namun segala
keterbatasannya tak menghalanginya meraih prestasi. Nayla menjadi juara satu di
semester pertama padahal dia murid baru di SMP PGRI yang menerapkan masuk
siang. Sebelumnya dia murid di sekolah swasta yang terpaksa ditutup karena
tanah dan bangunannya disita oleh Bank.
Melewati sebuah jembatan kayu, sampailah Nayla di
rumahnya. Dengan rasa yang tergesa Nayla sungguh tak sabar ingin segera membaca
surat cinta yang belum pernah diterimanya selama ini. Keadaannya tak
memungkinkan. Rasa penasaran masih harus menguasai hatinya. “Sabar, Nay. Tunggu
sampai semuanya tidur,” ucapnya dalam hati.
Pukul 21.00 WIB, malam terasa begitu gigil. Dingin
menyergap tubuhnya. Di luar hening, hanya terdengar suara jangkrik dan desau
angin. Nayla pelan-pelan mengambil amplop putih yang tersimpan di dalam tasnya.
Nayla mulai merobek amplop putih polos. Nayla gemetar. Ini pertama kali dapat
surat dari seseorang. Benarkah surat cinta seperti kata Lidya? Amplop putih itu
sudah lemas tertidur di lantai tanah. Kini Nayla memegang amplop merah jambu.
Bau harum menyerbak ke mana-mana. Wanginya sangat nyaman untuk dihirup.
“Untuk Nayla inspirasiku.” Tertulis kalimat romantis
di amplop merah jambu itu. Hati Nayla bergetar.
Disobeknya amplop pink itu.
“Owh,” pekiknya dalam hati. Ternyata di dalamnya kertas warna pink juga dengan motif bunga. Bau harum
yang tadi diciumnya semakin kuat. Tangan Nayla tambah gemetar. Ada perasaan
takut. Bagaimana kalau tiba-tiba kakaknya terbangun memergokinya. Pasti akan
mengadukan kejadian itu ke ibunya atau kalau tidak akan mengejeknya membuat
hidung Nayla kembang kempis karena malu, tapi segera ditepisnya pikiran itu.
Nayla mulai membuka lipatan kertas merah jambu bermotif bunga dan membacanya.
Nayla,
sejak pertama melihatmu
Ada
yang aneh dihatiku
Senyummu
selalu hadir
Begitu
manisnya Nayla
Sampai
mengganggu tidurku
Nayla,
kau sempurna di mataku
Pintar,
cantik, manis, baik pula
Nayla,
bolehkah aku mengagumimu
Nayla,
aku tak bisa mengartikan rasa ini
Kucoba
mencari jawabannya
Kini
aku tahu.
Aku
sungguh jatuh cinta padamu Nayla
Ya, rasa yang pertama kali bagiku
Nayla,
kau inspirasiku
Aku
sungguh mencintaimu
Aku
harap kau pun sama
Nayla,
tolong balas suratku
Jangan
biarkan aku resah menunggu
I
Love U
Andre
Deg ... Deg ... Deg ... Jantung Nayla berdegup sangat
kencang. Wajahnya merah padam. “Ooh beginikah rasanya kalau membaca surat
cinta?” tanyanya dalam hati. “Andre, benarkah dia yang menulis surat ini?”
tanyanya lagi. Nayla seperti tak asing dengan tulisan itu, “Ooh siapakah?”
ucapnya dalam hati sembari mengingat-ingat. Andre itu sangat pendiam.
Mungkinkah dia bisa merangkai kata-kata begitu menyentuh hati Nayla. Kenapa
Nayla tak yakin itu dari Andre. Entahlah, begitu banyak pertanyaan yang tak
bisa dijawabnya membuat kepalanya pusing. Diilipatnya lagi surat itu dan
dimasukkan di amplopnya. Nayla berusaha menenangkan hatinya.
***
Suara riuh
terdengar menyakitkan telinga. Hari ini Pak Johan, guru yang mengajarkan
Bahasa Indonesia tak hadir, hanya memberikan catatan untuk ditulis Nayla di
papan tulis. Inilah saatnya Nayla mencari tahu, benarkah surat cinta itu dari Andre.
“Andre, aku pinjam catatannya ya, boleh nggak?”
Laki-laki pendiam itu menoleh. Dengan cuek dia
menjawab, “Boleh kok Nay, tapi tulisanku nggak rapi.”
“Nggak papa kok.” Nayla menerima buku Andre dengan
senyum mengembang. Sementara sikap Andre tak menunjukkan kecanggungan sama
sekali. Sikapnya itu membuat Nayla bertanya-tanya. “Begitukah reaksi orang yang
mencintainya?”
Tanya Nayla sedikit terjawab saat dia sandarkan
tubuhnya di bangku kayu. Tangannya mulai membuka lembar demi lembar buku tulis
catatan Andre. Matanya melotot, tulisan di buku tulis Andre sama sekali tak mirip dengan tulisan di surat
cinta itu. “Oh Tuhan, siapa sebenarnya pengirim surat cinta itu?” Nayla merasa
sedih. Hatinya luka. Dia merasa diperdaya. “Ataukah Andre meminta seseorang
menuliskan untuknya? entahlah.” Kepala Nayla terasa berat.
“Nay, ada apa?” suara Lidya mengaketkannya.
“Aku ...” Nayla tak meneruskan kata-katanya. Matanya
menatap ke arah Lidya. Seperti mencari keyakinan kalau Lidya tak akan
membocorkan rahasianya.
“Ada apa?”
“Aku kemarin menerima surat cinta Lid.”
“Tuch kan bener surat cinta.”
“Lydia, jangan keras-keras dong ngomongnya. Aku kan
malu.”
“Sorry, sorry.
Hehehe. Dari siapa?”
“Dari Andre, tapi kok tulisannya gak sama ya?”
“Tulisan siapa?”
“Tulisan Andre dan tulisan di surat cinta itu. Iiih,
kamu nich.”
“Oh ya? kamu kok tahu?”
“Lidya, lama-lama kamu buat aku kesel dech. Kan tadi
aku pinjem buku Andre.”
“Ok, ok.
Sorry, sorry, hehehe. Habis mukamu itu kelihatan merah. Lucu.”
“Yey, udah ah. Tuch udah bel. Pulang yuk.” Sungut
Nayla.
***
Malam meremang, menambah keheningan yang menghentak
dada. Nayla tak dapat memejamkan matanya, dengan penerangan lampu sentir.
Dibaca lagi surat cinta itu. Bayangan beberapa orang berkelebat di rongga
kepalanya, “Aku harus membalas surat itu. Dengan membalas mungkin saja aku
tahu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucapnya dalam hati sembari mengambil buku
tulis dan merobek di bagian tengah buku. Nayla sendiri belum tahu bagaimana
rasanya jatuh cinta. Dituangkannya perasaannya itu dalam surat balasannya.
Remang-remang cahaya lampu sentir membuat Nayla harus menulis begitu dekat.
Andre,
maaf ya aku balas suratnya baru sekarang
Terima
kasih untuk surat cintamu
Terima
kasih telah mengagumiku
Terima
kasih juga telah mencintaiku
Tapi
maaf aku hanya bisa menganggapmu teman biasa
Aku
belum tahu bagaimana rasanya jatuh cinta
Aku
tak ingin main-main dalam cinta
Untuk
saat ini aku hanya ingin fokus belajar
Karena
menurutku
Buat
apa beli Lemari
Kalau
tidak diisi kain
Buat
apa memadu kasih
Kalau
tidak menjadi kawin
Aku
belum siap pacaran
Maaf
ya Andre ...
Nayla
Nayla usianya masih muda, tapi begitu dewasanya dia,
mungkin keadaan orang tuanya yang membuat Nayla begitu. Ibarat buah matang sebelum
waktunya. Dia tak menikmati masa remajanya selayaknya anak lain seusianya.
Sebelum masuk kelas. Nayla serahkan surat itu ke
Roy. Nayla berharap Andre akan mengerti. Andre tidak akan marah dengan surat
balasannya. Andre juga tidak akan tersinggung. Ternyata saat jam istirahat
justru Nayla terkaget karena kata-kata Bobby.
“Nay, buat apa memadu kasih kalau tidak menjadi
kawin ya?”
“Hahahaha.” Belum hilang rasa kaget Nayla, tiba-tiba
terdengar Rahmat tertawa terbahak-bahak. Nayla mengalihkan pandangannya ke
Andre, tapi Andre hanya menundukkan kepalanya.
“Hmm ... Bobby tahu dari mana dia. Rahmat kenapa
tadi ketawa seperti itu?” Nayla kesal tapi tak menegur mereka. Dalam hati Nayla
bergumam. “Jangan-jangan mereka baca
surat balasan Nayla rame-rame. Untung gak diterima cinta Andre. Kalau Nayla
terima bisa-bisa hanya pura-pura dan mereka akan mempermalukannya.” Nayla sibuk
dengan pikirannya sendiri. Nayla berlalu meninggalkan mereka. Dilihatnya Lidya
sedang duduk di depan kelas.
“Lid, aku curiga dech. Bobby, Rahmat sama Andre itu
ngerjain aku.”
“Kamu kok menyimpulkan begitu Nay.”
“Habis tadi Bobby tahu aku nulis apa di surat
balasanku. Terus Rahmat ketawa ngakak lagi. Menyebalkan Lid.”
“Masa’ Nay?”
“Iya Lid. Aku juga kaget.”
“Nay aku ingin menyampaikan sesuatu sama kamu.”
Sebuah suara mengagetkan Nayla.
“Ada apa Ris?”
“Rahmat itu suka sama kamu.”
“Maksudnya?”
“Rahmat itu Playboy
Nay. Aku pernah pacaran sama dia. Mana mau dia dikalahkan sama cowo lain di
kelas ini. Aku dulu diputusin sama dia gara-gara dia suka sama Silvia, eh
ternyata Silvia juga diputusin. Gak tahu Rahmat itu maunya apa?, tapi Rahmat
itu suka sama kamu Nay.”
“Suka, masa’ sich?”
“Iya Nay, dia suka sama kamu karena kamu pintar tapi
dia gengsi aja ngakuin.” Nayla kaget. Sama sekali dia tak menduga Risa
menyampaikan itu ke dia apalagi ada Lidya, yang jelas-jelas menerima surat
cinta dari Rahmat kan Lidya.
“Tapi Ris, yang menerima surat cinta dari Rahmat itu
Lidya.”
“Iya. Aku tahu kok.”
“Ha ... apa? tahu dari mana?”
“Aku dengar gak sengaja saat Rahmat ngobrol Nay.”
“Apa ...?” Mata Nayla terbelalak, dia penasaran
benarkah Risa tahu sesuatu.
“Rahmat bilang ke Bobby dan Andre. Dia suka sama
kamu karena kamu pintar Nay. Tapi dia juga suka sama Lidya karena Lidya itu
cantik.”
“Tapi aku gak suka tuch sama Rahmat.” Lidya yang
dari tadi diam langsung bersuara dan memandang ke arah Nayla.
“Iya jangan Lid. Biar tau rasa dia.” Risa terlihat
kesal.
Rahmat sungguh membuat Nayla kesal. Kenapa harus memakai
nama Andre untuk mengirim surat kepadanya. Kenapa juga Andre mau saja. Nayla
juga tak suka Rahmat, tapi Nayla penasaran. Tidak bisa didiamkan. Dia harus
cari tahu apa benar yang dikatakan Risa. Lalu siapa sebenarnya yang menulis
surat cinta untuknya. Batinnya bergolak. Dengan langkah tergesa didekatinya
kerumunan Rahmat dan gengnya. Di sana ada Bobby, Roy, dan juga Andre.
“Bob, aku mau tanya?”
“Soal apa Nay?”
“Tadi kenapa kamu meledekku dengan balasan suratku
ke Andre. Sebenarnya siapa yang mengirim surat itu?”
Bobby membisu, justru tawa Rahmat yang terdengar, “Hahahaha,
Nayla manis, gak usah marah gitu dong.”
“Rahmat, kamu yang menulis surat itu ya?”
“Iya, kenapa?”
“Jadi, apa yang dikatakan Risa itu benar?”
“Risa? Memang Risa bilang apa?”
“Kamu yang menulis surat cinta untuk aku dan Lidya?”
“Iya, lalu kenapa?”
“Rahmat, kamu cuma mau mempermainkan aku kan? Andre,
kenapa kamu juga mendukung Rahmat? Kenapa kamu mau nama kamu dipakai? Bobby,
kamu juga .. Roy kamu .. Kalian semua jahat. Kalian jahat. Kalian mempermainkan
aku.” Nayla berlari dengan pipi basah. Rasa perih merajai hatinya. Roy berlari
mengejarnya.
“Nay, Nay, tunggu ..” Nayla tak mempedulikan. Dia
terus berlari menuju kamar mandi sekolah.
“Ya Tuhan, ini surat cinta pertamaku. Mereka tega
membuat hatiku sakit,” gumamnya lirih. Air matanya terus menetes sederas air
kran kamar mandi. Membasahi wajahnya yang polos. Hati Nayla terasa hancur
berkeping. Nayla merasa mereka semua bersekongkol menipunya.
Cirebon,
04 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar