Kamis, 18 Oktober 2012

RINDU

RINDU


senandung rindu mengetuk dinding hati
menjerit lengking
merobek pekat malam
penuhi ruang ilusi

kau sosok berupa bayang
akankah menjelma nyata
puaskan dahaga rindu

seperti malam menjemput rembulan
jemputlah aku dalam dekapmu

Cirebon, 5 Mei 2012

TAMAN

TAMAN
di taman tersaji bunga warna warni
wangi harum, tak berbau
bahkan ada yang tercium bau bangkai
hilir mudik kumbang datang
sekedar menghisap madu
tinggalkan bunga terkulai layu

sementara kau kumbang sejati
bantu penyerbukan putik sari
tumbuh tunas-tunas mewangi
berseri menatap matahari

ah, kumbang sejati
kemesraan itu hilang kini
kau telah pergi
karena manusia angkuh hati
memetik tunas melati
berupa kuncup baru semi
tiada berarti dan akhirnya mati

kumbang sejati pergi dan tunas melati mati
bukan hanya satu kali
terulang lagi dan terulang lagi
menggores luka semakin nyeri
hai manusia angkuh hati
hentikan!
sebelum taman pucat pasi
tatap bunga-bunga tak bersemi
lalui hari mencumbu sepi


Cirebon, 07 Juni 2012

RINDU

RINDU
kau hadir lewat kisi-kisi hati
memantulkan cahaya
silaukan pandangan mata

kau tinggalkan jejak berlumut
di batu cadas inginku
yang tumbuh bersemi menghijau

kau meliuk menjauh tak tersentuh
terbang bersama angin
di ruang kosong harapku
bersisa cucuran air mata
rindu!

Cirebon, 01 Agustus 2012

TAK ‘KAN SEPERTI MEREKA


ada rasa yang sulit kueja
di lingkaran setan itu kini aku berada
berisi manusia yang menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan kenikmatan dunia

pernah kugaungkan berkali-kali
bahwa mereka menipu diri
namun apa yang terjadi
aku tersisih di pojok ruangan ini

aku tak berhenti
karena rasa itu selalu mengaduk hati
menyisakan gemerotak dalam dada
menghentak, memaksa, menyiksa

aku tak kuasa
semua usahaku percuma
hanya mampu berupaya
untuk diriku semata
tak ‘kan seperti mereka

Cirebon,  10  Juni  2012




Rabu, 17 Oktober 2012

MOTIVASI MENULIS

MOTIVASI MENULIS (1)

Saat saya ditanya seorang teman, apa motivasimu menulis?. Jawab saya sederhana. Dengan menulis, saya merasa bebas mengekspresikan perasaan saya. Menulis adalah kepuasan batin, dan merasa lebih bahagia, saat apa yang saya rasa, saya lihat, saya amati dapat saya tuliskan dan dibaca oleh orang lain, dengan harapan ada hikmah yang bermanfaat.

Seiring berjalannya waktu, saya yang lebih gemar menulis cerpen, menyadari bahwa bila saya menulis sesuai dengan kejadian sesungguhnya, jelas mengundang begitu banyak reaksi. Kadang kita menulis berdasarkan inspirasi orang yang kita lihat, tidak sepenuhnya tentang dia. Namun ciri-ciri fisik dapat membuat orang lain berfikiran bahwa Saya sedang mengumbar cerita tentang teman saya.

Dari hal inilah saya mulai belajar. Tulisan yang terinspirasi dari orang lain. Sebaiknya tidak sama persis dengan kejadian sesungguhnya. Namun lebih baik tambahkan cerita-cerita fiktif dalam tulisan itu. Dulu, saya sangat sulit melakukannya, tapi dengan seringnya saya menulis Cerpen, kini Alhamdulillah dengan sendirinya saya mampu melakukannya.


MOTIVASI MENULIS (2)

Seperti yang sudah saya tulis di MOTIVASI MENULIS sebelumnya. Menulis bagi saya adalah kepuasan batin. Nah, karena itu, saat saya membaca komentar pedas dari seseorang yang lebih berpengalaman dari saya. Biasanya saya merenung sejenak. Setelah itu saya tetap menulis dan mencoba memperbaiki tulisan saya. Dulu saat pertama menulis cerpen tulisan saya sangat buruk. Terlalu banyak titik-titik dan belum mengerti tentang penggunaan tanda baca. Bukan berarti sampai sekarang saya sudah paham. Belum!

Sampai sekarang, saya masih belajar dengan cara bertanya kepada teman yang sering memberi respon pada saat tulisan diposting. Juga bergabunglah dengan grup-grup yang membahas tentang tata tulis yang benar, selain itu yang harus dilakukan adalah terus menulisnya dan memposting agar karya kita dibaca orang lain. Di samping itu saya juga sering mencari kata-kata yang asing menurut saya di Kamus Besar Bahasa Indonesia On Line.


Dalam menulis diperlukan keberanian. Keberanian untuk dikritik orang. Keberanian untuk dijauhi orang lain, bahkan keberanian untuk membangkitkan semangat dari dalam diri kita yang down karena orang lain.

Beruntunglah bila kita bisa bangkit dari kritik itu dan belajar memperbaiki karya kita, karena hanya kita sendiri yang mampu melalukannya. Bila kita menyerah berarti kita kalah melawan diri kita sendiri. Sedikit hal yang saya bagi dari pengalaman pribadi. Semoga bermanfaat. Salam menulis!

Kamis, 11 Oktober 2012

MENCARI



lama kau menghilang, puisi

tak lagi merenda diksi

di relung-relung hati






aku mencarimu puisi


di setiap gang dan rumah kata

namun tak kau biarkan



aku menyentuhmu

dengan rasa rinduku


puisi, dulu kau selalu hadir

bersama hembusan angin

di helai napasku



puisi, aku menantimu

dengan sepenuh hati


di sini, basahi dahaga sepi




Cirebon, 11 Oktober 2012

KEHILANGAN


Ini puisi untukmu sahabatku

wanita itu berlinang air mata
memunguti sisa kenangan
pada figura kaca
membelai dengan tangan lemah

ya, kenangan yang telah terlindas
hilang terbawa kesewenangan
saat ketidakadilan mengusirmu
tinggalkan pilu di relungnya

Cirebon,  10 Juni 2012


Selasa, 09 Oktober 2012

PERTEMUAN TERAKHIR

PERTEMUAN TERAKHIR

bintang gemintang bertaburan di langit benderang
bawa lamunan senyum menawan
menerbangkan angan ke masa silam
menuntun susuri ingatan

masih terasa, kala kaurengkuh aku
dalam dekap hangatmu
kaugantung asa di pundakku
buatku lari mengejar waktu
yang tak pernah mau menunggu

ibu!
wajah keriputmu penuh gurat kesedihan
kisahkan cerita kepiluan tentang beban kehidupan

malam itu kita bercengkrama
di antara remang cahaya
tersirat binar bahagia
dari matamu yang membasah
kita tertawa hahahaha
luapkan rasa, lama tak bersua

tak ternyana malam itu
ya, malam itu
terakhir kita bertemu
kau telah pergi menjauh
sebelum waktu ijinkan kubersimpuh
membasuh kedua kakimu

bersebab takdir pisahkan kita 
berjarak jutaan depa
tinggalkan rasa luka
karena saat kutiba
hanya gundukan tanah merah
dan batu nisanmu yang menyapa
tanpa katakata!

Cirebon, 14 Mei 2012

Di luar malam bertabur bintang bermandikan cahaya. Aku membisu di kamar remang berteman sinar temaram. Anganku melayang mengingat kejadian yang menyakitkan di siang itu. Enam tahun yang lalu, saat aku menerima sebuah telepon. Hawa dingin seketika merasuki tubuhku, gemetar. Rasa tak percaya masih mengurungku. Ya Allah, mimpi beberapa minggu yang lalu kini benar terjadi. 

“Tidak! ... Mamak belum meninggal. Tidak!, bagaimana nasib adik-adikku kalau Mamak meninggal” teriakku dalam mimpi di suatu malam. Aku masih sangat ingat kata-kata itu dan tak menyangka apa yang kurasa di malam itu, kini menjelma nyata. Siang yang serasa gelap gulita saat terdengat suara di ujung telepon.
“Halo ... Assalamu’alaikum” jawabku.
“Waalaikumsalam. Ini sama abang dek” suara kakak iparku terdengar “Mamak .... Mamak udah gak ada dek.” Katanya terbata-bata.
“Udah gak ada, maksudnya gimana bang?” aku tercekat, beberapa hari kemarin kakakku telepon mengabarkan Mamak sakit. Aku sudah mempersiapkan akan pulang ke Sumatra besok lusa. Tiket pesawat sudah dipesan.

“Iya dek. Mamak udah gak ada.”
“Gak ada maksudnya gimana Bang?” aku masih mempertanyakan berharap mendapat jawaban yang berbeda dengan apa yang kupikirkan.
“Mamak ...“ suara Bang Hargo terdengar parau, dia berhenti sesaat. “Adek jangan panik ya. Mamak sejam yang lalu meninggal.”
“Apa Bang? meninggal?” Seketika aku tak bisa menguasai diriku. Aku langsung histeris.
“Abang bohong kan. Abang bohong?” Aku tambah histeris.
“Iya dek benar. Ini abang sama Aldi.” Kata Bang Hargo menyebut nama adikku. Sesaat hening lalu ...
“Iya kak ... Mamak udah meninggal” terdengar suara yang sangat kukenal di ujung telepon. Suaranya terbata-bata.
“Jadi bener dek ... bener Mamak udah meninggal? Innalillahi Wa inna ilaihi rojiun” kataku pilu.
“I...i..iya kak bener. Kakak tenang ya” jawab Aldi sambil menangis.

Lap ... jiwaku serasa terbang. Aku langsung menangis. Telepon tak lagi kuhiraukan. Air mata mengucur deras di pipiku. Tubuhku lemas tak bertenaga. Beberapa teman memapahku yang terus menangis. Ada seorang teman yang menelepon suamiku. Tak lama kemudian suamiku datang. Di tengah perasaan yang hancur luluh. Aku harus segera merubah jadwal kepulanganku ke Sumatra. Seorang teman tanpa kuminta bersedia meminjamkan mobilnya dan mengantar kami ke tempat pembelian tiket pesawat. 

Sepanjang jalan aku tak bisa berkata apa-apa. Aku serasa gagu. Bulir-bulir bening terus menetes di pipiku. Tenggorokanku terasa kering. Lidahku kelu. 
“Nay... sabar ya!” ucap Yulia temanku yang setia mendampingi. Aku hanya mengangguk. Suamiku juga tak banyak bicara hanya diam. Kami membisu.

Sesampai di tempat pembelian tiket pesawat. Suamiku yang mengurus semuanya walau baru tadi pagi kami beli tetap saja ada tambahan biaya yang harus kami keluarkan untuk perubahan tanggal keberangkatan. Selesai mengurus semuanya mereka mengantarkan kami pulang ke rumahku.

Di teras rumah. Mbak Yum dan Yoga anakku sudah menyambut kami. “Sayang” Aku langsung menggendong anakku. Hatiku tambah berdarah. Yoga yang belum genap dua tahun, dia belum pernah bertemu dengan Neneknya. Kini Neneknya sudah meninggal.
“Yoga, Nenek meninggal sayang” ucapku di antara tangisan Yoga yang melihatku menangis pun ikut menangis. Hatiku semakin perih.

“Mak... maafkan Nayla ya” gumamku dalam hati. Ada rasa menyesal menghimpitku. Kalau saja aku segera pulang saat mendapat telepon mengabarkan Mamak sakit pasti aku masih bisa memandang wajah Mamak untuk terakhir kalinya. Penyesalan itu tak ada gunanya lagi kini. Aku harus segera mempersiapkan baju dan perlengkapan lainnya untuk kepulanganku besok. Sungguh aku merasa tak mampu melakukannya. Namun siapa lagi yang akan mempersiapkan. Tangisku masih setia menemaniku, terlintas wajah mamak saat terakhir aku berada di Sumatra. Saat itu aku pulang setelah menikah. Semalaman Mamak cerita. Begitu terlihat penderitaan di wajah Mamak.

“Nduk... Mamak pengennya masa tua Mamak ikut sama kamu ya. Bolehkan?” 
“Boleh dong Mak. Aku pasti senang sekali kalau hal itu benar terjadi, Mak” Jawabku dengan binar bahagia.
“Iya Nduk, tapi gak sekarang. Nanti kalau adikmu sudah lulus sekolahnya”
“Iya Mak. Nayla ngerti. Nayla berharap semuanya akan terwujud ya Mak” kataku sembari tersenyum.
“Iya Nduk. Mamak gak mungkin ikut sama kakakmu. Kasihan anaknya banyak” Wajah Mamak terlihat sedih.
“Iya Mak, Nayla gak sabar menunggu waktu itu datang. Udah jangan sedih ya” Jawabku lagi dengan senyuman, mengalihkan kesedihan Mamak.
“Iya Nduk,” tapi ngomong-ngomong pantas saja ya kamu bisa jatuh cinta sama suamimu. Wong ganteng gitu hehe” Ledek Mamak membuatku tersipu.
“Mamak. Aku sayang sama suamiku. Ya, gimana udah suka dari sejak pertama ngelihat” jawabku dengan pipi menjambu.
“Kamu seleranya tinggi ya Nduk” Mamak lagi-lagi meledekku.
“Mamak kok ngomong gitu” jawabku tambah tersipu.
“Iya Nduk. Bener kan?” Kata Mamak dengan tatapan menggodaku.
“Hehehe Mamak.” Jawabku sekenanya.
“Gak nyangka ya Nduk. Kamu sekarang sudah menikah.”
“Iya Mak, Gak terasa ya. Waktu itu aku pulang masih sendiri. Sekarang bawa suami ya Mak”
“Iya Nduk. Nanti pulang lagi pasti bawa anak.”
“Amin, semoga ya Mak.”
Mamak tersenyum. Aku merasa bahagia malam itu. Ya, semalaman kami bercerita. Aku sengaja tidur sekamar dengan Mamakku dan Mas Restu suamiku mengijinkan.

Aku tak pernah menyangka obrolan malam itu adalah obrolan penuh kemesraan yang terakhir antara aku dan mamak karena pagi-pagi sekali, aku sudah harus bersiap-siap pulang ke Jawa dan kini hanya kabarnya yang kudengar.“Nanti pulang lagi pasti bawa anak” Kalimat ini, kini sungguh serasa selaksa sembilu menusuk hatiku. Mamak benar aku akan pulang membawa anakku Yoga, tapi .. Ah! aku tak mampu menerusakan kata-kataku dalam hati. Airmata membanjiri pipiku lagi. 

Menjelang sore aku mulai tenang. Aku harus mengirim doa untuk Mamak karena saat ini hanya itu yang bisa menghubungkan aku dan Mamak. Setelah sholat asar aku berdoa dalam hati, “Ya Allah ampunilah dosa-dosa ibuku Ya Allah” pintaku dengan linangan air mata. “Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa. “Allahummaghfir laha, warhamha, wa ‘aafihi, wa’fu ‘anha. wa akrim nuzulaha, wa wassi’ mudkhalaha. waghsilha bilmaa`i wats tsalji wal baradi, wa naqqihi minal khathaayaa kamaa naqqaitats tsaubal abyadha minad danasi. wa abdilha daaran khairan min daarihi, wa ahlan khairan min ahlihi, wa zaujan khairan min zaujihi. wa adkhilhul jannata, wa a’idzha min ‘adzaabil qabri, au min ‘adzaabin naar. Amin Ya Robbal Alamin.

Pukul 10.30 malam sebuah mobil travel menjemputku beserta suami dan anakku. Hatiku seperti tersilet-silet saat berada di mobil itu. Hampa, walaupun aku pulang tak kan kulihat lagi wajah Mamak. Aku sudah mengijinkan mamak dikebumikan sebelum aku datang. Tidak mungkin menungguku. Terlalu lama, kasihan Mamak. Sesampai di Bandara sama hambarnya. Aku tak menikmati sama sekali perjalanan itu. 

Justru perasaanku tambah hancur saat pesawat akan lepas landas dan Yoga terus menangis. Yoga seperti tahu kalau aku sedang bersedih. 45 menit kemudian pesawat mendarat di Bandara Polonia. Dari bandara kami masih harus menempuh 4 jam lagi perjalanan. Kali ini aku tidak terlalu berhemat-hemat ria. Yang terpikirkan aku harus segera sampai. Kami menyewa taxi menuju ke pangkalan Paradep taxi. Travel murah meriah menuju Siantar. Perjalanan terasa lama. Hawa sejuk yang hadir di sepanjang jalan dari perkebunan karet yang terbentang tak mampu mendinginkan hatiku yang panas karena nyeri dan perih.

Sesampai di rumah Mamak, suara tangisan yang menyambutku. Semua saudara berkumpul. Jelas aku tak akan merasakan lagi pelukan hangat Mamak. Merasakan nikmatnya masakan Mamak. Aku lemas. Tak sabar ingin ziarah ke makam Mamak. Hanya tempat itu kini yang bisa aku lihat. Aku merasa belum membahagiakan Mamak. Aku merasa menyesal tak melihat Mamak saat sakaratul maut. Tak bisa membisikkan satu katapun saat itu. Airmataku berlinang lagi “Ya Allah. Tempatkanlah Mamak di tempatMu yang terindah” Amiin. Kuhapus air mataku sembari melangkah mendekati makam Mamak. Hanya makam tanpa pelukan hangat dan senyuman, apalagi kata-kata.

***
“Ma.. Ma, kenapa kok nangis?” tanya Yoga.
Aku terhenyak “Oh ... gak, gak papa sayang, ini Mama nulis puisi” jawabku sembari menghapus airmata yang menetes dan menunjukan tulisanku di atas buku tulis. Aku berbohong kalau baru saja kenangan tentang mamak hadir.
“Kok mata Mama merah. Bener nangis ya. Siapa yang jahat sama Mama?” tanyanya lagi.
“Gak ada sayang, mata Mama sakit kelilipan kayaknya. Sini anak mama yang ganteng ini Mama peluk. Ada apa kok bangun bobonya?” kataku sembari merengkuhnya.
“Iya, Ma. Yoga mimpi buruk. Temenin Yoga yuuk ... usap-usap punggungku” rengeknya manja, begitulah hal rutin yang harus kulakukan sebelum dia tertidur. Mengusap punggungnya.
“Iya sayang, ayuk sini” ajakku menuju kamarnya. Anakku adalah segalanya bagiku. Begitupun dengan Mamak, apa saja dilakukan Mamak untuk kebahagiaan kami. Tak kan terlupa selamanya. Kasih sayang seorang ibu tak kan tergantikan dengan apapun juga.
Tak bisa dihargai dengan berapapun banyaknya materi. Kasih sayangnya tetap abadi. Bahkan seorang ibu rela mengurai tangisnya menjadi serpihan-serpihan kebahagiaan anak-anaknya. Ah! Beruntunglah mereka yang masih memiliki orangtua. Jaga dan sayangilah selama masih bisa. Berbaktilah sebelum menyesal selamanya.

Senin, 08 Oktober 2012

AKU LELAH HARUS BERBOHONG


Pagi yang cerah, panas menyengat pori-pori. Seperti biasa kuayunkan langkah menyusuri kompleks perumahan yang penuh sesak itu. Langkahku agak tergesa karena aku tak ingin hari ini terlambat masuk kantor. Sesampai di kantor, segudang aktifitas sudah menantiku. Di sela kesibukan itu, pikiranku tak karuan. Aku masih teringat pertemuanku kemarin lusa, di senja berpayung keemasan nan indah. Dia, wanita yang kukenal melalui jejaring sosial, wanita dengan aktifitasnya yang menarik perhatianku, dia istri dan ibu dari anak-anaknya. 

Aku iri padanya. Iri, karena begitu besar dukungan suaminya terhadapnya. Bahkan suaminya rela mengantar ke mana pun istrinya pergi untuk memperluas jaringan kepenulisannya. Ya, iri karena begitu pandainya dia merangkai kata indah, dan aku iri dengan kata-katanya ini :
“Sebesar apa pun masalah selalu ada jalan keluar karena Tuhan menguji dengan akal kita, sembunyi di balik senyum bukan ketabahan tapi penghancuran diri, dusta itu akan selalu mendewasakan dosa. Bukan keraguan namanya jika sudah hilang kepercayaan pada diri. So jadilah diri seutuhnya bukan karena orang lain karena hidup bukan sembarang hidup tapi hidup untuk mendapatkan nilai terbaik.”

Aku merenungkan kata-kata itu, menghela napas berkali-kali. Membuang perasaan sedih yang seakan menumpuk di dada. Aku, menyadari sudah berapa banyak kebohongan yang aku lakukan hanya karena ketakutanku menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Aku juga lelah harus berbohong, tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Namun, akibat kebohongan itu pula banyak hal yang telah kudapat, lebam membiru di sekujur tubuhku, dan ocehan kemarahan yang selalu kudengar. Kebohongan yang kulakukan itu juga karena bila aku jujur, hal yang sama juga yang akan aku dapat.

Aku takut, aku kehilangan kepercayaan diriku, aku juga selalu meragu. Sejujurnya itulah yang kualami. Hidupku adalah semu, bahagiaku juga semu. Senyumku juga semu. Aku harus berubah. Berkali kata itu kuungkapkan dalam hati, tapi sampai detik ini aku masih seperti itu. Takut mengatakan yang sesungguhnya.

***
Pipiku basah, ini kali pertama kubaca curahan hati Amelia, wanita dengan wajah sayu, yang berkunjung ke rumahku. Tepat sehari setelah kami bertemu secara langsung. Dia begitu tertekan, aku berkali-kali terhenyak, mendengar ucapannya yang keluar begitu saja dari bibir pucatnya.

“Maaf, Mbak, saya gak bisa sering-sering ke luar rumah, sekarang juga mohon maaf ya, saya datangnya terlambat. Saya janji jam 10, eh nyampe sini jam segini,” ucapnya sembari merapikan rambutnya yang tergerai berantakan karena angin saat dia dibonceng pengemudi ojek menuju rumahku.

“Gak papa dech, tapi tadi sempat kecewa juga. Kok janji jam 10 gak datang-datang hehe.”

“Iya, Mbak. Sekali lagi mohon maaf ya.”

“Iya, gak papa.”

“Sebenarnya, saya ini juga mencuri-curi waktu, Mbak. Saya ...,” ucapnya terbata-bata.

Aku seperti menangkap kalau dia menyembunyikan sesuatu.

“Kenapa harus mencuri-curi waktu begitu?”

“Iya Mbak. Saya takut sama suami saya. Ini juga saya gak bilang kalau mau ketemu Mbak. Suami saya pasti marah kalau saya cerita ketemu dengan orang-orang dari dunia maya.”

“Loh kok bisa begitu?”

“Iya, Mbak. Itu karena saya pernah ketahuan menulis sesuatu. Seperi curahan hati saya, padahal tulisan saya itu jujur Mbak. Dalam tulisan saya, hanya ungkapan penyesalan saya kalau di dunia maya banyak yang merayu dan mengajak saya bertemu, sementara di nyata hidup saya, saya selalu mendapatkan kekerasan dari suami saya.” Amelia terdiam sejenak.

“Terus ..?” tanyaku penasaran.

“Dalam tulisan saya itu, saya justru ungkapkan penyataan cinta dan sayang saya ke suami. Perasaan menyesal, dan perasaan agar selalu dilindungi Allah SWT. Namun sejak hari itu, saya selalu dicurigai Mbak. Saya dilarang memegang HP bila di rumah. Dilarang menulis apa pun. Bukan itu saja, saya akan dipukuli bila saya ketahuan menulis.”

Aku terdiam mendengarnya, “Begitu pandainya dia menyimpan deritanya itu,” gumamku dalam hati. Selama ini aku tak pernah menyangka, Amelia mempunyai masalah seberat itu.”

“Lalu?”

“Ya, sejak saat itu juga, Mbak. Saya selalu berbohong,” ucapnya lirih.

“Berbohong?”

“Iya, berbohong kalau di belakang suami, saya masih menulis, dan masih berkomunikasi dengan orang-orang dunia maya, tapi hanya mengenai tulisan. Selama ini saya tidak pernah ingin selingkuh, saya selalu mengalah demi ketenteraman rumah tangga kami. Saya tidak pernah berani menulis satu kata pun di depan suami. Saya juga tak berani memegang Hp saya bila di depan suami. Namun, saya ...,” Amelia terdiam. Air matanya mulai menetes. Dia melanjutkan kata-katanya.

“Saya, selalu menerima walau sering dipukul suami, Mbak. Saya selalu diam, hanya saya sedih, semua ini seperti bom waktu. Anak-anak saya melihat adegan kekerasan itu, kebahagian yang saya beri ke anak-anak adalah kebahagiaan semu. Saya juga selalu berbohong karena takut.”

“Kenapa tidak berusaha jujur?”

“Ya, karena kalau jujur pasti akan ribut setiap hari Mbak. Saya sempat benar-benar menuruti kata-kata suami, tidak menulis, tidak berselancar di jejaring sosial, hati saya tambah sakit Mbak. Menulis itu bagian dari hidup saya.”

Aku kehabisan kata-kata. Aku tak ingin menyalahkan sepenuhnya, berbohong memang salah. Namun bagaimana bila aku yang menjadi dia? Sebagai manusia kadang kita selalu melihat kesalahan dari orang lain, tapi apakah kita pernah mencari alasan mengapa dia melakukan kesalahan itu.

Lagu Agnes Monica mengalun dari Hpnya. Begitu syahdu dan menyayat hati. Rindunya Eross Djarot begitu nyaring terdengar dengan lirik yang apik. Namun mengapa membuat wajah Amelia berubah panik.

“Telepon dari suami saya Mbak, saya harus jawab apa ya?” Amelia begitu ketakutan. “Saya harus pulang Mbak. Harus,” ucapnya dengan wajah stress.

“Udah tenang saja dulu.”

“Saya harus pulang Mbak. Kalau tidak wah, saya gak tahu apa yang terjadi Mbak.”

“Ya, sudah nanti diantar ya.”

Amelia terlihat tambah panik. Dia lari keluar sembari menelepon balik ke suaminya.

“Assalamu’alaikum .. “ sejenak kemudian “Iya, Pa. Mama masih di Jalan.”

Amelia terdiam. Wajahnya pucat. Ketakutan terpancar dari wajahnya.

“Mbak, saya bebohong lagi,” ucapnya sendu.

“Ya, kalau itu menurutmu baik,” ucapku gamang.

Jembatan Tol itu seperti raksasa di kegelapan malam. Amelia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedang aku sibuk membalas komentar teman-teman di Fbku.

“Mbak, sebaiknya aku turun di mana ya?”

“Ya, menurutmu sendiri sebaiknya di mana?”

“Di depan gang saja dech. Kalau di depan rumah, suamiku pasti tanya, itu mobil siapa? Bagaimana aku bisa ketemu Mbak? Kan aku izinnya kuliah.”

“Ya, apa tidak seharusnya jujur saja?”

“Saya masih belum berani Mbak, tapi kalau saya pulang selarut ini, saya pasti tetap akan ditanya, bagaimana ya Mbak baiknya?”

“Amelia, bahkan untuk memutuskan itu saja, kamu panik seperti itu?” gumamku dalam hati.

“Bagaimana baiknya ya Pa?” Tanyaku ke suamiku yang mengemudikan mobil dinasnya.

“Ya, kalau memang kuliahnya biasanya pulang jam berapa?” tanya Dodi suamiku.

“Biasanya Jam 8 Pak. Paling malam jam 9, tapi tadi dosennya tidak datang, jadi saya bisa pulang lebih cepat, dan saya berkunjung ke rumah Mbak Resti. Tadinya saya memutuskan untuk pulang setelah magrib, jadi saya tidak harus menjelaskan apa-apa ke suami saya. Sekarang jam berapa ya Mbak?”

“Sekarang sudah Jam 21.49 Amelia.”

“Wah, sudah selarut itu ya Mbak. Sebaiknya sampai rumah saja Mbak. Kalau saya turun di depan gang, Saya takut suami malah tambah curiga.”

“Ya, okelah, akan kami antarkan.”

“Tapi Mbak. Kalau suami tanya bagaimana ya Mbak. Di mana saya bertemu Mbak?”

“Ya, jawab saja bertemu di Kampus.”

“Iya, iya, benar Mbak. Begitu saja jawabnya ya Mbak.”

Di sebuah rumah sederhana bercat abu-abu dan pagar berwarna hitam, dengan tatanan pot bunga di depannya, tiba-tiba Amelia mengagetkan kami.

“Di sini Mbak. Ini rumah saya, tapi kok gelap ya?”

Rumah itu seperti tak ada penghuninya. Lampu di teras rumah mati. Amelia turun dari mobil. Dia memegang pintu pagar.

“Wah, digembok,” ucapnya.

Beberapa kali dia memencet nomor telepon di Hpnya, tapi tak ada sahutan. Sampai akhirnya dia seperti berbicara dengan seseorang lewat hpnya.

“Oh, gak dikunci Mbak.”

“Assalamu’alaikum .. Pa, pa ...”

Dari dalam lampu teras langsung dinyalakan. Pintu itu tidak segera terbuka, lalu keluar sesosok laki-laki, begitu sopan. Aku diajak Amelia masuk ke ruang tamu. Amelia begitu kikuk.

“Ini teman mama, Pa, Mbak Resti.” Ucap Amelia mengenalkanku ke suaminya.

“Ooh, iya bisa bertemu di mana Mbak dengan Amelia?”

“Tadi ke kampus, terus mampir ke rumah. Nanti main ya ke rumah, terus ijin mau minta tolong dalam acara saya,” ucapku membantu Amelia berbohong.

“Ooh, iya Mbak,” ucap Suami Amelia.

“Mbak, mau minum?”

“Gak, udah malam, langsung pulang saja ya?”

“Iya Mbak, terima kasih banyak Mbak.”

“Pak, terima kasih sudah mengantarkan Amelia,” ucap Amelia untuk suamiku.

Aku masuk mobil meninggalkan rumah Amelia dengan segudang tanya. Apa yang terjadi dengan Amelia malam ini?. “Amelia, sebesar apa pun masalah selalu ada jalan keluar karena Tuhan menguji dengan akal kita, sembunyi di balik senyum bukan ketabahan tapi penghancuran diri, dusta itu akan selalu mendewasakan dosa. Bukan keraguan namanya jika sudah hilang kepercayaan pada diri. So, jadilah diri seutuhnya bukan karena orang lain karena hidup bukan sembarang hidup tapi hidup untuk mendapatkan nilai terbaik.” Itu yang bisa aku sampaikan untuknya.

Cirebon, 08 Oktober 2012