CERPENKU


BENARKAH KAU MENCINTAIKU?

Cerpen ini awalnya berjudul WANITA DAN CERITA HIDUPNYA, tapi dimuat HU. Kabar Cirebon, hari Sabtu, tanggal 27 April 2013, dengan judul ini:
BENARKAH KAU MENCINTAIKU?

Aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang wanita cacat tak berdaya. Kecelakaan itu telah merenggut kebebasanku. Kini, di atas kursi rodalah segalanya kuandalkan. Kutatap lekat sebuah foto pernikahan di layar monitor. Foto suamiku dan istri barunya. Pasca kecelakaan yang menimpaku, kuijinkan suamiku menikah lagi. Keputusan yang diprotes Ratna, temanku.

“May, seharusnya tak begitu mudah kau memberi izin Hans menikah lagi.”
“Lalu, apa yang harus kulakukan Rat. Aku tak mungkin menghalangi kebebasan Hans.” 
“Ya, memang. Namun Hans tak semestinya memperlakukanmu seperti ini.”
“Entahlah Rat. Aku hanya wanita cacat. Tak ada alasan aku melarang Hans. Dia tidak menceraikan aku saja. Aku sudah cukup bahagia.”
“May, aku mengerti perasaanmu. Aku percaya kamu akan mampu melewati ini semua.”
“Semoga Rat. Aku percaya tak ada yang sia-sia.”
“Ya, May. Aku kagum padamu. Kamu relakan suamimu membawa wanita lain ke dalam rumahmu.”

Aku tak menjawab. Kuwakili jawabanku dengan senyuman dan Ratna tak berani mengusikku lagi. Ditinggalkannya aku di ruanganku seorang diri. Walau di atas kursi roda aku masih bekerja. Beruntung pihak perusahaan mengijinkan. Toh, aku hanya tak bisa berjalan, aku masih bisa mengetik huruf demi huruf di keyboard komputer.
Setahun sudah Hans menikah dengan Siska, dan kebahagiaanku sedikit demi sedikit mulai menjauh hingga benar-benar hilang saat Hans menemuiku siang itu. 

“May, sebenarnya aku ingin menyampaikan sesuatu padamu.” Kutatap mata coklat Hans. Tubuhnya yang tegap dan kulitnya yang putih sungguh mewakili ketampanannya. Didorongnya kursi rodaku ke ruang tengah.
“Apa Mas?”
“Aku tak sampai hati menyampaikan ini padamu May.”
“Sebenarnya ada apa Mas?” Hans tak segera menjawab, digenggam erat jemariku. Tangannya yang kokoh dan bulu halus di lengannya itu selalu mendamaikan hatiku. “Mama memintaku bercerai darimu.”
“Apa?”
“Iya, May. Aku juga tak ingin seperti ini, tapi Siska memintaku memilih kamu atau dia dan Siska kini sedang mengandung.”

Aku menelan ludah, kukuatkan hati. Aku tak ingin menangis di depan Hans. 
“Lalu mama tahu tentang hal itu dan mama memilih Siska.”
Lagi-lagi kutelan ludahku dan kini terasa lebih pahit. Tenggorokanku semakin terasa sakit. Sayatan-sayatan perih pun mulai merajam hatiku. Aku masih membisu. Tak ada satu kata pun yang mampu kuucapkan dari bibirku. 

“May, maafkan aku. Aku masih mencintaimu, tapi aku harus memilih.”
Mataku memanas. Kutahan gejolak yang menghentak dada. Aku hanya 
menunggu, kata apa lagi yang keluar dari bibir Hans. Kata itu juga yang akan mengantar ke nasib hidupku selanjutnya. 

“May, aku harus menceraikanmu, maafkan aku.” Hans memelukku erat, kini pipiku basah tak mampu kutahan lagi. Kubalas pelukan Hans erat. Tak ingin kulepas pelukan itu. Kami pun saling mendekap. “Ya Allah, benarkah ini? Aku harus merelakannya. Ya, Allah aku tahu aku harus ikhlas.”
Dengan derai air mata, kulepas Hans pergi. Dia masih menatapku saat Siska datang. Buru-buru kuhapus air mataku. “May, aku minta maaf. Aku harap kau tak membenciku.” 

Aku tersenyum pahit, aku tak perlu basa-basi itu. Aku manusia biasa yang juga bisa terluka. “Sudahlah Sis, tak perlu membahas itu saat ini. Ayuk kita ke rumah mama,” ajak Hans sembari menggandeng tangan Siska.

Hatiku perih. Kupandangi mereka berdua hingga punggungnya menghilang di balik pintu. Hans, benarkah kau mencintaiku? Cinta seperti apa? mengapa kini kau tinggalkan aku di saat aku sangat membutuhkanmu? Berbagai pertanyaan berdesakan dalam dadaku. Aku sungguh benci hidupku.

Hari-hariku terasa kelam. Menangis dan menangis. Masa depanku terlihat gelap. Aku hanya wanita cacat. Aku tak punya siapa-siapa, bahkan laki-laki yang kucintai dan belum genap dua tahun pernikahan kami, kini dia meninggalkanku. Hanya keputusan pengadilan tentang perceraianlah yang akan menghampiriku dan setelahnya mungkin aku akan diusir dari rumah ini.

Beberapa kali hp-ku berdering. Aku tak minat walau hanya sekedar melihat siapa yang meneleponku. Sudah tiga hari ini aku tak masuk kantor. Kulirik hpku saat berbunyi lagi, ternyata Ratna yang mengirimkan sms. 

“May ... kamu ke mana aja? Kamu baik-baik aja kan?”
“Rat, ke rumahku ya, aku tunggu.” Hanya itu balasanku.
Setengah jam kemudian kulihat Ratna tergopoh. Dadaku terasa penuh. Ingin rasanya aku berlari menghambur dalam pelukannya. Seandainya saja aku tak cacat seperti sekarang.

“May, kamu kenapa ditelepon beberapa kali kok gak diangkat, ada apa?”

Kuseka air mataku, “Hans akan menceraikanku Rat.”

“Apa?”

“Iya, aku hanya tinggal menunggu surat putusan pengadilan.”

“Ya, Tuhan. May ...” Ratna memelukku erat. “Sabar ya ...”

“Aku bosan dengan kata sabar itu Rat. Apa yang aku harapkan dari hidupku sekarang.”

“May, gak boleh ngomong gitu.”

“Coba bayangkan Rat. Aku cacat. Aku tak memiliki siapa pun di dunia ini.”

“May, percayalah. Tak ada masalah yang tak ada jalan keluarnya. Allah tidak akan membiarkanmu sendirian.”

“Nyatanya aku sendirian, Rat.”

“May, aku masih di sampingmu.” 

“Rat, kamu memiliki keluarga, suami, anak. Sudah begitu banyak kesibukanmu. Aku hanya akan membuatmu repot.”

“May, percayalah aku akan membantumu.”

“Aku percaya. Kamu memang baik, Rat. Sekarang aku ingin sendiri, tolong tinggalkan aku.”

“Tapi, May ...”

“Sudahlah Rat. Aku akan baik-baik saja. Terima kasih kamu sudah datang ke rumahku.”

Alunan syahdu suara Once mendendangkan Dealova tiba-tiba terdengar dari hp Ratna. Dengan tergesa Ratna mengangkat hp itu.
“Iya Pa, mama akan segera pulang,” ucap Ratna dengan suara ketakutan. Kulihat wajahnya yang gusar.
“Maaf ya May. Suamiku sudah menelepon. Aku harus pulang.”
“Pulanglah. Aku akan baik-baik saja.” Dengan terburu Ratna meninggalkanku. Sudah berkali kulihat ekspresi wajahnya yang ketakutan ketika suaminya menelepon. “Ratna, aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Jadi mana mungkin aku menambah bebanmu,” gumamku lirih.

***
Rintik hujan masih terdengar satu-satu. Pikiranku sedang berlayar ke samudra kehidupan. Ratna, teman baikku yang tangguh. Dia tak pernah mengeluh dan menyampaikan masalah dalam rumah tangganya dan aku sendiri menyimpulkan ada yang telah disembunyikannya dariku. Aku tak berusaha memaksanya bercerita. Sedangkan untuk diriku sendiri, telah kuputuskan dengan perenungan yang mendalam. Aku harus melewati semua ini. Aku harus tetap bekerja demi memenuhi kebutuhanku. Beruntung Hans tak mengusirku dari rumah ini. Aku masih bisa menempatinya.

“Bu, ini tehnya.” Wanita paruh baya menghampiriku. Bi Surti. Dia akan menjadi kakiku dan mengantar ke mana pun aku pergi. “Tak ada yang tak berarti dalam hidup ini. Selama kita memberinya arti walau pahit sekalipun,” tulisku di sebuah jejaring sosial.

Cirebon, 17 April 2013






Cerpenku yang sudah dimuat HU Kabar Cirebon, hari sabtu tanggal 30 Maret 2013. Dengan judul awal dari saya SEDALAM LUKA yang diganti redakturnya menjadi KORBAN CINTA PALSU

Rima asyik memandang layar monitor di hpnya dan Andi sibuk menghadapi layar monitor komputer yang biasa dipakai Rima.
“Wah, berduaan aja nich.” Suara itu, suara Jodi. Laki-laki yang sedari tadi bolak balik melewati ruangan Rima.
“Hmm, ya gaklah. Kok berduaan sich? Di ruangan lain kan banyak. Aneh,” ujar Rima agak ketus. Sementara Jodi sudah berlalu menuju ruangannya. Tadi Jodi juga sudah menyapa Rima sebelum ada Andi, tapi Rima tetap datar menjawabnya.

Masih lekat dalam ingatan Rima bagaimana dulu Jodi selalu menyanjungnya penuh cinta. Bahkan ucapan cinta Jodi berkali-kali diungkapkannya lewat telepon hingga hari itu mereka memutuskan bertemu setelah jam pulang kantor. Jodi menemui Rima di ruangannya.
“Kenapa kamu gak pernah percaya kalau aku cinta kamu.”
“Cinta? Aku ...” Rima menunduk malu.
Jodi mendekatinya, “Iya, aku mencintaimu Rima dari sejak aku melihatmu siang itu.”
“Aku juga, tapi aku gak mau terlalu geer. Sebelum kamu menyampaikan sendiri,” sahut Rima dengan pipi memerah.
“Aku kan sudah menyampaikan lewat telepon.”
“Iya, kenapa kamu gak menemuiku langsung selama ini?” tanya Rima dengan bola mata yang menelisik wajah Jodi.
“Aku gak mau seisi kantor ini ribut. Jadi, biarlah kita berdua saja yang tahu.”
“Bener? Yang aku tahu kamu kan dekat sama Sinta. Gosipnya kalian pacaran tuch.”
“Aku sama dia? Gak ada kok. Gak ada yang spesial. Aku dekat sama Shinta karena satu ruangan aja.”
“Ah, yang bener?”
“Bener, sayang.”
“Sayang?”
“Iya, sayang. Aku memang sayang sama kamu kok.”

Dada Rima bergetar. Rasa yang dipendamnya begitu lama kini menjadi nyata. Jodi, dia benar mencintainya. Setidaknya tatapan mata Jodi yang telak menusuk jantungnya itu menjadi pertandanya. Senyum manis di bibir tipis Jodi itu menambah Rima tak ingin berpaling menelanjangi wajah Jodi.
“Rima, kamu terima kan ucapan cinta ini?”
Rima tak menjawab. Dianggukkan kepalanya dengan binar bahagia dan hari itu awal semuanya bermula. Mereka berjalan beriringan menuju motor Jodi lalu berboncengan menyusuri senja yang mulai menjelang. 

***
“Rima, kamu tahu gak sih kalau Lukita itu mau nikah sama Jodi.” Suara Shinta yang tiba-tiba terdengar dengan nada ketus itu seketika menghentikan aktivitasnya di depan komputer. Rima menatap wajah Shinta lurus. 
“Apa?” Rima berusaha menyimpan rasa keterkejutannya. Hubungannya dengan Jodi adalah hubungan rahasia yang tak diketahui siapa pun teman kantornya. Tidak juga Shinta.
“Iya, aku denger gitu.” Mendengar jawaban Shinta serasa ada yang copot dari hatinya. 
“Rima, aku mau curhat. Sebenarnya aku sama Jodi...” Shinta tak meneruskan kata-katanya. Matanya mulai berkaca.
“Shinta, sebenarnya ada apa?”
“Rima, aku sama Jodi udah ...” air mata Shinta mulai membasahi pipinya yang bulat. Ada rasa ngilu di hati Rima. 
“Udah apa? Kalian ..”
“Aku terbawa suasana. Rayuan maut Jodi telah merenggut kesucianku.”
“Apa?” rasa sesak seketika menohok jantung Rima. 
“Jadi malam itu aku rela menyerahkan segalanya. Terjadi begitu saja.” 

Rima tak bersuara. Mengamati wajah Shinta yang memilukan, dan pancaran yang sama pun terlihat dari wajahnya. Sungguh perih rasanya menyadari mereka berdua adalah korban Jodi. Rima masih membisu. 
“Rima, kamu kok malah diam aja. Aku mesti gimana?”
“Shinta, Jodi kan belum tentu menikahi Lukita, jadi mintalah penjelasan dari Jodi.”
“Rima, aku sangat mencintai Jodi. Aku sudah berkorban dan aku tak menyangka dia akan mencampakkanku seperti ini.”
“Shinta, aku gak tahu harus gimana. Coba minta penjelasan ke Jodi aja. Kepalaku pusing. Aku mau ijin pulang aja nih.”
“Rima, kamu kenapa? Kok mau nangis gitu?”
“Aku pulang dulu ya. kepalaku pusing. Tolong sampaikan ke Mbak Fanny ya.” Rima berlalu meninggalkan Shinta yang bengong tak mengerti.

Sesampai di kamar kosnya Rima mengaduk-aduk isi tasnya mencari hpnya yang terselip di antara dompet dan kotak kosmetik. Sesaat kemudian jarinya memencet sebuah nama yang ada di phonebooknya, Jodi. Sementara di seberang sana hanya terdengar suara tut tut. Rima mencoba beberapa kali dan kali ini terdengar suara menyahut, tapi suara operator telepon, “maaf nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif.” 

Rima lemas. Keringat dingin mengucur deras. “Oh Tuhan, masih pantaskah aku memohon. Aku hanya butuh penjelasan dari Jodi. Apa benar yang telah dikatakan Shinta?” tanyanya di hati. Sejak hari itu Jodi menjauhinya. Jangankan menelepon atau mengirimkan sms. Telepon dan sms Rima tak satupun dibalas. Jodi sengaja menghindari Rima. 

***
Suasana kantor yang riuh hari itu menambah kepenatan Rima. Ditatapnya undangan pernikahan berwarna biru berpita warna pink yang tergeletak di atas meja kerjanya. Mata Rima sembab. Rasa sesak menguliti hatinya. Jelas-jelas tertera dalam undangan itu. Jodi Prabawa dan Lukita Handayani. Jodi? Begitu tega dia tak menyampaikan apa pun hingga undangan itu diterimanya. Bagaimana bisa Jodi tak memperdulikan hati Rima? Bukankah Jodi telah berjanji akan mencintai Rima di sepanjang hidupnya dan Rima telah menyerahkan semua miliknya. Termasuk hal yang paling berharga. Tandas, tak bersisa. 

Air mata Rima mulai menetes satu-satu. Rima memutuskan berlari ke kamar mandi. meluapkan tangisnya yang tak terbendung lagi. Langit seakan runtuh. Gelap yang tiba-tiba hadir memenuhi ruang kamar mandi. Rima sekuat tenaga menahan udara pengap yang tiba-tiba saja menyeruak. Rima limbung, tak mampu meneruskan aktivitasnya di kantor. Meninggalkan kantornya tanpa ijin adalah satu-satunya cara menyembunyikan perasaannya yang hancur lebur. 

Di sepanjang jalan kenangan-kenangan bersama Jodi seakan membanjiri ingatannya. Tiba-tiba rasa cinta yang tadinya begitu besar menghilang berubah menjadi bongkahan benci yang mengkristal di hatinya. Pengakuan Shinta dulu yang mengatakan bahwa Jodi telah merenggut kesuciannya adalah kali pertama luka itu mengangga. Dan undangan ini bukti nyata bahwa Rima adalah korban kebiadaban Jodi. Rima menyesal telah menyerahkan semuanya. Apalagi yang kini bisa dibanggakan. Sebagai wanita Rima telah kehilangan harga dirinya.

Jodi masih berhutang penjelasan padanya, tapi apakah perlu untuk ditagih. Undangan pernikahan itu telah tersebar dan tak mungkin Rima menyakiti hati wanita lainnya. Setidaknya Lukita tak mengalami hal yang sama dengan Shinta dan dirinya. Rima tak berupaya, begitupun Shinta, dan kenangan itu terbang seiring debu meninggalkan jejak yang menyakitkan. 

Rima memasuki kamar kosnya dengan gontai. Dibenamkan tubuhnya di kasur busa dengan posisi telungkup dan banjir air mata menghanyutkan wajahnya. Dinding kamarnya yang berwarna biru dan sprei merah muda menjadi saksi bisu kesedihannya. Sementara suasana terasa semakin hening bagi Rima.

***
Hari ini kenangan itu hadir seiring sosok Jodi. Sejak undangan itu tersebar dan hingga lima tahun ini Rima masih membujang dan Jodi tak pernah merasa salah. Meminta maaf pun tak pernah. Seperti kata Jodi yang disampaikan ke Shinta kalau Jodi tak sepenuhnya salah. Mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Sikap Jodi yang tak sungkan menyapanya membuat Rima semakin kesal. “Jodi aku telah menguburmu dengan kebencian dalam palung hatiku yang terdalam, sedalam lukaku karena penghianatanmu. Haruskah aku masih percaya terhadap makluk yang bernama laki-laki?” batin Rima setelah Andi meninggalkannya sendiri.

Cirebon, 13 Februari 2013






Cerpen ini juga sudah dipublish di:http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/02/14/aku-berbeda-533604.html
AKU BERBEDA

Senyap yang amat kurasa di antara begitu banyak canda dan tawa mereka. Dadaku terasa sesak saat aku membaca status seorang wanita yang dulu sangat dekat denganku. TehNisya. “Dulu, aku pernah membuka pintu itu seluas-luasnya. Namun kini aku menutupnya. Harapku kau mengerti mengapa aku melakukannya? karena kesempatan itu tak selalu datang dua kali. Maka manfaatkanlah bila ada kesempatan baik menghampirimu,” tulisnya di sebuah jejaring sosial. Aku terhenyak, kalimat itu seperti tertuju untukku.

Berbagai cara sudah kulakukan untuk mendekatinya seperti dulu. Bagiku, dia bukan hanya sebagai rekan kerja sekantor, tapi juga sebagai kakak. Orang yang sangat mengertiku, orang yang selalu mendengar keluh kesahku, dan satu-satunya orang normal yang menerimaku di dunia ini. Ya, hanya dia, karena aku berbeda. Berbeda karena rasa dalam diriku yang kadang membuatku membenci diriku sendiri. Namun, karena kesalahanku kiniTeh Nisya menjaga jarak denganku. Aku memang salah, padahal aku sangat mengenalnya. Aku telah mengecewakannya.

Aku masih ingat saat pertama aku membuka rahasia besar dari diriku yang selama ini aku simpan. “Teh, aku ingin cerita sesuatu sama Teteh, rasanya mengganjal,” ucapku suatu pagi cerah bersinar mentari. Aku berkunjung ke ruangannya yang nyaman berAC dan rapi.

“Ada apa Lyra? Cerita aja. Teteh, akan mendengarkan,” jawabnya dengan sabar.

Teh, sebenarnya … Lyra ….” Aku tak meneruskan kata-kataku.

Aya naon?” Teh Nisya mulai penasaran. Dia menatapku lekat, tak lagi menatap layar komputer yang dari tadi dilakukannya.”

Aku tak segera meneruskan, kain gordin berwarna hijau itu seperti memelotiku. Membuat keyakinanku yang tadi telah terkumpul hilang begitu saja.

“Lyra, Aya naon? Kok malah diam,” tanyanya lagi.

Teh … aku …”

“Lyra, ceritakan saja bila memang mengganjal, tapi kalau memang belum siap, ya jangan lakukan ya.”

Teh, Lyra akan cerita. Terserah Teteh akan menerima Lyra atau tidak,” ucapku dengan nada pasrah.

“Lyra, bagaimana Teteh bisa tahu kalau Lyra tak cerita.”

“Iya, Teh.  Lyra, berbeda dari Teteh. Lyra juga benci dengan perasaan ini. Lyra mencintai Vina.”
Teh Nisya tersenyum walau aku melihat kekagetan di wajahnya.

Teh, kok tersenyum?”

“Lyra, Teteh sudah menduga sebelumnya ada yang beda dari dirimu. Yang mengagetkanTeteh, kenapa harus Vina?”

“Ya, karena perasaan yang menyiksa ini juga. Pagi ini Lyra menemui Teteh. Ada yang menghentak-hentak dalam diri Lyra bila dekat di samping Vina. Lyra sungguh ingin memeluknya, membelai rambutnya, dan mencumbunya Teh. Lyra sudah lama menyimpan perasaan ini.”

“Lyra, boleh Teteh tanya sesuatu?”

“Boleh, Teh.”

“Dulu, bagaimana perasaan itu muncul. Apakah Vina orang pertama yang membuatmu merasa begitu?”

“Gak, Teh. Perasaan ini sudah ada sejak Lyra SD.” Aku terdiam, ingatan menakutkan itu kembali hadir. Kejadian bertahun-tahun yang lalu itu membuatku menjadi seperti sekarang. Dia, pamanku sendiri tega melakukannya. Malam itu, aku terkaget saat pintu terbuka dari luar kamar. Sesosok yang sangat kukenal muncul dari balik pintu. Om Hendro. Pamanku, adik dari ibu kandungku.

“Lyra, belum bobo sayang?” tanya Om Hendro sembari membelai rambutku.

Aku masih tak berpikir macam-macam. Aku mulai merasa aneh, saat tangan Om Hendro mulai menggerayangi tubuhku. Aku yang masih kanak-kanak kala itu. Sungguh tak tahu apa yang akan Om Hendro lakukan.

“Belum Om. Om kok meraba-raba tubuh Lyra,” tanyaku polos.

“Lyra, Om akan membawamu ke surga, mau gak?”

“Surga? Kata guru ngaji Lyra surga itu indah ya Om?”

“Iya Lyra, Om buka bajunya ya?”

“Kok buka baju Om?”

“Iya Lyra, udah Lyra diam aja ya.”

Om Hendro mulai membuka semua baju yang menempel di tubuhku, tak ada sehelai benang pun. Om Hendro menciumi leher, dada, dan perutku. Aku merasa aneh saat Om Hendro mulai membuka bajunya sendiri, satu persatu hingga Om Hendro benar-benar telanjang. Om Hendro menekan tubuhku, aku merasakan sesuatu dimasukkan ke kemaluanku. Aku mengerang kesakitan, “Om, sakit Om, sakit. Lyra gak mau, Lyra gak mau.”

Aku menangis, meronta-ronta, dan terus menjerit kesakitan, Om Hendro tak memperdulikan. Dia semakin erat mencengkeram tubuhku, rasa sakit itu semakin terasa. Sesuatu yang dimasukan Om Hendro itu seperti pisau yang merobek kemaluanku. Beberapa saat kemudian Om Hendro melepas cengkeramannya. Keringatnya bercucuran, dia tersenyum. Aku masih menangis, merasakan sakit dan perih. Aku melihat darah di sprei. Aku terus menangis, Om Hendro meninggalkanku begitu saja. Saat itu aku teringat Mamaku yang meninggalkanku karena bercerai dengan Papa. Aku juga teringat Papa yang telah menikah lagi dengan wanita lain. Aku benci mereka. Mereka tega meninggalkan aku sendiri di rumah ini dengan nenekku yang sudah renta. Aku masih kelas 3 SD kala itu.

“Mama, Papa, tolong Lyra. Om Hendro nakal sama Lyra. Sakit.” Kalimat itu yang keluar dari bibir mungilku. Malam itu kesucianku terenggut paksa.
***
“Lyra, Lyra … kok malah menangis, ada apa?”. Teh Nisya mengagetkanku, dari tangannya dia memegang selembar tisu dan menyerahkannya kepadaku.

Aku menarik napas panjang. “Teh, maaf. Tadi Lyra teringat kejadian menakutkan itu.”
“Kejadian apa Lyra?”

“Awal dari rasa aneh dalam diri Lyra muncul.”

“Bolehkah Teteh tahu? Lyra jangan buat Teteh penasaran.” Teh Nisya mulai tak sabar.

“Lyra, kini siap cerita Teh, saat Lyra kelas 3 SD. Lyra diperkosa sama Om Lyra. Adik Mama Lyra.”

Astaghfirullahalazhim … Lyra, tega sekali Ommu itu.”

“Iya Teh. Mulai sejak kejadian itu Lyra benci laki-laki, apalagi Papa juga bukan laki-laki yang baik. Papa sering gonta-ganti wanita, sampai Mama meminta cerai. Mama meninggalkan Lyra. Papa yang membuat Lyra kehilangan Mama.” Aku menghapus gundukan kristal yang menggenang di mataku.

Teh Nisya mengambil kotak tisu dan diletakkan di depanku.

“Lyra, Teteh masih penasaran, tapi kalau Lyra tak ingin menceritakan,  jangan lakukan ya.Teteh gak tega melihatmu sedih begitu.”

“Teh Nisya, Lyra akan ceritakan semuanya. Lyra ingin Teteh tahu. Dua tahun setelah kejadian itu Lyra kenal Kak Nadya. Kak Nadya begitu baik, sering memberi Lyra kue dan uang jajan. Lyra yang saat itu sudah ikut dengan Papa yang menduda untuk kedua kalinya, merasa Kak Nadya sebagai pengganti Mama. Kami tidur bersama dalam satu ranjang, makan berdua, mandi berdua sampai SMP dan kedekatan kami itu mulai tak wajar. Awalnya hanya Kak Nadya yang sering menciumi Lyra. Namun karena begitu seringnya akhirnya Lyra juga membalas apa yang dilakukan Kak Nadya. Rasa cinta itu hadir dengan sendirinya. Saat itu Lyra merasa Kak Nadya itu segalanya. Kami bahkan selalu bercumbu sebelum tidur setiap malamnya. Ada ketakutan dalam hati Lyra, takut apa yang kami lakukan diketahui teman-teman kami.” Kuuraikan semuanya, pagi itu topengku telah kulepas di hadapan Teh Nisya.

“Hmm … Lyra, hidupmu sungguh berat. Lalu bagaimana hubunganmu dengan Nadya sekarang?”

“Lyra sudah lama hilang kontak dengan Kak Nadya Teh. Sejak Papa memutuskan pulang ke rumah Nenek di Subang. Sedangkan Kak Nadya kan masih di Jakarta waktu itu.”

“Gak pernah ketemu lagi?”

“Gak, Teh. Lyra igin melupakan Kak Nadya, tapi sungguh susah. Kini Lyra sudah jatuh cinta dengan orang lain. Vina sudah membuat hari-hari Lyra berwarna.”

“Lyra, Teteh mengerti beban yang Lyra alami. Namun menurut Teteh. Lyra harus menahan rasa cinta Lyra ke Vina, jangan tunjukkan sifat berlebihan.”

“Maksudnya berlebihan?”

“Ya, sifat Lyra yang Teteh lihat selama ini dengan Vina itu seperti sifat seorang laki-laki yang menaruh hati, yang rela melakukan apa saja.”

“Ya, itu dorongan dari dalam jiwa, Teh.”

“Memang, bagi Teteh yang kini tahu tentang Lyra, menanggapinya wajar. Dan walaupunTeteh gak tahu tentang Lyra, Teteh juga menganggap wajar karena Teteh gak terlalu senang mencampuri urusan orang lain, tapi di kantor kita ini banyak orang yang senang mencampuri urusan orang lain, benar gak? Ini untuk kebaikanmu sendiri.”

“Iya, Teh. Lyra pernah kaget saat Teh Cindy menyinggung soal mimpinya yang mengatakan Lyra Lesbian.”

“Nah, itu.”

“Tapi Teh. Lyra benar cinta sama Vina. Lyra ingin sekali saja menciumnya. Bagaimana yaTeh?”

“Lyra, jangan! itu sama dengan menghancurkan dirimu sendiri. Belum tentu Vina tidak akan cerita ke yang lainnya. Tahanlah perasaanmu ya.”

“Hmm, sepertinya susah Teh, tapi Lyra akan coba lakukan,” ucapku berjanji kepada TehNisya.

“Lyra, ingat pesan Teteh ya? jangan lupa.”

“Iya Teh.” Hari itulah awal Teh Nisya menjadi orang terpenting dalam hidupku. Tak ada rahasia yang aku simpan satu pun darinya. Setiap aku curhat tentang Vina, selalu hal yang sama yang Teh Nisya sampaikan kepadaku.
***
Hawa dingin menyebar di kamar kosku. Menusuk tulang belulang. Hujan lebat malam ini selain membuat pakaianku basah kuyup juga membuatku demam. Vina menginap di tempat kosku karena dia kemalaman pulang ke rumahnya. Seharusnya hujan itu tak membasahi sejengkal tubuhku bila tadi aku tak menjemput Vina. Namun aku sungguh tak tega saat Vina mengirim sms, dia terjebak hujan lebat di depan kampusnya.

Semalaman aku berusaha menekan perasaanku saat Vina memeluk tubuhku. Malam ini aku tidur seranjang dengan wanita yang kucinta. Wanita yang sangat ingin kucium. Gejolak dalam hatiku semakin membuncah. Dadaku bergemuruh, aku berusaha menahan, ucapanTeh Nisya tiba-tiba melintas. Aku urungkan niatku untuk membelai rambut Vina. Namun lama-lama aku hanyut dalam arus perasaanku. Aku mulai membelai rambut Vina, mencium keningnya, menciumi wajahnya, meraba tubuhnya, dan mulai melepaskan kancing bajunya, Vina sama sekali tak menolak, tanganku mulai menyentuh dadanya, saat itulah Vina mulai menyadari apa yang kulakukan.

“Lyra, kamu mau apa?” Aku tersentak. Aku merasa malu.

“Maaf,Vina. Maaf.”

“Lyra, kamu baik sama aku ada maunya ya?” ucapVina dengan nada suara tinggi. Vina bergegas membereskan pakaiannya dan langsung ke luar kamarku. Aku tak berusaha mengejarnya. Aku menangis di sudut kamar. Malam ini aku telah mengecewakan dua orang yang penting dalam hidupku. Vina dan Teh Nisya. “Maafkan aku, inilah aku. Aku memang berbeda,” gumamku lirih. Hujan masih memercik, begitu pun tangisku.
SELESAI
Teh, Teteh = Panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa sunda.
Aya Naon  = Ada apa
Cirebon,  17  Oktober  2012

SURAT CINTA NAYLA
Cerpenku yang ada di Majalah Joefiksi Volume 1


Lembayung senja terlihat di ufuk barat. Menampilkan keindahan yang memukau. Semburat mega mengintip di balik langit. Seorang gadis manis berambut panjang dengan tubuh langsing, berhidung mancung, dan berwajah polos tanpa make up sedang  asyik menunggu bus di bawah pohon mahoni.  Pipinya memerah, lamunannya mengembara. Dadanya berdetak kuat, ada rasa yang mengaduk hatinya.  Tak sabar membaca surat yang tadi siang diterimanya dari Roy teman sekelasnya.
Dengan tergopoh, di jam istirahat Roy menemuinya. “Nay, ini ada titipan dari Bobby.”
“Apaan Roy?” Nayla melihat ada amplop putih polos di tangan Roy.
“Gak tahu Nay, tapi pesen Bobby kamu bacanya di rumah.”
“Wah, surat cinta Nay,” ledek Lidya. Roy cenderung tanpa ekspresi.
Nayla menerima amplop itu. Mata teduhnya mengamati. Tak ada nama pengirimnya. “Surat apakah ini. Apakah surat cinta,” gumamnya dalam hati. Nayla tak sabar ingin membuka, tapi perasaan itu ditahannya. “Ah, belum tentu Lid,” jawab Nayla dengan pipi memerah. Ada debar dalam hatinya.

Konsentrasi Nayla sungguh terbagi. Pelajaran Fisika yang disampaikan Pak Hanafi hari ini tak disimaknya dengan sungguh-sungguh. Amplop putih yang tadi diterima dari Roy penyebab pikirannya bercabang. Dua jam terasa begitu lama. Selesai pelajaran Fisika. Nayla masih harus berjibaku menunggu bus yang akan ditumpanginya untuk pulang. Sementara hari menjelang magrib. Satu jam menunggu akhirnya bus itu datang juga.

Bus begitu penuh sesak. Nayla terpaksa berdiri di depan pintu masuk bus. Hawa sejuk mulai terasa menyeruak ketika melewati perkebunan karet yang begitu luas. Bus terseok-seok dengan muatan yang berlebih. Jalanan yang aspalnya mengelupas dan tak rata membuat para penumpang seperti berada dalam kapal yang terombang-ambing oleh ombak.

Pemandangan asri terbentang sesaat setelah turun dari bus. Jalanan berumput yang di kanan kirinya sawah menghijau bagai hamparan permadani. Namun terlihat agak remang di mata Nayla. Karena rumahnya yang terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. Tak ada aliran listrik yang menjangkau rumahnya. Rumah yang terbuat dari geribik bambu, sungguh minim dengan fasilitas rumah mewah. Tak ada air bersih. Apa lagi televisi. Nayla lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya petani. Ibunya, ibu rumah tangga biasa. Namun segala keterbatasannya tak menghalanginya meraih prestasi. Nayla menjadi juara satu di semester pertama padahal dia murid baru di SMP PGRI yang menerapkan masuk siang. Sebelumnya dia murid di sekolah swasta yang terpaksa ditutup karena tanah dan bangunannya disita oleh Bank.

Melewati sebuah jembatan kayu, sampailah Nayla di rumahnya. Dengan rasa yang tergesa Nayla sungguh tak sabar ingin segera membaca surat cinta yang belum pernah diterimanya selama ini. Keadaannya tak memungkinkan. Rasa penasaran masih harus menguasai hatinya. “Sabar, Nay. Tunggu sampai semuanya tidur,” ucapnya dalam hati.

Pukul 21.00 WIB, malam terasa begitu gigil. Dingin menyergap tubuhnya. Di luar hening, hanya terdengar suara jangkrik dan desau angin. Nayla pelan-pelan mengambil amplop putih yang tersimpan di dalam tasnya. Nayla mulai merobek amplop putih polos. Nayla gemetar. Ini pertama kali dapat surat dari seseorang. Benarkah surat cinta seperti kata Lidya? Amplop putih itu sudah lemas tertidur di lantai tanah. Kini Nayla memegang amplop merah jambu. Bau harum menyerbak ke mana-mana. Wanginya sangat nyaman untuk dihirup.

“Untuk Nayla inspirasiku.” Tertulis kalimat romantis di amplop merah jambu itu. Hati Nayla bergetar.  Disobeknya amplop pink itu. “Owh,” pekiknya dalam hati. Ternyata di dalamnya kertas warna pink juga dengan motif bunga. Bau harum yang tadi diciumnya semakin kuat. Tangan Nayla tambah gemetar. Ada perasaan takut. Bagaimana kalau tiba-tiba kakaknya terbangun memergokinya. Pasti akan mengadukan kejadian itu ke ibunya atau kalau tidak akan mengejeknya membuat hidung Nayla kembang kempis karena malu, tapi segera ditepisnya pikiran itu. Nayla mulai membuka lipatan kertas merah jambu bermotif bunga  dan membacanya.

Nayla, sejak pertama melihatmu
Ada yang aneh dihatiku
Senyummu selalu hadir
Begitu manisnya Nayla
Sampai mengganggu tidurku
Nayla, kau sempurna di mataku
Pintar, cantik, manis, baik pula
Nayla, bolehkah aku mengagumimu
Nayla, aku tak bisa mengartikan rasa ini
Kucoba mencari jawabannya
Kini aku tahu.
Aku sungguh jatuh cinta padamu Nayla
Ya,  rasa yang pertama kali bagiku
Nayla, kau inspirasiku
Aku sungguh mencintaimu
Aku harap kau pun sama
Nayla, tolong balas suratku
Jangan biarkan aku resah menunggu
I Love U

Andre

Deg ... Deg ... Deg ... Jantung Nayla berdegup sangat kencang. Wajahnya merah padam. “Ooh beginikah rasanya kalau membaca surat cinta?” tanyanya dalam hati. “Andre, benarkah dia yang menulis surat ini?” tanyanya lagi. Nayla seperti tak asing dengan tulisan itu, “Ooh siapakah?” ucapnya dalam hati sembari mengingat-ingat. Andre itu sangat pendiam. Mungkinkah dia bisa merangkai kata-kata begitu menyentuh hati Nayla. Kenapa Nayla tak yakin itu dari Andre. Entahlah, begitu banyak pertanyaan yang tak bisa dijawabnya membuat kepalanya pusing. Diilipatnya lagi surat itu dan dimasukkan di amplopnya. Nayla berusaha menenangkan hatinya.

***

Suara riuh  terdengar menyakitkan telinga. Hari ini Pak Johan, guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia tak hadir, hanya memberikan catatan untuk ditulis Nayla di papan tulis. Inilah saatnya Nayla mencari tahu, benarkah surat cinta itu dari Andre.
“Andre, aku pinjam catatannya ya, boleh nggak?”
Laki-laki pendiam itu menoleh. Dengan cuek dia menjawab, “Boleh kok Nay, tapi tulisanku nggak rapi.”
“Nggak papa kok.” Nayla menerima buku Andre dengan senyum mengembang. Sementara sikap Andre tak menunjukkan kecanggungan sama sekali. Sikapnya itu membuat Nayla bertanya-tanya. “Begitukah reaksi orang yang mencintainya?”

Tanya Nayla sedikit terjawab saat dia sandarkan tubuhnya di bangku kayu. Tangannya mulai membuka lembar demi lembar buku tulis catatan Andre. Matanya melotot, tulisan di buku tulis Andre  sama sekali tak mirip dengan tulisan di surat cinta itu. “Oh Tuhan, siapa sebenarnya pengirim surat cinta itu?” Nayla merasa sedih. Hatinya luka. Dia merasa diperdaya. “Ataukah Andre meminta seseorang menuliskan untuknya? entahlah.” Kepala Nayla terasa berat.

“Nay, ada apa?” suara Lidya mengaketkannya.
“Aku ...” Nayla tak meneruskan kata-katanya. Matanya menatap ke arah Lidya. Seperti mencari keyakinan kalau Lidya tak akan membocorkan rahasianya.
“Ada apa?”
“Aku kemarin menerima surat cinta Lid.”
“Tuch kan bener surat cinta.”
“Lydia, jangan keras-keras dong ngomongnya. Aku kan malu.”
Sorry, sorry. Hehehe. Dari siapa?”
“Dari Andre, tapi kok tulisannya gak sama ya?”
“Tulisan siapa?”
“Tulisan Andre dan tulisan di surat cinta itu. Iiih, kamu nich.”
“Oh ya? kamu kok tahu?”
“Lidya, lama-lama kamu buat aku kesel dech. Kan tadi aku pinjem buku Andre.”
Ok, ok. Sorry, sorry, hehehe. Habis mukamu itu kelihatan merah. Lucu.”
“Yey, udah ah. Tuch udah bel. Pulang yuk.” Sungut Nayla.

***

Malam meremang, menambah keheningan yang menghentak dada. Nayla tak dapat memejamkan matanya, dengan penerangan lampu sentir. Dibaca lagi surat cinta itu. Bayangan beberapa orang berkelebat di rongga kepalanya, “Aku harus membalas surat itu. Dengan membalas mungkin saja aku tahu, apa yang sebenarnya terjadi,” ucapnya dalam hati sembari mengambil buku tulis dan merobek di bagian tengah buku. Nayla sendiri belum tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Dituangkannya perasaannya itu dalam surat balasannya. Remang-remang cahaya lampu sentir membuat Nayla harus menulis begitu dekat.
                              
Andre, maaf ya aku balas suratnya baru sekarang
Terima kasih untuk surat cintamu
Terima kasih telah mengagumiku
Terima kasih juga telah mencintaiku
Tapi maaf aku hanya bisa menganggapmu teman biasa
Aku belum tahu bagaimana rasanya jatuh cinta
Aku tak ingin main-main dalam cinta
Untuk saat ini aku hanya ingin fokus belajar
Karena menurutku
Buat apa beli Lemari
Kalau tidak diisi kain
Buat apa memadu kasih
Kalau tidak menjadi kawin
Aku belum siap pacaran
Maaf ya Andre ...

Nayla

Nayla usianya masih muda, tapi begitu dewasanya dia, mungkin keadaan orang tuanya yang membuat Nayla begitu. Ibarat buah matang sebelum waktunya. Dia tak menikmati masa remajanya selayaknya anak lain seusianya.

Sebelum masuk kelas. Nayla serahkan surat itu ke Roy. Nayla berharap Andre akan mengerti. Andre tidak akan marah dengan surat balasannya. Andre juga tidak akan tersinggung. Ternyata saat jam istirahat justru Nayla terkaget karena kata-kata Bobby.
“Nay, buat apa memadu kasih kalau tidak menjadi kawin ya?”
“Hahahaha.” Belum hilang rasa kaget Nayla, tiba-tiba terdengar Rahmat tertawa terbahak-bahak. Nayla mengalihkan pandangannya ke Andre, tapi Andre hanya menundukkan kepalanya.
“Hmm ... Bobby tahu dari mana dia. Rahmat kenapa tadi ketawa seperti itu?” Nayla kesal tapi tak menegur mereka. Dalam hati Nayla bergumam. “Jangan-jangan  mereka baca surat balasan Nayla rame-rame. Untung gak diterima cinta Andre. Kalau Nayla terima bisa-bisa hanya pura-pura dan mereka akan mempermalukannya.” Nayla sibuk dengan pikirannya sendiri. Nayla berlalu meninggalkan mereka. Dilihatnya Lidya sedang duduk di depan kelas.

“Lid, aku curiga dech. Bobby, Rahmat sama Andre itu ngerjain aku.”
“Kamu kok menyimpulkan begitu Nay.”
“Habis tadi Bobby tahu aku nulis apa di surat balasanku. Terus Rahmat ketawa ngakak lagi. Menyebalkan Lid.”
“Masa’ Nay?”
“Iya Lid. Aku juga kaget.”
“Nay aku ingin menyampaikan sesuatu sama kamu.” Sebuah suara mengagetkan Nayla.
“Ada apa Ris?”
“Rahmat itu suka sama kamu.”
“Maksudnya?”
“Rahmat itu Playboy Nay. Aku pernah pacaran sama dia. Mana mau dia dikalahkan sama cowo lain di kelas ini. Aku dulu diputusin sama dia gara-gara dia suka sama Silvia, eh ternyata Silvia juga diputusin. Gak tahu Rahmat itu maunya apa?, tapi Rahmat itu suka sama kamu Nay.”
“Suka, masa’ sich?”
“Iya Nay, dia suka sama kamu karena kamu pintar tapi dia gengsi aja ngakuin.” Nayla kaget. Sama sekali dia tak menduga Risa menyampaikan itu ke dia apalagi ada Lidya, yang jelas-jelas menerima surat cinta dari Rahmat kan Lidya.
“Tapi Ris, yang menerima surat cinta dari Rahmat itu Lidya.”
“Iya. Aku tahu kok.”
“Ha ... apa? tahu dari mana?”
“Aku dengar gak sengaja saat Rahmat ngobrol Nay.”
“Apa ...?” Mata Nayla terbelalak, dia penasaran benarkah Risa tahu sesuatu.
“Rahmat bilang ke Bobby dan Andre. Dia suka sama kamu karena kamu pintar Nay. Tapi dia juga suka sama Lidya karena Lidya itu cantik.”
“Tapi aku gak suka tuch sama Rahmat.” Lidya yang dari tadi diam langsung bersuara dan memandang ke arah Nayla.
“Iya jangan Lid. Biar tau rasa dia.” Risa terlihat kesal.

Rahmat sungguh membuat Nayla kesal. Kenapa harus memakai nama Andre untuk mengirim surat kepadanya. Kenapa juga Andre mau saja. Nayla juga tak suka Rahmat, tapi Nayla penasaran. Tidak bisa didiamkan. Dia harus cari tahu apa benar yang dikatakan Risa. Lalu siapa sebenarnya yang menulis surat cinta untuknya. Batinnya bergolak. Dengan langkah tergesa didekatinya kerumunan Rahmat dan gengnya. Di sana ada Bobby, Roy, dan juga Andre.

“Bob, aku mau tanya?”
“Soal apa Nay?”
“Tadi kenapa kamu meledekku dengan balasan suratku ke Andre. Sebenarnya siapa yang mengirim surat itu?”
Bobby membisu, justru tawa Rahmat yang terdengar, “Hahahaha, Nayla manis, gak usah marah gitu dong.”
“Rahmat, kamu yang menulis surat itu ya?”
“Iya, kenapa?”
“Jadi, apa yang dikatakan Risa itu benar?”
“Risa? Memang Risa bilang apa?”
“Kamu yang menulis surat cinta untuk aku dan Lidya?”
“Iya, lalu kenapa?”
“Rahmat, kamu cuma mau mempermainkan aku kan? Andre, kenapa kamu juga mendukung Rahmat? Kenapa kamu mau nama kamu dipakai? Bobby, kamu juga .. Roy kamu .. Kalian semua jahat. Kalian jahat. Kalian mempermainkan aku.” Nayla berlari dengan pipi basah. Rasa perih merajai hatinya. Roy berlari mengejarnya.
“Nay, Nay, tunggu ..” Nayla tak mempedulikan. Dia terus berlari menuju kamar mandi sekolah.
“Ya Tuhan, ini surat cinta pertamaku. Mereka tega membuat hatiku sakit,” gumamnya lirih. Air matanya terus menetes sederas air kran kamar mandi. Membasahi wajahnya yang polos. Hati Nayla terasa hancur berkeping. Nayla merasa mereka semua bersekongkol menipunya.

Cirebon, 04 Desember 2012





BAYANGANMU DI DIRINYA

Cerpen ini juga sudah dimuat di Radar Seni. Edisi Minggu,16 Desember 2012
http://radarseni.com/2012/12/16/bayanganmu-di-dirinya/

Malam hampir usai, aromanya menggelantung di ujung waktu. Sementara dingin masih menyergap tubuhku. Meninggalkan sensasi di pori-pori kulit. Menusuk menghujam jantung menambah rasa nyeri. Perih yang semakin menyiksa. Hening menjadi satu-satunya temanku. Aku benci suasana seperti ini, saat malam kelam menyeretku dalam ruang imajinasi. Mengarungi lautan ingatan. Menghanyutkan ke alam kenangan masa lalu. Aku tercekat, tenggorokanku terasa sakit. Bayangan gadis kecil berumur belasan tahun menguasai rongga kepalaku. Menari-nari menyudutkanku di pojok ruangan beku.


“Andini, cukup! Jangan siksa aku seperti ini,” gumamku lirih. Dia masih menggodaku dengan senyumnya yang manis dan celotehnya yang riang.
“Nad, besok ulang tahunku akan dirayakan di hotel loh. Kamu datang ya?” Dia menatapku lekat dengan wajahnya yang putih dan pipi yang memerah.
“Aku … aku … ingin sekali datang An, tapi …’
‘”Tapi kenapa?” Dia mulai memandangku dengan mata curiga.
“Besok, aku harus menemani mamaku di rumah sakit.”
“Ya … kalau kamu tak datang acaranya kurang seru dech.”
“An, aku bukan siapa-siapa. Kamu akan tetap bahagia kok tanpa kehadiranku.”
“Hmm, Nad, kamu itu temanku. Teman satu bangku, kamu selalu membantuku mengerjakan PR.”
“An, aku tak punya siapa-siapa lagi selain mamaku. Aku mohon kamu mengerti aku tak bisa datang, maafkan aku ya.”
Andini tak menjawab. Wajahnya terlihat kecewa. Aku tak suka melihatnya begitu. Dia sangat manja. Apa pun yang diinginkannya harus tercapai. Sementara dia sama sekali tak memahami keadaanku. Aku masih harus bekerja jualan kue sepulang sekolah. Apalagi sudah seminggu ini mamaku dirawat di rumah sakit. Dia sama sekali tak menjenguk.
***
Matahari begitu sempurna, memamerkan kecantikannya. Daun yang indah berkilau meliuk menari.  sementara daun gugur beterbangan seiring hembusan angin. Kulangkahkan kakiku menuju rumah sakit, siang ini aku tak akan berjualan kue. Sejak mama dirawat tak ada yang membuat kuenya. Aku merasa sangat sedih hari itu. Mama, satu-satunya orang yang menyayangiku. Satu-satunya keluargaku saat ini harus berjuang melawan penyakit kangkernya. Sementara papaku, aku tak tahu dimana keberadaannya. Mama tak suka aku bertanya soal papa.
Ruangan serba putih itu seperti mencengkeramku, kulihat mama terbaring lemah.“Nad, mama sudah tak sanggup lagi, maafkan mama sayang.” Air mata mama mulai menetes, merembes membasahi pipinya yang tirus.
“Ma, mama pasti kuat kok. Mama akan sehat lagi.” Mataku terasa sakit. Kutahan air mataku agar tak tumpah.
“Nak, Mama sudah menyerah. Hari ini kamu akan bertemu dengan Papamu. Mama tadi sudah menelepon  Papa untuk menjemputmu. Tak seharusnya kamu menderita selama ini. Maafkan Mama sayang.”

Kutatap lekat mama, kuhapus benda hangat di pipinya, “Ma, aku bahagia kok ikut sama Mama.”

“Iya Sayang, tapi umur Mama tidak lama lagi. Siapa yang akan menjagamu nanti?” mama membelai rambutku dengan tangan lemahnya. Aku merasa takut. “Benarkah aku akan sendirian? Tidak! Aku harus tetap di samping mama. Apa pun yang terjadi,” batinku perih. “Ma, Nadia tidak mungkin meninggalkan Mama.” Kuhapus bulir bening yang kini mulai menetes. “Nadia tak ingin Mama meninggalkan Nadia.”
“Sayang, semua yang hidup itu akan kembali pada-Nya, tak terkecuali Mama. Sakit hanya perantara saja. Ingat ya, apa pun yang kita miliki saat ini hanya titipan yang sewaktu-waktu akan diambil oleh yang punya.”
“Nadia … Mama, …” sura mama tiba-tiba hilang. Sekujur badannya terasa kaku. Napasnya pun tersengal. Aku mulai panik. “Mama … Mama!” teriakku dengan  mengguncangkan tubuh Mama.
Aku berlari menuju ruang dokter. Berapa menit kemudian aku kembali ke kamar perawatan mama dengan seorang dokter dan kulihat seorang laki-laki  yang sangat kukenal. Dia, papanya Andini. Dokter segera memeriksa mama dan setelah sebuah suntikan mendarat ke lengan mama keadaan mama kembali normal.
“Nadia, sini sayang.” Tangan Mama melambai lemah. Kulangkahkan kakiku segera. Dengan air mata yang menderas kupeluk erat mama. “Ma, Nadia takut. Jangan tinggalkan Nadia, Ma. Nadia sayang Mama.”
“Udah jangan nangis sayang. Mama juga sayang Nadia kok. Ini papa kamu.” Ucapan mama mengaketkanku. Pandanganku beralih melihat laki-laki itu. “Apa? Papaku?” tanyaku dalam hati.
“Mas, ini Nadia anakmu. Aku titipkan dia. Aku tak akan menyerahkannya kalau keadaanku tidak begini. Aku mohon kamu menyayanginya.” Dengan suara serak dan pelan mama  mengucapkan kalimat itu. Pandangan mama menusuk tajam ke arah mata laki-laki itu.
“Jadi, Nadia ini …” laki-laki itu tak meneruskan kata-katanya. Diarahkannya pandangannya ke arahku. “Dia anakku?”
“Kamu masih tak percaya Mas. Dia anakmu? Kamu pikir aku berbohong soal kehamilanku?” Suara mama agak meninggi. “Kenapa waktu itu kamu meninggalkanku tanpa kabar? lalu kenapa kamu bilang kamu keguguran saat kita ketemu?”

“Sudahlah Mas, tak usah bahas itu lagi di depan Nadia. Aku … , Nadia sini sayang, Mmama sudah gak kuat lagi sayang. Dia Papamu, hormati dia seperti kamu hormati mama ya?” Ucapan mama terbata. Kini tubuh mama terasa dingin. Menggigil.
“Mama .. Mama!” Teriakku sembari memeluk tubuh mama. Diam, tak ada sahutan. Aku masih memeluk erat tubuh mama saat laki-laki itu datang membawa dokter.
“Nadia, lepaskan pelukanmu dulu. Biar dokter memeriksa Mama.” Tiba-tiba aku benci suara itu. Suara laki-laki yang kata mama papaku.
Kulepaskann tubuh mama pelan. Aku terus mennagis. Aku takut, sungguh takut. “Nadia, Mama kamu sudah meninggal.” Suara dokter itu mengagetkanku. Aku histeris, “Tidak! Mama gak boleh meninggal. Gak boleh.”  Aku masih terus menangis. Kupeluk erat mama.  Semua terasa menakutkan. Aku seperti berlari di dalam lorong yang gelap. Senyap.
 ***
Taman bunga yang asri, kolam renang dan rumah bertingkat yang mewah. Di rumah itu kini aku tinggal. Rumah yang kuinjak sejak mama meninggal. Andini, tak lagi menjadi teman akrabku sejak aku pindah ke rumah ini, tapi justru menjadi orang yang paling membenciku. Aku tak pernah bisa memilih. Nyatanya Andini adikku.
“Kamu sama Mamamu sama saja. Sama-sama mengganggu kebahagiaan saya.”  Sura sinis dan tatap mata kebencian Tante Lidya menusuk hatiku. Tante Lidya istri tua papa. Papa menikahi mama tanpa sepengetahuan Tante Lidya. Menurut pengakuan Papa, menikahi Mama karena Tante Lidya tak bisa hamil. Siapa yang menduga bila dua bulan setelah kehamilan Mama, tante Lidya juga hamil. Mama meninggalkan Papa dan selalu mengatakan kalau mama telah menggugurkan kandungannya.
Setamat SMA aku memilih kuliah di luar negeri. Aku tak sanggup selalu dihina Tante Lidya dan Andini. Bagaimanapun Andini adikku. Sampai malapetaka itu datang. Roy, laki-laki itu penyebab Andini bunuh diri.
“Aku mencintaimu Nad. Tidak mungkin aku menikahi Andini. Aku tak mencintainya.” Dia menatapku lekat. Ada rasa sakit mengiris hatiku.

“Roy, aku juga mencintaimu. Kamu tahu, betapa sulitnya hidupku, tapi aku tak bisa menikah denganmu. Andini juga mencintaimu,” ucapku lirih. Dia menggengam tanganku erat. Matanya yang jernih menggetarkan dinding hatiku.
“Nad, kamu tak seharusnya berkorban terus untuk kebahagiaan Andini. Kamu juga harus bahagia.”
Aku terdiam.  Aku setuju dengan ucapannya. Namun, “Roy, aku tak bisa. Aku tak ingin terjadi sesuatu dengan Andini.”
“Hmm, lalu aku harus menikahinya, tak mungkin, Nad. Aku tak bisa. Kalau kamu tak mau menikah denganku. Aku pun tidak akan menikahi Andini. Sudahlah Nad, sia-sia aku menjelaskan padamu kalau selalu Andini yang kamu pikirkan.”

“Roy, tunggu!”
“Apalagi?”

“Kau mau ke mana?”
“Aku akan pulang dan mengubur semua keinginanku untuk menikahimu.”
“Roy, kamu tak mengerti.”
“Aku mengerti, karenanya percuma.”
Itu pertemuan terakhirku dengan Roy dan setahun kemudian kuterima undangan pernikahannya. Malam itu Andini mabuk dan menabrakkan dirinya.  Aku kehilanganmu Roy dan juga Andini.

***
Aku terhenyak. Kudengar gerimis membelah kesunyian. Sedang wajahku pun kini basah. Kenangan itu menghempaskanku ke jurang yang begitu dalam. Kuseka air mataku. “Aku sayang kalian berdua,” gumamku lirih, karenanya aku tak menerima Roy yang telah bercerai dan menemuiku mengajak menikah, demi kebahagiaan Andini di alam sana, dan aku masih setia dengan cintaku pada Roy. Hujan mulai menderas. Sederas air mataku. Aku tertatih memegang tongkat yang menopang tubuhku.  Di depan cermin aku berhenti. Kupandangi wajah keriputku. Di balik punggungku, aku melihat Roy dan Andini. Samar dan semakin jelas. Bayanganmu di dirinya. Selalu, mungkin sampai aku mati. ***
 Cirebon, 03 Desember 2012






RIFKI DAN NAINA


Cerpen ini juga sudah dimuat di Radar Seni edisi Minggu, 02 Desember 2012


Matahari bersinar begitu garang. Daun-daun kering beterbangan seiring berembusnya angin. Debu pun tak mau kalah, terasa menusuk pernapasan dan mengganggu mata para pengguna jalan. Rifki anak laki-laki berumur 9 tahun yang menggendong Naina, adiknya. Tetap semangat menengadahkan bungkus makanan yang telah kosong di bawah lampu merah. Mengharapkan belas kasihan para pengemudi kendaraan yang ikhlas memberikan uang. Meminta-minta itulah yang dilakukannya setiap hari. Di tengah panas terik yang menyengat dia harus melakukan pekerjaan yang menyedihkan itu. Tubuhnya kurus kerontang. Matanya cekung. Kulitnya kumal. Pakaiannya pun compang camping. Tanpa rasa lelah dia tetap menggendong Naina, yang keadaannya lebih memprihatinkan. Naina buta sejak lahir. Rifki dan Naina, dua anak manusia yang terlahir tanpa pernah bisa memilih nasibnya.

“Aa, Naina lapar,” ucap Naina dengan bibir pucat dan gemetar.

“Sabar ya Neng, Aa belum dapat uang buat beli makan.”

“Tapi dari kemarin kita belum makan.”

“Iya .. sabar, nanti agak sore ya.”

“Perut Naina sakit A’. Sakit .. beliin Naina kue ya.”

“Uang Aa cuma cukup untuk beli satu bungkus nasi. Nanti Bapak marah Naina kalau Aa’ pulang gak bawa uang,” ucap Rifki sembari menghapus peluh di keningnya. Rifki menurunkan Naina dari gendongannya dan didudukkan di sampingnya. Rifki termangu. Lengan tangannya dan pundaknya membiru. Sisa dari keganasan Bapaknya-Malik, yang pecandu obat. Malik bukan memenuhi tanggungjawabnya sebagai Bapak, tetapi justru memanfaatkan Rifki untuk mencari nafkah.

“Aa, Naina lapar. Neng gak kuat lagi A,” gumam Naina lirih. Badannya menggigil. Bibirnya bertambah pucat.

“Naina, ya udah ayuk kita beli makan.” Digendongnya Naina di punggungnya yang tipis. Rifki berjalan terseok-seok menuju warung makan yang cukup jauh dari lampu merah itu. Setengah jam berjalan, Rifki kembali dengan sebungkus nasi di tangan kirinya dan Naina digandengnya dengan tangan sebelah kanan. Mereka duduk di pinggir jalan. Disuapinya Naina dengan penuh kasih sayang. Sementara Rifki sendiri tidak makan sedikit pun.

“Aa makan juga kan?”

“Iya Neng. Aa makan kok.”

“Jangan gak makan A’. Nanti Aa sakit. Kalau Aa sakit Naina sama siapa? Naina gak mau Aa pergi kayak Emak.”

“Gak Neng. Aa akan tetap sama Neng kok.”

“Aa, seandainya saja Emak masih ada ya? kita tidak seperti ini.”

“Sudah Eneng makan aja ya. Setelah ini kita masih harus bekerja.”

Waktu terus berlari meninggalkan detak pada jam dinding. Meninggalkan Rifki dan Naina. Meninggalkan debu-debu yang beterbangan. Meninggalkan daun-daun kering. Sepeti Wati yang meninggalkan dua buah hatinya. Mati karena suaminya sendiri.

***

Ketika malam mulai beranjak, rembulan bersembunyi di balik awan. Malik yang datang sempoyongan karena mabuk mendobrak pintu yang telah rusak. Malik menyeret tubuh Wati, istrinya. Malik mengamuk karena Wati tidak memberinya uang. Wati yang sehari-harinya bekerja menjadi pembantu dan buruh cuci untuk menghidupi anak-anaknya. Sementara Malik bukan membantu istrinya bahkan sering menyiksa. Saat mengandung Naina. Malik pun sering memukul Wati hingga Naina lahir dalam keadaan buta.

“Mana uangnya?”

“Gak ada Kang. Hari ini Wati belum gajian. Pinjaman Wati juga banyak sama Ibu majikan.”

“Maneh blegug,” ucap Malik dengan bahasa sunda kasar sembari menjambak rambut Wati.

“Sakit Kang!” seru Wati.

“Mana uangnya? Mana?” teriak Malik dengan mata melotot dan tangannya mencengkeram wajah Wati.

“Gak ada Kang. Wati beneran gak punya uang.”

“Kamu bohong, cepat mana uangnya?”

“Gak punya Kang. Wati gak punya.”

Malik tambah meradang, “Maneh harus menghasilkan uang buat saya. Nanti malam ada yang datang. Kamu harus melayani Kang Sukur kalau tidak mau kamu akan saya bunuh.”

“Akang meuni tega melakukan itu ke Wati,” rintih Wati dengan suara memelas, sementara tangan Malik tetap mencengkeram wajahnya.

“Terus mau melawan?”

“Bukan begitu Akang. Wati tidak mau menjual diri Wati demi memenuhi nafsu Akang. Wati tidak mau.” Bibir Wati bergetar. Wajahnya yang cantik terlihat pucat, tubuhnya yang kurus berguncang menahan rasa sakit dalam hatinya.

“Pokoknya kamu harus melayani dia. Kalau tidak aku akan membunuhmu. Udah aku mau ke luar dulu.” Malik melepaskan cengkeraman tangannya begitu kasar hingga Wati terjatuh. Hujan memercik pelan, membasahi tanah berdebu seiring air mata Wati yang menderas.

Waktu serasa begitu menyiksa. Wati menggigil ketakutan terbaring di kasur tipis yang kumal.

“Mak, kita pergi saja tinggalkan Bapak sebelum Mang Sukur datang,” ucap Rifki mendekati ibunya yang terus menangis.

“Emak gak berani Rifki. Emak takut. Percuma, Bapakmu pasti akan mengejar Emak.”

“Kita coba dulu Mak. Rifki kasihan sama Emak,” ucap wajah polos itu. Diusapnya air mata yang menetes di pipi Wati yang kusut. “Rifki sayang Emak.” Wati memeluk Rifki erat. Dibelainya rambut Rifki yang berdebu. Air matanya terus membanjir.

“Mak, Aa’ … memang kita mau ke mana? Mau pergi ke mana? Naina takut dengar suara Bapak marah-marah.”

“Kita gak akan ke mana-mana Naina. Emak akan tetap bersama kalian.”

Mereka terhenyak mendengar ketukan pintu dari luar.

Wati terkesiap. Jantungnya berdetak kencang. Dia peluk kedua anaknya erat. Mereka duduk di sudut kasur busa.

“Tok .. Tok .. Tok ..” ketukan ketiga kali terdengar lagi. Si Pengetuk mulai tak sabar.

“Punteeen!” seru orang dari balik pintu. Wati tak menjawab.

“Wati! ini Sukur. Buka pintunya. Malik sudah berjanji padaku dan kamu juga sudah tahu kan? Ada apa aku datang ke sini.”

Wati tak menghiraukan suara itu. Wati dengan cekatan menggendong Naina dan menarik tangan Rifki.

“Ayuk kita pergi, Emak gak mau harus melayani bandot tua itu,” ucap Wati lirih berbisik di telinga Rifki.

Dengan langkah tergesa mereka keluar dari pintu belakang. Wati terkaget saat lengannya ditarik seseorang.

“Aku sudah duga kamu akan pergi kan? Mau ke mana kamu?” suara itu sangat dikenalnya. Suara Malik suaminya.

Wati belum menjawab, Malik menyeretnya ke dalam rumah.

“Jangan Akang, Wati gak mau harus melayani bandot tua itu.”

“Ah … gak ada tapi-tapi. Sudah cepat sana kamu dandan.” Teriak Malik sembari merebut Naina dari gendongan Wati.

“Dasar anak buta. Kamu pembawa sial!” teriak Malik dan membanting tubuh Naina di lantai tanah.

Naina menangis. Wati pun menangis. Sementara Rifki segera meggendong Naina.

“Bapak tega sekali membanting Naina. Naina adik Rifki. Bapak gak boleh bilang begitu, Naina bukan pembawa sial.”

“Diaaam, kamu ikut-ikutan aja. Kamu itu masih kecil. Udah sana kamu harus cari uang. Kamu tidak boleh di rumah malam ini.”

“Rifki gak mau Pak. Rifki akan melindungi Emak.”

“Aaaah, kamu!” teriak Malik dan menampar pipi Rifki.

“Jangan tampar Rifki Kang. Jangan! Tampar Wati saja. Rifki, pergilah Nak. Emak akan baik-baik saja.”

“Rifki gak bisa Mak. Rifki gak bisa meninggalkan Emak.”

“Pergi Nak, pergi.”

“Aaaah, sandiwara apa ini? Cepat kamu pergi Rifki, kalau tidak. Mau kamu ditendang? Cepat pergi.” Teriak Malik.

“Jangan Kang, jangan kasar sama Rifki.” Wati menghambur memeluk kedua anaknya..

“Malik, jadi bagaimana ini? Awas kalau kamu tidak menepati janjimu. Sepertinya aku membuang waktuku ada di sini. Katamu Wati sudah siap. Ternyata kamu menipuku Malik.” Suara Sukur menghentak di antara adegan kekerasan itu.

Malik membuka pintu, “Maaf Kang, Wati pasti mau.”

“Aah, aku gak mau kalau dipaksa begitu. Sudahlah Malik. Aku sudah tidak berminat lagi. Lebih baik aku pergi dari sini. Aku tetap akan menagih hutangmu Malik dan jangan berharap sebutir pun aku akan memberikan obat itu lagi.”

“Kang Sukur, tunggu Kang. Tunggu! Wati pasti mau kok. Dia pasti mau Kang.”

“Aah, sudahlah.” Sukur menendang tubuh Malik yang bersimpuh memohon.

“Kang, tunggu Kang. Tunggu! Malik butuh obat itu. Tunggu Kang, tunggu!” Malik meraung-raung, tapi Sukur sudah menghilang di kelokan.

Pandangan Malik beralih ke Wati.

“Maneh, sudah menghancurkan semuanya. Maneh tidak berguna.” Dengan mata merah Malik menarik tangan Wati yang memeluk kedua anaknya.

Rifki dan Nina terpental dari pelukan Wati. Malik seperti kesetanan. Akal pikirannya sudah tak waras. Malik berkali-kali memukul tubuh Wati.

“Jangan pukuli Emak Pak,” ucap Rifki berderai air mata. Naina juga menangis.

“Diaaaaam.” Malik bertambah marah, dia mengambil pisau dari saku celananya.

“Wati kamu sudah mengecewakan. Kamu harus menerima akibatnya. Kamu tidak berguna,” bentak Malik dengan pisau terhunus. Pisau itu berkilat terkena cahaya lampu. Wati berteriak parau, “Rifki pergi Nak, pergilah! Bawa Naina pergi. Emak akan baik-baik saja.”

“Jangan Pak. Jangan bunuh Emak. Jangan Pak.”

“Kamu, anak kecil ikut-ikutan. Kamu berani sama Bapak.”

“Rifki! Pergi Nak. Pergilah, tolong Nak! Pergilah.”

“Diaaam.” Malik berteriak tambah keras. Dengan pisau terhunus, tubuh Wati diseret keluar rumah.

Rifki mendekap erat Naina yang terus menangis.

“Aa’ ada apa sebenarnya?” Rifki tak menjawab. Hanya tangisan keduanya yang terdengar.

Sementara Wati berhasil melepaskan diri dari Malik. Malik setengah sakau mengejar Wati. Wanita malang itu berlari menuju jalan raya. Dari arah berlawanan sebuah mobil truk melaju begitu kencangnya.

“Braaaak.” Wati tertabrak. Darah muncrat di mana-mana. Tubuh Wati tergilas mobil truk. Rifki meraung sedih, “Emaaaak,” teriaknya. Pengemudi mobil truk bukannya menolong malah langsung tancap gas. Tinggallah tubuh Wati yang remuk tak beryawa dan tangisan Rifki. Sedangkan Malik yang sakau masih belum menyadari apa yang terjadi. Langit menangis semakin deras. Malam terasa begitu kelam bagi Rifki. Di depan matanya dia melihat adegan demi adegan mengerikan itu.

***

Rifki menyeka air matanya, “Eneng udah kenyang?” tanya Rifki dengan suara terbatuk.

“Sudah A’. Sekarang kita di mana?”

“Masih kerja Naina.”

“Bu, minta sedekahnya Bu, minta sedekahnya Bu,” ucap Rifki ketika trafick ligth berwarna merah berkali-kali dan tak ada seorang pun yang memberi hingga seorang wanita yang terlihat muda dan cantik membuka kaca mobilnya. Dia mengulurkan uang lembaran seribu rupiah. Kaca mobil segera tertutup saat trafick light berwarna hijau. Dalam sekejab mobil itu sudah menghilang dari pandangan Rifki. Di bekakang mobil itu seorang wanita sederhana yang menumpang becak mengeluarkan uang limapuluhribuan dan menjatuhkannya di hadapan Rifki. Dia berteriak “Itu untuk kamu. Ambil ya,” ucapnya dari dalam becak yang telah menjauh. Pandangan wanita itu terus menoleh ke belakang. Rifki berlari mengambil uang itu agar tak terbang terbawa angin. Seulas senyum mengembang di bibirnya saat Rifki berhasil mengambil uangnya.

“Alhamdulillah. Naina, Aa’ dapat uang banyak hari ini.”

“Oh ya? Kok bisa? tadi katanya masih dapat sedikit.”

“Tadi ada seorang ibu yang baik. Kita beli makan lagi yuk. Aa’ belum makan.”

“Loh, tadi Aa’ gak ikut makan ya?”

“Enggak Neng kan biar Eneng kenyang.”

“Aa’. Eneng sayang Aa’. Jangan tinggalkan Eneng ya. Kalau langit itu warnanya apa ya?”

“Sekarang warnanya biru Neng. Cuacaranya sedang cerah.”

“Ooh … kalau saja Eneng bisa melihat pasti indah ya A’?

“Ya, Eneng kan bisa nanya sama Aa’ apa yang pengen Eneng tahu.”

“Kenapa Emak gak pernah pulang ya A’? Emak itu seperti apa ya wajahnya?”

“Emak sudah ada di atas langit. Emak sudah bahagia di sana. Emak itu cantik kayak Eneng, nanti kita pasti akan berkumpul?” ucap Rifki sendu.

“Ooh. Eneng gak sabar ingin mendengar suara Emak lagi. Eneng kangen Emak A’.”

Rifki tak menjawab. Kakinya yang hitam legam dan tak memakai sendal melangkah menyusuri trotoar. Panas masih terasa menusuk hati Rifki yang gundah, terlebih saat Naina merengek dan bertanya soal Emaknya.

“Emak, Rifki janji akan menjaga Naina. Rifki tahu Emak melihat kami dari atas langit sana,” gumam Rifki dalam hati. Pilu. ***

Cirebon, 09 Nopember 2012


Keterangan:

Aa = panggilan untuk anak laki-laki yang lebih besar (kakak)

Eneng, neng = panggilan untuk anak perempuan.

Kang, akang = abang

Meuni = sungguh

Maneh = kamu Blegug = bodoh










RINDUKU PERGI BERSAMA HIDUPKU
telah dimuat di Rima News : http://www.rimanews.com/read/20121119/82164/rindu-pergi-bersama-hidupku-cerpen-mening-alamsyah

Dingin menyergap tubuhku. Cuaca mendung dan ruangan ber-Ac ini membuatku menggigil. Aku terpuruk di sudut ruangan bisu yang beku. Hatiku pun mulai beku saat kau hadir dalam relung-relung ingatan. Kau, laki-laki yang kukenal dari jejaring sosial. Laki-laki yang belum pernah kutatap matanya secara nyata. Kau seperti hantu yang mengganggu hari-hariku. Begitu banyak kenangan yang tak mungkin terlupa. Kau laki-laki bermata teduh dengan tubuh tinggi semampai sungguh atletis. Senyummu yang mengembang terlihat begitu manis. Baju kaos hitam dan topi itu selalu lekat dalam anganku. Gambaran yang bisa kusimpulkan dari foto-fotomu di dunia maya. Kau yang dulu selalu hadir di setiap pagiku. Menyapaku di Yahoo Mesengger walau kadang tak kuacuhkan. Kau temani aku menulis kekesalan hatiku sepanjang hari. Kau sabar membaca kata demi kata berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun sampai datang hari itu. Kau mulai mempertanyakan rasa dalam hatiku.
“Kamu sebenarnya menganggap aku apa?”
“Mas, kok nanya begitu?”
“Ya, aku hanya ingin tahu.”
Aku tak langsung menjawab. “Hmm,” gumamku.
“Kok hmm?”
“Ya, karena aku sudah pernah sampaikan ke Mas. Mas itu orang terpenting dalam hidupku. Penyejuk hatiku. Mas selalu bisa membuat aku bahagia.”
“Kamu mencintai aku tidak?”
“Maksudnya cinta ini cinta yang seperti apa?”
“Ya, cinta seperti seorang wanita yang mencintai laki-laki.”
Cinta, kata ini sungguh aku tak tahu artinya. Apakah termasuk cinta bila aku merasa rindu? Merasa ingin selalu berbincang dengannya. Apakah juga bisa disebut cinta bila aku bahagia karenanya.
“Mas aku anggap seperti kebutuhan batinku.”
“Kok begitu?”
“Ya,  karena aku tak tahu apa artinya cinta itu.”
“Aneh.”
“Ya, aku memang aneh.”
“Aneh, kamu itu sudah menikah. Masa’ gak tahu artinya cinta itu apa?”
“Ya, aku memang sudah menikah Mas, tapi aku tak tahu apakah aku mencintai suamiku atau tidak.”
“Loh, kenapa kamu memutuskan menikah dengannya kalau tak mencintainya?”
Aku terdiam tak segera mengetik huruf demi huruf untuk membalas pesannya, “Aku menikahinya karena dia yang bisa menerimaku apa adanya. Dia rela menikahiku yang sudah tak perawan.”
“Ya, aku sudah tahu kalau soal itu.”
“Lalu apalagi Mas? Bukankah sudah kujelaskan aku tak mengenal cinta. Hidupku bukan untuk cinta Mas. Aku tak pantas merasakan cinta.”
“Bagaimana kalau aku mencintaimu, apakah kau percaya?”
“Mas mencintaiku?”
“Ya, dari dulu aku mencintaimu.”
“Aku memang tak percaya. Mas sudah memiliki istri yang begitu Mas cintai.”
“Memang, tapi aku akan segera bercerai dari isteriku.”
“Aku sungguh bahagia Mas mencintaiku, tapi kok aku tetap gak percaya ya? Kenapa Mas harus bercerai? Apakah karena alasan anak?”
“Bukan. Kami sudah lama tidak cocok. Banyak masalah yang timbul. Sudah lama kami coba pertahankan, tapi tetap tak menemukan titik temu.”
Aku seperti kehilangan kata-kata.
“Maukah kau menikah denganku setelah bercerai dari istriku?”
“Mas, aku ...”
“Kamu menolakku ya?”
“Maaf Mas. Tidak mungkin aku bercerai dari suamiku. Keluargaku berhutang banyak padanya. Dia yang memberi kebahagiaan untuk keenam adik-adikku. Aku rela berkorban demi adik dan orang tuaku walau aku tak mencintainya.”
“Ya sudah. Aku tak memaksamu.”
Kalimat itu kalimat terakhir dari perbincanganku dengannya. Setelahnya dia sama sekali tak pernah menyapaku lagi. Dia sudah menghapusku dari daftar pertemanannya. Dia benar-benar menjauh. Aku memang tak bahagia menikah dengan suamiku. Aku menikah karena hartanya. Sudah berkali aku terluka karena cinta. Kesucianku yang terenggut paksalah awal mula aku membenci laki-laki. Aku yang cantik dengan hidung mancung, tubuh semampai, dan kulit putih bersih rela menikahi laki-laki paruh baya yang bertubuh tambuh demi uangnya untuk membayar hutang-hutang orang tuaku. Pernikahanku yang sudah lebih tiga tahun ini belum juga membuatku mengandung. Kebahagiaan seperti apa yang kudapat kecuali hartanya. Hidup bergelimang harta tetap tak membuatku bahagia, pagi ini aku benar-benar merindukan Mas Restu.
“Mas, mengapa kau tega meninggalkanku begini. Mengapa kau tak mau hanya menjadi temanku?” Tanyaku dalam hati. Bulir bening mulai menetes di pipiku yang putih bersih. Kubiarkan benda hangat itu membasahi wajahku, mengalir lembut menuju bibirku yang merah merona. Nyatanya aku merindukannya, itu sungguh menyakitkan. Bukankah aku seharusnya membenci laki-laki? kalimat itu tak berlaku untuk Mas Restu. “Mengapa tak kau biarkan aku tahu keadaanmu, hanya tahu. Itu cukup buatku,” batinku perih.
***
Hari-hariku berlalu tanpa Mas Restu. Dia meninggalkan luka yang begitu dalam di hatiku. Aku hanya berusaha menjalani kehidupanku secara normal. Menjadi seorang istri yang setia. Segayung air dingin mengguyur tubuhku yang semampai membasahi setiap lekuk-lekuknya. Kubuka tutup sampo dan mengeluarkan isinya aku mulai meremas-remas rambutku. Membersihkan mahkotaku yang indah. Aku tercekat, rambutku seperti tercerabut. Tanganku penuh dengan rambut yang tergenggam. Ini kali kedua setelah tadi pagi kudapati rambutku terlepas dan bergumul mesra di atas bantal. “Ya Tuhan ada apa ini?” kepalaku terasa berat. Semuanya gelap. Senyap tak ada suara. “Mas Restu tunggu ... jangan tinggalkan aku Mas, jangan ... aku membutuhkanmu!” teriakku di antara pekat yang begitu menyiksa. Tak ada sahutan. Aku menggigil. Badanku seperti berada di dalam frezer. Dingin membeku.
“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mbok Yem, pembantuku.
“Mbok, saya kenapa?” tanyaku heran. Kini tubuhku terasa hangat dengan selimut tebal memeluk erat.
“Tadi ibu pingsan di kamar mandi. Saya lama menunggu kok gak ada suara, lalu saya memanggil ibu-ibu di komplek sini Bu.”Mbok Yem begitu lekat menatapku.
“Mbok Yem, tadi saya itu ...” Aku tak meneruskan, anganku yang melambung membayangkan betapa malunya tadi aku pingsan dalam keadaan telanjang.
“Perempuan semua kok, Bu. Tadi saya panik. Menelepon bapak tidak diangkat-angkat.”
“Ya, gak papa Mbok. Terima kasih ya. Nanti kalau bapak tanya bilang saja salah pencet ya, jangan ceritakan keadaan saya tadi.”
“Tapi, Bu.”
“Tolong ya Mbok Yem. Bapak sedang sibuk dan mungkin tidak akan pulang dalam dua minggu ini.”
“Iya Bu,” jawabnya tanpa membantah lagi.

Aku mulai merasa aneh. Tubuhku bertambah kurus. Berkali-kali mimisan. Aku pun begitu cepat merasa lelah padahal tak melakukan kegiatan apa pun kecuali membaca dan berselancar di dunia maya. Suamiku yang jarang di rumah membuatku merasa sepi. Mbok Yemlah yang selalu setia menemaniku.
“Dok, sebenarnya saya sakit apa ya?”
“Dari gejala yang ibu sebutkan, ibu menderita leukimia, tapi hasil yang pasti dapat diketahui setelah cek darah.”
“Apa Dok? Leukimia?”
“Iya benar Bu. Dua hari lagi ibu dapat mengambil hasil tesnya.”
Kutinggalkan rumah sakit. Menyusuri jalanan dengan perasaan gundah. “Ya Tuhan, ijinkanlah aku bertemu Mas Restu walau satu kali saja. Aku tahu aku salah. Aku berdosa memikirkan laki-laki lain sedang aku memiliki suami. Ijinkanlah sekali saja bertemu sebelum ajal menjemputku,” rintihku pilu dalam hati. Kulangkahkan kakiku menyeberangi jalanan yang begitu ramai. Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Aku merasa sebuah benda menabrakku. Aku terpental. Hening, tak ada satu suara pun. Setelahnya aku seperti terbang ke alam yang tak pernah kulihat selama ini.

Cirebon, 19 November 2012







MAAF! AKU TELAH MENGATAKANNYA
Cerpenku yang telah dimuat di Radar Seni edisi Minggu, 11 November 2012

Malam meremang berteman kerlip bintang dan rembulan yang malu-malu. Benda langit itu mengintip dari balik gumpalan awan. Mendung, semendung hati Rani, gadis manis berkerudung putih. Bulir bening mulai menetes di pipinya yang sayu. Matanya cekung karena tiga malam terakhir, dia sama sekali tak dapat memejamkan mata.  Di angkutan umum warna biru yang kini akan mengantarkannya pulang ke rumah setelah pulang dari Ujian Tengah Semester, hatinya terasa sakit. Suasana di dalam angkot yang sepi dan hanya seorang diri membuatnya membiarkan air mata membanjiri wajahnya di sepanjang perjalanan. Dia ingat perbincangannya dengan teman-teman sekelasnya sebelum ujian tengah semester dimulai.

“Hai, kamu! Sok pintar.”
“Sombong banget, gak mau ikutan,” ucap Hendro.
“Maaf, teman-teman. Aku gak bisa ikut kalian, aku ingin mencoba kemampuanku sendiri, aku tidak mau mencontek seperti itu, apakah kalian juga tidak ingin mencoba terlebih dulu? Kita baru semester satu, ini UTS yang pertama,” ucapnya menolak tawaran teman-temannya yang sudah mendapatkan soal ujian sebelum ujian dilaksanakan dan berharap ada yang setuju dengan pendapatnya.
“Apa sich alasan kamu? aneh ada yang mudah kok memilih yang sulit.”
“Aku ingin mencoba kemampuanku dulu. Ini kan baru UTS pertama, masa’ sudah begitu.”
“Ya, sudah. Sekarang begini, kamu harus janji sama kami, kamu tidak akan mengatakan hal ini ke siapa pun.”
Rani terdiam sejenak. Lalu, “Ya, aku janji.”

Janji itu menyakitkan hati Rani. Tiga hari selama UTS, mereka teman-temannya dengan nyaman tanpa perasaan bersalah hanya memindahkan jawaban yang sudah mereka kerjakan secara berkelompok. Hari ini puncak rasa sakit itu, saat teman terdekatnya, Hafsah juga ikut dengan mereka semua. Tinggal Rani sendiri yang jujur menjawab tanpa tahu soal sebelumnya. Bukan hanya itu karena Rani orang pertama yang mengumpulkan jawaban. Ada dua orang yang dengan sengaja menyindirnya. Baru saja soal selesai dibagikan oleh Dosen Pengawas, tiba-tiba suara Hasan menyengat telinga Rani.
“Ini Pak saya sudah selesai.”
“Ran, tuch Hasan meledek kamu,” ucap Joko.
Rani masih bisa bersikap netral, “Gak papa, biarkan saja. Kalau berbuat tidak baik kepada orang lain. Nanti juga ada yang membalas.”
“Iya, Ran. Gimana udah selesai?” ucap Sonny ketua kelas disertai suara teman-teman lainnya yang tertawa terbahak-bahak. Kali ini membuat Rani kesal. Kepalanya pusing karena dia tak bisa tidur beberapa hari ini ditambah soal ujian yang jelas tidak mudah. Rani dengan lemas mengerjakan soal-soal itu. Keadaannya yang lemas diperhatikan Dosen Pengawas yang juga Dosen pengajarnya.
“Ada apa? Kok lemes banget?”
“Iya Pak. Capek habis pulang kerja, langsung UTS,” jawabnya sedih.
“Ooh ...” Sang Dosen tersenyum dan meninggalkannya.

Rani yang selalu berprestasi di kelasnya semasa SMA tidak dapat melanjutkan kuliah seperti keinginannya. Pak Haryo, ayahnya meninggal saat dia masih kelas III SMA. Sementara ibunya yang hanya ibu rumah tangga biasa tidak mungkin membiayainya karena tidak mempunyai pekerjaan apa pun. Ibunya membuka warung kopi untuk biaya hidup mereka. Setamat SMA Rani memutuskan merantau. Kini dia dapat kuliah sore hari selepas bekerja di pagi harinya. Rani, tak pernah menyangka di Universitas tempatnya kuliah kini, dia menemukan hal seperti itu. Siapa sebenarnya mereka yang dengan rela memberikan soal kepada Mahasiswa.  Rani sedih. Dia sungguh tak ingin membohongi dirinya sendiri dengan ikut seperti mereka. Rani tak pernah memimpikan akan kuliah seperti itu.

Sikap berbedanya ini membuat teman sekelasnya menjauhinya. Bagi Rani itu tak masalah. Dia tetap akan menjadi dirinya sendiri. Namun, Rani merasa tersiksa dengan menutupi apa yang telah terjadi. “Bagaimana wajah pendidikan Indonesia? Bagaimana mutu pendidikan Indonesia bila seperti itu adanya?” gumamnya membatin. Setiap malam selama UTS berlangsung, Rani tetap belajar dan membaca diktat-diktat semampunya. Dalam pikirannya terlintas keinginannya untuk mengadukan hal itu ke Dosen atau Dekan. Rani harus melakukan demi ketenangan hatinya.

***
Rani menghapus air mata yang terus menetes. Hatinya masih gamang. Apakah yang harus dilakukannya? Mengingkari janji ke semua teman sekelasnya atau mengadukan hal itu ke pihak universitas. Rani tak mendapatkan satu pun jawaban, hatinya bertambah resah. Malam seakan bertambah kelam, matanya menyusuri jalan beraspal, rumah, dan  pohon yang berderet. Rani seperti berada di atas jembatan yang di bawahnya terlihat jurang yaang begitu dalam. Kadang Rani benci dengan perasaannya sendiri. Mengapa dia harus merasa bersalah untuk hal yang tak dilakukannya.

“Dek, turun di mana?” tanya sopir angkot mengagetkan Rani.
“Di terminal Pak.”
“Ooh.”
Hanya sebatas itu obrolan antara Rani dan Sopir Angkot.  Setelahnya Rani membisu. Rintik hujan mulai menetes membasahi tanah yang kering. Lama sudah tak turun hujan. Hujan itu suatu anugerah bagi mereka yang saat ini menantikan. Seperti Rani yang menanti jawaban dari konflik batinnya. Harum tanah basah menyeruak. Mengisi lekuk-lekuk hati Rani yang sedang perih.

Ditemani hujan, Rani sampai di kamar kosnya yang sepi. Malam ini, Rani akan memohon kepada Allah, setelah selesai dari masa menstruasi. Di sepertiga malam yang gigil. Rani mulai bermunajat. Di luar, gemuruh hujan mulai terdengar. Angin kencang menggoyangkan pohon-pohon perkasa. Namun tak mengurangi kekhusuan doa Rani.

***

Hari terakhir UTS. Sore ini Rani merasa lebih segar. Kini, dia yakin apa yang harus dilakukannya. Selepas UTS Mata Kuliah Bahasa Inggris, Rani menemui Pak Doni, Pembantu Dekan di bidang kemahasiswaan.

“Maaf, Pak. Saya ada perlu dengan Bapak.”
“Oh, boleh. Mari masuk.” Pak Doni  mengajaknya ke ruangan pribadi Pak Doni.”
“Ada apa Rani?”
“Saya sebenarnya memberanikan diri menemui Bapak.”
“Ya, ada apa?”
“Saya mohon maaf sebelumnya Pak. Saya ...”
“Ada apa Rani?”
“Saya ingin mencurahkan isi hati saya Pak, boleh?”
“Boleh Rani. Silakan.”
“Saya kan baru ya pak, kuliah di sini. Saya juga baru ikut UTS pertama di sini, tapi saya kaget Pak, kok teman-teman sudah mendapat soal ujian sebelum ujian. Apakah di sini hal itu dibolehkan? Mohon maaf Pak.”
“Ya tidak Rani. Tidak dibenarkan. Sebenarnya isu tentang hal itu sudah lama terdengar dan sudah sering dibahas di rapat. Namun ternyata sekarang muncul lagi. Kalau dulu Dosen Pengawas yang menemukan, kali ini justru Mahasiswanya sendiri yang melaporkan.”
“Iya, saya awalnya ragu, tapi saya tersiksa sendiri Pak. Saya sampai tidak bisa tidur. Saya hanya ingin menyampaikan ini kepada orang yang tepat. Kalau ke orang luar Universitas, saya justru malu. Bagaimana pun ini adalah kampus saya.”
Rani mengehala napas. Suaranya mulai parau karena menahan tangis.
“Sebenarnya saya sudah berjanji ke mereka untuk tidak mengatakan ini kepada siapa pun, pak.” Rani tak kuasa menahan lagi. Gundukan kristal di kedua sudut matanya mulai meleleh. “Saya, serba salah Pak. Saya hanya ingin berbuat sesuatu yang benar. Sejauh ini saya berusaha jujur.”
“Rani, tidak perlu merasa begitu. Biasa saja menghadapinya.”
“Iya, Pak. Saya sedikit lega setelah menceritakan ini ke Bapak. Apa pun tindak lanjutnya itu kewenangan Pihak Universitas. Saya hanya ingin mencurahkan apa yang saya rasa Pak bukan bermaksud menjelekkan teman-teman saya.”
“Ya, untuk menyelidikinya pasti membutuhkan bukti-bukti, tapi saya akan menyampaikan dalam rapat bahwa ada laporan dari Mahasiswa mengenai hal itu.”
“Terima kasih Pak. Saya melakukan ini karena saya cinta kampus ini dan pendidikan di Indonesia, kalau begitu saya permisi ya, Pak. Terima kasih, bapak bersedia menerima saya.” ucapnya sembari menghapus air matanya.
“Sama-sama Rani.”

Rani meninggalkan ruangan Pak Doni dengan perasaan lega. Dia masih harus mengikuti ujian satu mata kuliah lagi. Apa pun yang akan terjadi, Rani sudah siap menghadapi. Baginya, kejujuran lebih utama, dan keberanian itu akan hadir seiring kebenaran. “Teman-teman, maaf! Aku telah mengatakannya. Percayalah, ini demi kebaikan kalian juga,” ujarnya dalam hati.

TAMAT

Cirebon,  04 November 2012




PERTEMUAN TERAKHIR

bintang gemintang bertaburan di langit benderang
bawa lamunan senyum menawan
menerbangkan angan ke masa silam
menuntun susuri ingatan

masih terasa, kala kaurengkuh aku
dalam dekap hangatmu
kaugantung asa di pundakku
buatku lari mengejar waktu
yang tak pernah mau menunggu

ibu!
wajah keriputmu penuh gurat kesedihan
kisahkan cerita kepiluan tentang beban kehidupan

malam itu kita bercengkrama
di antara remang cahaya
tersirat binar bahagia
dari matamu yang membasah
kita tertawa hahahaha
luapkan rasa, lama tak bersua

tak ternyana malam itu
ya, malam itu
terakhir kita bertemu
kau telah pergi menjauh
sebelum waktu ijinkan kubersimpuh
membasuh kedua kakimu

bersebab takdir pisahkan kita 
berjarak jutaan depa
tinggalkan rasa luka
karena saat kutiba
hanya gundukan tanah merah
dan batu nisanmu yang menyapa
tanpa katakata!

Cirebon, 14 Mei 2012

Di luar malam bertabur bintang bermandikan cahaya. Aku membisu di kamar remang berteman sinar temaram. Anganku melayang mengingat kejadian yang menyakitkan di siang itu. Enam tahun yang lalu, saat aku menerima sebuah telepon. Hawa dingin seketika merasuki tubuhku, gemetar. Rasa tak percaya masih mengurungku. Ya Allah, mimpi beberapa minggu yang lalu kini benar terjadi. 

“Tidak! ... Mamak belum meninggal. Tidak!, bagaimana nasib adik-adikku kalau Mamak meninggal” teriakku dalam mimpi di suatu malam. Aku masih sangat ingat kata-kata itu dan tak menyangka apa yang kurasa di malam itu, kini menjelma nyata. Siang yang serasa gelap gulita saat terdengat suara di ujung telepon.
“Halo ... Assalamu’alaikum” jawabku.
“Waalaikumsalam. Ini sama abang dek” suara kakak iparku terdengar “Mamak .... Mamak udah gak ada dek.” Katanya terbata-bata.
“Udah gak ada, maksudnya gimana bang?” aku tercekat, beberapa hari kemarin kakakku telepon mengabarkan Mamak sakit. Aku sudah mempersiapkan akan pulang ke Sumatra besok lusa. Tiket pesawat sudah dipesan.

“Iya dek. Mamak udah gak ada.”
“Gak ada maksudnya gimana Bang?” aku masih mempertanyakan berharap mendapat jawaban yang berbeda dengan apa yang kupikirkan.
“Mamak ...“ suara Bang Hargo terdengar parau, dia berhenti sesaat. “Adek jangan panik ya. Mamak sejam yang lalu meninggal.”
“Apa Bang? meninggal?” Seketika aku tak bisa menguasai diriku. Aku langsung histeris.
“Abang bohong kan. Abang bohong?” Aku tambah histeris.
“Iya dek benar. Ini abang sama Aldi.” Kata Bang Hargo menyebut nama adikku. Sesaat hening lalu ...
“Iya kak ... Mamak udah meninggal” terdengar suara yang sangat kukenal di ujung telepon. Suaranya terbata-bata.
“Jadi bener dek ... bener Mamak udah meninggal? Innalillahi Wa inna ilaihi rojiun” kataku pilu.
“I...i..iya kak bener. Kakak tenang ya” jawab Aldi sambil menangis.

Lap ... jiwaku serasa terbang. Aku langsung menangis. Telepon tak lagi kuhiraukan. Air mata mengucur deras di pipiku. Tubuhku lemas tak bertenaga. Beberapa teman memapahku yang terus menangis. Ada seorang teman yang menelepon suamiku. Tak lama kemudian suamiku datang. Di tengah perasaan yang hancur luluh. Aku harus segera merubah jadwal kepulanganku ke Sumatra. Seorang teman tanpa kuminta bersedia meminjamkan mobilnya dan mengantar kami ke tempat pembelian tiket pesawat. 

Sepanjang jalan aku tak bisa berkata apa-apa. Aku serasa gagu. Bulir-bulir bening terus menetes di pipiku. Tenggorokanku terasa kering. Lidahku kelu. 
“Nay... sabar ya!” ucap Yulia temanku yang setia mendampingi. Aku hanya mengangguk. Suamiku juga tak banyak bicara hanya diam. Kami membisu.

Sesampai di tempat pembelian tiket pesawat. Suamiku yang mengurus semuanya walau baru tadi pagi kami beli tetap saja ada tambahan biaya yang harus kami keluarkan untuk perubahan tanggal keberangkatan. Selesai mengurus semuanya mereka mengantarkan kami pulang ke rumahku.

Di teras rumah. Mbak Yum dan Yoga anakku sudah menyambut kami. “Sayang” Aku langsung menggendong anakku. Hatiku tambah berdarah. Yoga yang belum genap dua tahun, dia belum pernah bertemu dengan Neneknya. Kini Neneknya sudah meninggal.
“Yoga, Nenek meninggal sayang” ucapku di antara tangisan Yoga yang melihatku menangis pun ikut menangis. Hatiku semakin perih.

“Mak... maafkan Nayla ya” gumamku dalam hati. Ada rasa menyesal menghimpitku. Kalau saja aku segera pulang saat mendapat telepon mengabarkan Mamak sakit pasti aku masih bisa memandang wajah Mamak untuk terakhir kalinya. Penyesalan itu tak ada gunanya lagi kini. Aku harus segera mempersiapkan baju dan perlengkapan lainnya untuk kepulanganku besok. Sungguh aku merasa tak mampu melakukannya. Namun siapa lagi yang akan mempersiapkan. Tangisku masih setia menemaniku, terlintas wajah mamak saat terakhir aku berada di Sumatra. Saat itu aku pulang setelah menikah. Semalaman Mamak cerita. Begitu terlihat penderitaan di wajah Mamak.

“Nduk... Mamak pengennya masa tua Mamak ikut sama kamu ya. Bolehkan?” 
“Boleh dong Mak. Aku pasti senang sekali kalau hal itu benar terjadi, Mak” Jawabku dengan binar bahagia.
“Iya Nduk, tapi gak sekarang. Nanti kalau adikmu sudah lulus sekolahnya”
“Iya Mak. Nayla ngerti. Nayla berharap semuanya akan terwujud ya Mak” kataku sembari tersenyum.
“Iya Nduk. Mamak gak mungkin ikut sama kakakmu. Kasihan anaknya banyak” Wajah Mamak terlihat sedih.
“Iya Mak, Nayla gak sabar menunggu waktu itu datang. Udah jangan sedih ya” Jawabku lagi dengan senyuman, mengalihkan kesedihan Mamak.
“Iya Nduk,” tapi ngomong-ngomong pantas saja ya kamu bisa jatuh cinta sama suamimu. Wong ganteng gitu hehe” Ledek Mamak membuatku tersipu.
“Mamak. Aku sayang sama suamiku. Ya, gimana udah suka dari sejak pertama ngelihat” jawabku dengan pipi menjambu.
“Kamu seleranya tinggi ya Nduk” Mamak lagi-lagi meledekku.
“Mamak kok ngomong gitu” jawabku tambah tersipu.
“Iya Nduk. Bener kan?” Kata Mamak dengan tatapan menggodaku.
“Hehehe Mamak.” Jawabku sekenanya.
“Gak nyangka ya Nduk. Kamu sekarang sudah menikah.”
“Iya Mak, Gak terasa ya. Waktu itu aku pulang masih sendiri. Sekarang bawa suami ya Mak”
“Iya Nduk. Nanti pulang lagi pasti bawa anak.”
“Amin, semoga ya Mak.”
Mamak tersenyum. Aku merasa bahagia malam itu. Ya, semalaman kami bercerita. Aku sengaja tidur sekamar dengan Mamakku dan Mas Restu suamiku mengijinkan.

Aku tak pernah menyangka obrolan malam itu adalah obrolan penuh kemesraan yang terakhir antara aku dan mamak karena pagi-pagi sekali, aku sudah harus bersiap-siap pulang ke Jawa dan kini hanya kabarnya yang kudengar.“Nanti pulang lagi pasti bawa anak” Kalimat ini, kini sungguh serasa selaksa sembilu menusuk hatiku. Mamak benar aku akan pulang membawa anakku Yoga, tapi .. Ah! aku tak mampu menerusakan kata-kataku dalam hati. Airmata membanjiri pipiku lagi. 

Menjelang sore aku mulai tenang. Aku harus mengirim doa untuk Mamak karena saat ini hanya itu yang bisa menghubungkan aku dan Mamak. Setelah sholat asar aku berdoa dalam hati, “Ya Allah ampunilah dosa-dosa ibuku Ya Allah” pintaku dengan linangan air mata. “Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa. “Allahummaghfir laha, warhamha, wa ‘aafihi, wa’fu ‘anha. wa akrim nuzulaha, wa wassi’ mudkhalaha. waghsilha bilmaa`i wats tsalji wal baradi, wa naqqihi minal khathaayaa kamaa naqqaitats tsaubal abyadha minad danasi. wa abdilha daaran khairan min daarihi, wa ahlan khairan min ahlihi, wa zaujan khairan min zaujihi. wa adkhilhul jannata, wa a’idzha min ‘adzaabil qabri, au min ‘adzaabin naar. Amin Ya Robbal Alamin.

Pukul 10.30 malam sebuah mobil travel menjemputku beserta suami dan anakku. Hatiku seperti tersilet-silet saat berada di mobil itu. Hampa, walaupun aku pulang tak kan kulihat lagi wajah Mamak. Aku sudah mengijinkan mamak dikebumikan sebelum aku datang. Tidak mungkin menungguku. Terlalu lama, kasihan Mamak. Sesampai di Bandara sama hambarnya. Aku tak menikmati sama sekali perjalanan itu. 

Justru perasaanku tambah hancur saat pesawat akan lepas landas dan Yoga terus menangis. Yoga seperti tahu kalau aku sedang bersedih. 45 menit kemudian pesawat mendarat di Bandara Polonia. Dari bandara kami masih harus menempuh 4 jam lagi perjalanan. Kali ini aku tidak terlalu berhemat-hemat ria. Yang terpikirkan aku harus segera sampai. Kami menyewa taxi menuju ke pangkalan Paradep taxi. Travel murah meriah menuju Siantar. Perjalanan terasa lama. Hawa sejuk yang hadir di sepanjang jalan dari perkebunan karet yang terbentang tak mampu mendinginkan hatiku yang panas karena nyeri dan perih.

Sesampai di rumah Mamak, suara tangisan yang menyambutku. Semua saudara berkumpul. Jelas aku tak akan merasakan lagi pelukan hangat Mamak. Merasakan nikmatnya masakan Mamak. Aku lemas. Tak sabar ingin ziarah ke makam Mamak. Hanya tempat itu kini yang bisa aku lihat. Aku merasa belum membahagiakan Mamak. Aku merasa menyesal tak melihat Mamak saat sakaratul maut. Tak bisa membisikkan satu katapun saat itu. Airmataku berlinang lagi “Ya Allah. Tempatkanlah Mamak di tempatMu yang terindah” Amiin. Kuhapus air mataku sembari melangkah mendekati makam Mamak. Hanya makam tanpa pelukan hangat dan senyuman, apalagi kata-kata.

***
“Ma.. Ma, kenapa kok nangis?” tanya Yoga.
Aku terhenyak “Oh ... gak, gak papa sayang, ini Mama nulis puisi” jawabku sembari menghapus airmata yang menetes dan menunjukan tulisanku di atas buku tulis. Aku berbohong kalau baru saja kenangan tentang mamak hadir.
“Kok mata Mama merah. Bener nangis ya. Siapa yang jahat sama Mama?” tanyanya lagi.
“Gak ada sayang, mata Mama sakit kelilipan kayaknya. Sini anak mama yang ganteng ini Mama peluk. Ada apa kok bangun bobonya?” kataku sembari merengkuhnya.
“Iya, Ma. Yoga mimpi buruk. Temenin Yoga yuuk ... usap-usap punggungku” rengeknya manja, begitulah hal rutin yang harus kulakukan sebelum dia tertidur. Mengusap punggungnya.
“Iya sayang, ayuk sini” ajakku menuju kamarnya. Anakku adalah segalanya bagiku. Begitupun dengan Mamak, apa saja dilakukan Mamak untuk kebahagiaan kami. Tak kan terlupa selamanya. Kasih sayang seorang ibu tak kan tergantikan dengan apapun juga.
Tak bisa dihargai dengan berapapun banyaknya materi. Kasih sayangnya tetap abadi. Bahkan seorang ibu rela mengurai tangisnya menjadi serpihan-serpihan kebahagiaan anak-anaknya. Ah! Beruntunglah mereka yang masih memiliki orangtua. Jaga dan sayangilah selama masih bisa. Berbaktilah sebelum menyesal selamanya.

***






AKU LELAH HARUS BERBOHONG
Cerpenku yang dimuat di Malang Post edisi Minggu, 04 November 2012



Pagi yang cerah, panas menyengat pori-pori. Seperti biasa kuayunkan langkah menyusuri kompleks perumahan yang penuh sesak itu. Langkahku agak tergesa karena aku tak ingin hari ini terlambat masuk kantor. Sesampai di kantor, segudang aktifitas sudah menantiku. Di sela kesibukan itu, pikiranku tak karuan. Aku masih teringat pertemuanku kemarin lusa, di senja berpayung keemasan nan indah. Dia, wanita yang kukenal melalui jejaring sosial, wanita dengan aktifitasnya yang menarik perhatianku, dia istri dan ibu dari anak-anaknya. 


Aku iri padanya. Iri, karena begitu besar dukungan suaminya terhadapnya. Bahkan suaminya rela mengantar ke mana pun istrinya pergi untuk memperluas jaringan kepenulisannya. Ya, iri karena begitu pandainya dia merangkai kata indah, dan aku iri dengan kata-katanya ini :
“Sebesar apa pun masalah selalu ada jalan keluar karena tuhan menguji dengan akal kita, sembunyi di balik senyum bukan ketabahan tapi penghancuran diri, dusta itu akan selalu mendewasakan dosa. Bukan keraguan namanya jika sudah hilang kepercayaan pada diri. So jadilah diri seutuhnya bukan karena orang lain karena hidup bukan sembarang hidup tapi hidup untuk mendapatkan nilai terbaik.”

Aku merenungkan kata-kata itu, menghela napas berkali-kali. Membuang perasaan sedih yang seakan menumpuk di dada. Aku, menyadari sudah berapa banyak kebohongan yang aku lakukan hanya karena ketakutanku menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Aku juga lelah harus berbohong, tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Namun, akibat kebohongan itu pula banyak hal yang telah kudapat, lebam membiru di sekujur tubuhku, dan ocehan kemarahan yang selalu kudengar. Kebohongan yang kulakukan itu juga karena bila aku jujur, hal yang sama juga yang akan aku dapat.

Aku takut, aku kehilangan kepercayaan diriku, aku juga selalu meragu. Sejujurnya itulah yang kualami. Hidupku adalah semu, bahagiaku juga semu. Senyumku juga semu. Aku harus berubah. Berkali kata itu kuungkapkan dalam hati, tapi sampai detik ini aku masih seperti itu. Takut mengatakan yang sesungguhnya.

***
Pipiku basah, ini kali pertama kubaca curahan hati Amelia, wanita dengan wajah sayu, yang berkunjung ke rumahku. Tepat sehari setelah kami bertemu secara langsung. Dia begitu tertekan, aku berkali-kali terhenyak, mendengar ucapannya yang keluar begitu saja dari bibir pucatnya.

“Maaf, Mbak, saya gak bisa sering-sering ke luar rumah, sekarang juga mohon maaf ya, saya datangnya terlambat. Saya janji jam 10, eh nyampe sini jam segini,” ucapnya sembari merapikan rambutnya yang tergerai berantakan karena angin saat dia dibonceng pengemudi ojek menuju rumahku.

“Gak papa dech, tapi tadi sempat kecewa juga. Kok janji jam 10 gak datang-datang hehe.”

“Iya, Mbak. Sekali lagi mohon maaf ya.”

“Iya, gak papa.”

“Sebenarnya, saya ini juga mencuri-curi waktu, Mbak. Saya ...,” ucapnya terbata-bata.

Aku seperti menangkap kalau dia menyembunyikan sesuatu.

“Kenapa harus mencuri-curi waktu begitu?”

“Iya Mbak. Saya takut sama suami saya. Ini juga saya gak bilang kalau mau ketemu Mbak. Suami saya pasti marah kalau saya cerita ketemu dengan orang-orang dari dunia maya.”

“Loh kok bisa begitu?”

“Iya, Mbak. Itu karena saya pernah ketahuan menulis sesuatu. Seperi curahan hati saya, padahal tulisan saya itu jujur Mbak. Dalam tulisan saya, hanya ungkapan penyesalan saya kalau di dunia maya banyak yang merayu dan mengajak saya bertemu, sementara di nyata hidup saya, saya selalu mendapatkan kekerasan dari suami saya.” Amelia terdiam sejenak.

“Terus ..?” tanyaku penasaran.

“Dalam tulisan saya itu, saya justru ungkapkan penyataan cinta dan sayang saya ke suami. Perasaan menyesal, dan perasaan agar selalu dilindungi Allah SWT. Namun sejak hari itu, saya selalu dicurigai Mbak. Saya dilarang memegang HP bila di rumah. Dilarang menulis apa pun. Bukan itu saja, saya akan dipukuli bila saya ketahuan menulis.”

Aku terdiam mendengarnya, “Begitu pandainya dia menyimpan deritanya itu,” gumamku dalam hati. Selama ini aku tak pernah menyangka, Amelia mempunyai masalah seberat itu.”

“Lalu?”

“Ya, sejak saat itu juga, Mbak. Saya selalu berbohong,” ucapnya lirih.

“Berbohong?”

“Iya, berbohong kalau di belakang suami, saya masih menulis, dan masih berkomunikasi dengan orang-orang dunia maya, tapi hanya mengenai tulisan. Selama ini saya tidak pernah ingin selingkuh, saya selalu mengalah demi ketenteraman rumah tangga kami. Saya tidak pernah berani menulis satu kata pun di depan suami. Saya juga tak berani memegang Hp saya bila di depan suami. Namun, saya ...,” Amelia terdiam. Air matanya mulai menetes. Dia melanjutkan kata-katanya.

“Saya, selalu menerima walau sering dipukul suami, Mbak. Saya selalu diam, hanya saya sedih, semua ini seperti bom waktu. Anak-anak saya melihat adegan kekerasan itu, kebahagian yang saya beri ke anak-anak adalah kebahagiaan semu. Saya juga selalu berbohong karena takut.”

“Kenapa tidak berusaha jujur?”

“Ya, karena kalau jujur pasti akan ribut setiap hari Mbak. Saya sempat benar-benar menuruti kata-kata suami, tidak menulis, tidak berselancar di jejaring sosial, hati saya tambah sakit Mbak. Menulis itu bagian dari hidup saya.”

Aku kehabisan kata-kata. Aku tak ingin menyalahkan sepenuhnya, berbohong memang salah. Namun bagaimana bila aku yang menjadi dia? Sebagai manusia kadang kita selalu melihat kesalahan dari orang lain, tapi apakah kita pernah mencari alasan mengapa dia melakukan kesalahan itu.

Lagu Agnes Monica mengalun dari Hpnya. Begitu syahdu dan menyayat hati. Rindunya Eross Djarot begitu nyaring terdengar dengan lirik yang apik. Namun mengapa membuat wajah Amelia berubah panik.

“Telepon dari suami saya Mbak, saya harus jawab apa ya?” Amelia begitu ketakutan. “Saya harus pulang Mbak. Harus,” ucapnya dengan wajah stress.

“Udah tenang saja dulu.”

“Saya harus pulang Mbak. Kalau tidak wah, saya gak tahu apa yang terjadi Mbak.”

“Ya, sudah nanti diantar ya.”

Amelia terlihat tambah panik. Dia lari keluar sembari menelepon balik ke suaminya.

“Assalamu’alaikum .. “ sejenak kemudian “Iya, Pa. Mama masih di Jalan.”

Amelia terdiam. Wajahnya pucat. Ketakutan terpancar dari wajahnya.

“Mbak, saya bebohong lagi,” ucapnya sendu.

“Ya, kalau itu menurutmu baik,” ucapku gamang.

Jembatan Tol itu seperti raksasa di kegelapan malam. Amelia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedang aku sibuk membalas komentar teman-teman di Fbku.

“Mbak, sebaiknya aku turun di mana ya?”

“Ya, menurutmu sendiri sebaiknya di mana?”

“Di depan gang saja dech. Kalau di depan rumah, suamiku pasti tanya, itu mobil siapa? Bagaimana aku bisa ketemu Mbak? Kan aku izinnya kuliah.”

“Ya, apa tidak seharusnya jujur saja?”

“Saya masih belum berani Mbak, tapi kalau saya pulang selarut ini, saya pasti tetap akan ditanya, bagaimana ya Mbak baiknya?”

“Amelia, bahkan untuk memutuskan itu saja, kamu panik seperti itu?” gumamku dalam hati.

“Bagaimana baiknya ya Pa?” Tanyaku ke suamiku yang mengemudikan mobil dinasnya.

“Ya, kalau memang kuliahnya biasanya pulang jam berapa?” tanya Dodi suamiku.

“Biasanya Jam 8 Pak. Paling malam jam 9, tapi tadi dosennya tidak datang, jadi saya bisa pulang lebih cepat, dan saya berkunjung ke rumah Mbak Resti. Tadinya saya memutuskan untuk pulang setelah magrib, jadi saya tidak harus menjelaskan apa-apa ke suami saya. Sekarang jam berapa ya Mbak?”

“Sekarang sudah Jam 21.49 Amelia.”

“Wah, sudah selarut itu ya Mbak. Sebaiknya sampai rumah saja Mbak. Kalau saya turun di depan gang, Saya takut suami malah tambah curiga.”

“Ya, okelah, akan kami antarkan.”

“Tapi Mbak. Kalau suami tanya bagaimana ya Mbak. Di mana saya bertemu Mbak?”

“Ya, jawab saja bertemu di Kampus.”

“Iya, iya, benar Mbak. Begitu saja jawabnya ya Mbak.”

Di sebuah rumah sederhana bercat abu-abu dan pagar berwarna hitam, dengan tatanan pot bunga di depannya, tiba-tiba Amelia mengagetkan kami.

“Di sini Mbak. Ini rumah saya, tapi kok gelap ya?”

Rumah itu seperti tak ada penghuninya. Lampu di teras rumah mati. Amelia turun dari mobil. Dia memegang pintu pagar.

“Wah, digembok,” ucapnya.

Beberapa kali dia memencet nomor telepon di Hpnya, tapi tak ada sahutan. Sampai akhirnya dia seperti berbicara dengan seseorang lewat hpnya.

“Oh, gak dikunci Mbak.”

“Assalamu’alaikum .. Pa, pa ...”

Dari dalam lampu teras langsung dinyalakan. Pintu itu tidak segera terbuka, lalu keluar sesosok laki-laki, begitu sopan. Aku diajak Amelia masuk ke ruang tamu. Amelia begitu kikuk.

“Ini teman mama, Pa, Mbak Resti.” Ucap Amelia mengenalkanku ke suaminya.

“Ooh, iya bisa bertemu di mana Mbak dengan Amelia?”

“Tadi ke kampus, terus mampir ke rumah. Nanti main ya ke rumah, terus ijin mau minta tolong dalam acara saya,” ucapku membantu Amelia berbohong.

“Ooh, iya Mbak,” ucap Suami Amelia.

“Mbak, mau minum?”

“Gak, udah malam, langsung pulang saja ya?”

“Iya Mbak, terima kasih banyak Mbak.”

“Pak, terima kasih sudah mengantarkan Amelia,” ucap Amelia untuk suamiku.

Aku masuk mobil meninggalkan rumah Amelia dengan segudang tanya. Apa yang terjadi dengan Amelia malam ini?. “Amelia, sebesar apa pun masalah selalu ada jalan keluar karena tuhan menguji dengan akal kita, sembunyi di balik senyum bukan ketabahan tapi penghancuran diri, dusta itu akan selalu mendewasakan dosa. Bukan keraguan namanya jika sudah hilang kepercayaan pada diri. So, jadilah diri seutuhnya bukan karena orang lain karena hidup bukan sembarang hidup tapi hidup untuk mendapatkan nilai terbaik.” Itu yang bisa aku sampaikan untuknya.

Cirebon, 08 Oktober 2012







Blog yang memuat cerpenku pertama banget hehe
http://www.gen22.net/2012/03/cerpen-cinta-sedih-disa.html




Sengaja ingin mengabadikan Cerpen ini, zaman awal saya menulis cerpen, belum diedit dan masih banyak kesalahan penulisannya.

HIKA

Hika, wanita 20 tahunan ini sangat cuek, tak ada yang mencolok dari sikapnya kecuali gaya tomboynya, saat pertama aku melihatnya aku menangkap sesuatu yang aneh sebenarnya, hanya aku tak berani membiarkan pikiranku itu tambah meluas, dia ponakan bosku waktu itu, sangat sopan itu yang terlihat, karena sangat jarang di zaman sekarang anak seusianya mencium tangan saat berjabatan kepada orang lain kecuali orangtua atau karena ada hubungan keluarga tapi ini dia melakukannya kepadaku yang baru dikenalnya.
 “Permisi mba, mau ketemu Pak Dude, ada mba” sapanya
“Oh ada, tunggu sebentar ya, masih ada tamu”  jawabku
Aku yang saat itu menjadi  Sekretaris Pribadi Pak Dude sangat tahu jadwal bosku itu, di sela-sela Hika menunggu di ruanganku, aku banyak bertanya padanya.
“Dari mana ?” tanyaku
“Dari Bandung ? 
“ooh, ponakan bapak ya” kataku sok tahu, hehehe, sebenarnya bukan sok tahu sich tapi karena tadi Pak Doni sudah memberitahuku. Pak Doni itu Orang kepercayaan Pak Dude.
“iya mba” jawabnya,
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya tamu Pak Dude keluar, dan aku langsung saja lapor kalau diluar ada Hika, Pak Dude langsung menyuruh Hika masuk. Ternyata Hika melamar kerja dan langsung diterima tapi tidak sekantor denganku, di kota lain.
Beberapa kali kami sering berkomunikasi saat dia berkunjung ke kantor, sangat menyenangkan sich berkomunikasi dengannya, aku mencurigai sesuatu tentangnya tapi aku tak mungkin menanyakannya langsung, sampai suatu ketika aku malah yang curhat padanya, karena beban yang aku rasa tak bisa aku tahan sendiri, responnya sungguh bagus saat itu, dia malah mengenalkanku sama omnya yang katanya punya kelebihan bisa membantu mencarikan solusi, sore itu aku dan Hika berjanji ketemu omnya di sebuah rumah makan.
Saat ketemu omnya Hika aku merasakan ada penolakan dalam diriku, ada peringatan yang menyuruhku.“jangan terlalu dekat, kau harus membuat batasan dengannya”, aku tak tahu apa itu, tapi aku mengikuti kata hatiku.
Kini Hika menjadi teman yang paling dekat denganku, karena sudah dua tahun ini, dia sekantor denganku, dia cerita banyak masalah pribadinya tentang mantan-mantan pacarnya yang semuanya menyakitkan hatinya, hmmm, karena munurutku Hika terlalu mudah jatuh cinta, siapa yang berani jatuh Cinta harus siap juga sakit hati.
Pagi ini tidak menyangka Hika tiba-tiba meneleponku
“Halo, Assalamui’alaikum...” kata awal yang selalu aku ucapkan saat menerima telepon
“Mba udah berangkat belum”
“Belum nich, oh iya ka, kemarin Bu Tiwi mengajak senam bersama loh, tapi aku sich udah menolak gak ikut” kataku menawarkan ke dia kalo saja dia mau ikut.
“Gak mba, aku lagi gak enak badan.”  Ya udah ya mba ntar aku jemput ke rumah”
Aku senang saat dia menawarkan itu “ Bener nich mau jemput, ya udah aku tunggu ya” tapi ada kecemasan takut terlambat sich, karena tadi Hika bilang dia masih ada di kosannya.
Aku merapikan kerudungku dan segera menunggu Hika di teras rumah.
Tak berapa lama Hika datang dengan motor yang tak biasa dia pakai, aku langsung tanya
“motor siapa tuch”  belum dia menjawab aku sudah menyimpulkan itu motor teman barunya Nadine.
“motornya temen mba” jawabnya
“motornya Nadine ya?”
“bukan mba, motornya Riza temen kos” kata Hika
“ooh, jawabku. Dan langsung duduk dibelakangnya.
Kalo sudah ketemu begini, akhir-akhir ini pasti kami terlibat obrolan tentang Nadine, wanita manis dengan sikap yang supel, sangat menyenangkan itulah kesan yang aku lihat saat pertama Hika mengenalkannya padaku, memang wajar kalau Hika begitu memujanya, karena nadine itu punya banyak hal yang menyenangkan, aku saja bisa langsung akrab dengannya.
Nadine dikenal Hika melalui teman lelaki Hika yang tadinya sich mau dicomblangkan temannya ke Hika, ternyata malah hati Hika tertambat oleh sikap apa adanya Nadine, dan sungguh di luar dugaan kalau Hika bisa cerita hal yang rahasia, yang selama ini hanya ke aku saja dan omnya Hika berani berbagi, itu sich menurut pengakuan Hika suatu ketika.
“Mb..... Mb... “  sapanya suatu pagi kebiasaan buruknya yang selalu mengganggu pagi-pagi, tapi ya justru karena itulah aku kadang menjadi bersemangat, senang mendengar dia berbagi cerita.
“apa, ada Apa ? aku berusaha meladeninya walau kadang aku kurang fokus karena sembari bekerja
“aku baru kenal sama temannya Aji, dia nice banget mba, dia bisa terima loh keadaan aku”
Alisku mengrenyit aku langsung penasaran, karena selama ini wanita normal, hanya aku yang bisa menerima keadaan Hika.
“oh ya masa’ sich”
“iya mb, aku cerita banyak sama dia, Nadine itu suka fotografi, dia itu apa adanya” kata Hika panjang lebar tentang pujian-pujiannya ke Nadine, membuat aku penasaran, tapi sebenarnya feelingku mengatakan kalau Hika lambat laun akan menyukai Nadine seperti yang lain.
Ya, Hika tak pernah lelah, walau sering patah hati. Begitu semangatnya Hika sampai menyuruhku menilai foto Nadine”
Mba, lihat dech fotonya, what do you think about her? Kata Hika yang lebih sering menyampaikan kata-katanya diselipi bahasa inggris itu.
Aku gak pernah bisa menolaknya, walau aku juga bukan psikolog atau peramal tapi mau tidak mau aku harus menilai, hehehe... kalau sudah begini aku jadi serasa hebat. Tapi itulah Hika yang selalu menganggapku bisa, padahal aku juga belum tentu benar.
Dari foto yang kulihat, aku menyimpulkan :
“Dia sepertinya banyak omong dech”  Angkuh. Seperti anak yang nakal” kataku pada Hika sok tahu hehehe.
Aku melihat wajah Hika berubah, saat aku menyampaikan pendapatku, tapi aku segera meralatnya tapi belum tentu benar loh” kataku, “soalnya fotonya seperti itu”. Posisinya mendongak begitu, timpalku.
Beberapa hari ini pasti soal Nadine yang kami bahas, tapi aku sungguh tak enak hati, karena sempat melakukan penilaian yang salah, makanya saat Hika mengajak Nadine main ke rumah malam-malam saat pertama, aku langsung menyampaikan permintaan maafku.
“ka, ternyata mba salah nilai kok, dia baik, wellcome, menyenangkan, kataku”
Hika malah jadi salah tingkah, karena tiba-tiba aku menyinggung itu, untuk meluruskan keadaan aku langsung bilang ke Nadine
“maaf ya nadine, kmaren mba salah menilai fotomu, habis fotonya gitu sich” terangku.
“ooh, gitu mba” kata Nadine, masih tak mengerti, akhirnya Hika menjelaskan.
“Iya, kemaren mba sama aku lihat fotomu di Fb sama Twitter, terus tanya tentang kamu ke mba”
“iya Nadine, fotonya ganti dech jangan yang itu” kataku. Karena emang di Fotonya terlihat judes banget, padahal orangnya gak seperti itu.
Sejak kejadian malam itu, antara aku dan Nadine tak ada komunikasi kecuali Hika yang sering menceritakannya.
Jam makan siang Hika mengajakku makan, dia ingin banget mentraktirku katanya, memang Hika sudah berjanji akan mentraktir di hari ulang tahunnya, tapi aku memang susah kalau diajak keluar kantor disaat jam kerja, akhirnya aku mengiyakan tapi di jam istirahat.
“mb, ayolah aku kan udah janji mau traktir mba”
“iya, tapi nanti dulu ya, kan belum jam istirahat kataku”
Aku selalu gak enak keluar kantor sebelum jam istirahat, makanya Hika selalu bilang ke aku kalau aku orangnya sangat disiplin.
Hika menelepon Nadine, Hika ingin kami makan bertiga, aku sich gak mikir apa-apa lurus saja, aku pikir Hika ingin aku lebih mengenal Nadine, teman barunya itu.
Aku dan Hika naik motor berboncenagan menuju rumah Nadine yang kebetulan gak terlalu jauh dari kantor kami, tapi Hika tak berani ke rumahnya, kami menunggu di gang dekat rumahnya.
Saat Nadine muncul dari balik gang aku terkaget melihat reaksi mukanya yang tiba-tiba pucat melihatku, “apa yang aneh sama aku pikirku” aku sama sekali gak paham. Tapi mungkin karena ini pertama kalinya dia melihatku pakai pakaian kantor dan kerudung, biasanya dia kerumah aku tak berkerudung. Dia memandangi wajahku dan langsung bersalaman sambil mencium tanganku, mukanya masih terlihat pucat.
Kami langsung menuju warung baso, disana kami mulai mengobrol, tapi baru saja baso panas disajikan, aku terkaget.
“Mba aku pinjem Hika ya”
“Pinjem maksudnya? Tanyaku tak mengerti”
“Iya aku sama Hika”.... Nadine tak meneruskan kata-katanya, tapi aku sudah menangkap ada sesuatu antara mereka.
“Hmmm... apa kalian berdua sudah ......” aku tercekat...
Nadine masih dengan muka pucat dan Hika juga dengan muka bersalah menjawab
“Iya, kami udah jadian mba, “maaf ya mba” kata Hika lagi, maaf aku gak bilang sama mba
“Nadine bilang kalau dia pengen ngomong sendiri” kata Hika dengan muka dan nada yang tidak enak
“Maaf ya mba” Hika ulang lagi. Hika merasa tak enak karena ini kali pertama dia tak berbagi denganku.
Aku berusaha menetralisir keadaan itu, aku memang kaget tapi sebenarnya aku sudah menduga hal itu, ya saat bagaimana Hika menceritakan tentang Nadine. Hanya aku sampaikan harapanku terhadap hubungan mereka, ya cinta dan sayang boleh dimiliki siapa saja, termasuk antara wanita dan wanita, tetapi aku ingin Nadine yang terakhir untuk Hika, dan Hikapun sebaliknya.
Kalaupun mereka menjalin hubungan, pada akhirnya akan sakit, karena budaya, tradisi, agama dan negara tidak akan melegalkan hubungan seperti itu, tak ada satu manusiapun yang memilih untuk menjadi Lesbian, apalagi Hika, dengan latar belakang keluarga yang sangat menyedihkan, ibunya menikah tiga kali, ayahnya menikah tiga kali juga, Hika kecil harus menerima nasib diasuh ayahnya karena ibunya bercerai dengan ayahnya dan memilih menjadi TKW, belum lagi Hika mengalami pelecehan seksual dari pamannya sendiri di waktu kecil.
Apapun keadaan Hika, kita tidak berhak menghukumnya, itu yang membuatku mampu mengertinya, Semoga Hika akan menemukan jalan untuk kembali ke kodratnya sebagai wanita seutuhnya. 

****

PERSAHABATAN bukan PELANGI yang indahnya hanya sekejap dan Bukan juga MATAHARI yang hanya bisa menemani setengah hari, tapi PERSAHABATAN adalah suatu ikatan bathin yang terjalin antara sesama manusia.
PERSAHABATANKU TERENGGUT KARENA KESALAHPAHAMAN

Cirebon, kata yang tak asing bagiku, bahkan sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar bukan dari guru mata pelajaran IPS tapi karena di kota inilah Bapakku dilahirkan. Aku tak pernah menyangka di Cirebonlah drama kehidupanku yang mengharu biru kualami kini. Dari jatuh cinta pada pandangan pertama sampai persahabatan berubah menjadi permusuhan, sungguh menyakitkan, kenal tapi tak saling menyapa.
Mba Alya, begitu aku memanggilnya, wanita berkacamata dan berkerudung dengan postur badan sedang, dia satu-satunya teman wanita di kantorku yang baru, dia sudah lebih dulu beberapa bulan bekerja saat aku masuk, aku dan dia sangat berbeda, dari strata sosial, latar belakang keluarga, pendidikan, keahlian dan banyak hal lainnya, hmmm... bukannya memang manusia diciptakan berbeda ya... supaya hidup ini kaya. Dia lulusan sarjana dari universitas terkemuka di cirebon, dia juga berasal dari keluarga harmonis dan ayahnya seorang polisi, mahir komputer pula. Sementara aku perantau, tamatan SMA yang bukan favorit dan berasal dari orangtua yang menikah lebih dari satu kali, bahkan aku anak dari istri kedua, ditambah lagi aku tak punya keahlian apa-apa, lengkap deh kekuranganku, itulah alasannya aku agak minder dengannya, tapi aku mulai belajar sedikit demi sedikit, setiap pagi aku datang lebih awal untuk belajar mengetik dengan mesin ketik.

Baru beberapa hari aku kenal dia, dia sudah bercerita tentang seorang laki-laki yang dijodoh-jodohkan oleh teman-teman dengannya, Bang Binsar itu panggilanku untuk laki-laki itu, tapi justru panggilan “Bang” itu yang akhirnya menjadi masalah, buat aku yang lahir dan besar di Simalungun sungguh menganggap panggilan bang itu tak istimewa apalagi bang Binsar pernah lama tinggal di Medan begitu yang aku dengar.
Aku dan Mba Alya sangat dekat, banyak hal yang sering kami ceritakan, Mba Alyalah yang mengenalkan tempat-tempat belanja di Kota Cirebon, singkat cerita Mba Alya dan Bang Binsar menikah tidak melalui proses pacaran karena Mba Alya ingin segera menikah seperti pengakuannya.
“Dulu tiap malam aku berdo’a agar diberikan jodoh, Alhamdulillah ternyata bukan hanya jodoh yang dikabulkan oleh Allah, tapi dikasih kerjaan juga” kata Mba Alya suatu hari dengan rona bahagia saat menjelang hari pernikahannya.

Mba Alya aku anggap kakakku karena usia kami yang terpaut 7 Tahun, dia juga banyak mengajarkan kemajuan teknologi kepadaku, salah satunya cara memakai ATM, terlalu gaptek aku sampai gak ngerti pakai ATM bagaimana, saat aku memutuskan memakai kerudung Mba Alya juga yang membantuku dan mengajari bagaimana caranya, bahkan saat Bos kami menggelar hajatan pernikahan anaknya, karena aku baru berkerudung aku tak punya baju muslimah, Mba Alya menawarkan baju adiknya.
“Pakai punya Raina aja, pasti pas dech buat kamu” ada kerudungnya juga” katanya.
“emang boleh mba sama Rainanya dipinjam saya”
“boleh, nanti aku yang bilang”
“makasih, makasih banyak ya mba”. Jawabku senang.

Aku juga sangat percaya padanya, sampai aku pernah meminjamkan kartu ATMku plus ngasih no Pinnya pula saat dia ingin pinjam uang karena cincin tunangannya hilang. Tapi keesokan harinya Mba Alya mengembalikan kartu ATMku dan bilang gak jadi pinjam.
“Nich Nay gak jadi, udah pinjam sama Tante, makasih ya” katanya.
“Oh iya mba sama sama padahal gak papa pakai punya saya juga “ kataku tulus.
Hmmm.... sungguh persahabatan yang manis sampai suatu hari aku menyesal pernah mengatakan dan memuji muji suaminya Bang Binsar hanya untuk menyenangkan hati Mba Alya.
“Mba dulu waktu pertama masuk, aku kira Bang Binsar yang jadi Bos di sini, soalnya rapi banget pantes cara berpakaiannya” kataku tanpa rasa bersalah. Mba Alya hanya tersenyum saja. ditambah lagi aku pernah bilang, 
“Di bis waktu aku pulang ada orang yang mirip deh sama Bang Binsar” kataku polos dan apa adanya karena memang mirip. Lagi lagi Mba Alya hanya tersenyum simpul.
Semenjak hamil ada yang berubah dari Mba Alya, dia cenderung jutek ke aku, pernah juga menyampaikan uneg-unegnya tentang seseorang yang menyebalkannya tapi dia tak cerita siapa.
“Nay, aku sebel sama seseorang, aku gak tahan lihat orang itu, aku pengen keluar kerja, tapi gak boleh sama mama dan adik-adikku”. Kata mereka nanti keenakan dia aja, curhat mba Alya.
“Siapa mba orangnya” tanyaku penasaran, ada rasa tak nyaman dihatiku, ini kali pertama Mba Alya gak jujur padaku.
“sama aku ya mba, kataku karena perubahan-perubahan sikapnya padaku.
“gak bukan kamu kok” kata Mba Alya menutupi, Hatiku sedikit lega. Tapi belakangan aku tahu kalau akulah yang dimaksudnya.

Hubungan kami masih baik tapi tak seperti dulu lagi, sampai dia cuti melahirkan, mau tak mau kerjaan dia aku yang handle, aku sempat kalang kabut juga karena aku gak punya keahlian komputer. Akhirnya aku kursus komputer, lancar semua kerjaan Mba Alya di tanganku, dua bulan berlalu Mba Alya masuk kantor lagi, tapi orang-orang di kantorku lebih mempercayakan pekerjaan Mba Alya yang dulu ke aku. Aku yang lebih sering disuruh, itu terjadi di depan mata Mba Alya, sungguh aku tak enak... makanya aku menyerahkan itu ke Mba Alya tapi Mba Alya menolaknya.

Lambat laun hubungan kami memburuk, dia berubah judes dan ketus ke aku, kalau ketemu selalu pasang muka masam, aku pikir karena soal pekerjaan saja, aku tak pikir macam-macam, aku masih berusaha biasa seperti dulu. Semakin hari semakin tak ada komunikasi antara aku dan Mba Alya sampai aku menikah dan pindah ke bagian lain dan banyak karyawati lain di kantorku, dia benar-benar menjauh, mereka semua memusuhiku, semua teman-teman wanita menjauhiku, ada apa sebenarnya ? aku tak tahu ?, dari mulut ke mulut aku dengar kalau Mba Alya menuduhku suka ke suaminya, tapi aku masih tak percaya, aku masih berfikir itu soal pekerjaan saja, aku pikir, dia merasa aku merebut pekerjaannya.
Sampai suatu hari Mba Ernas ingin kami berdamai, dia mempertemukan aku dengan Mba Alya di Mushollah kantor, saat karyawan laki-laki sholat jum’at,  Mba Ernas hanya meninggalkan kami berdua.

“Aku mau tahu, kamu suka kan sama suamiku ?” suara Mba Alya memecahkan kesunyian, sekaligus seperti petir di siang bolong tapi gak ada hujan buatku.
“Ya Allah Astaghfirullahalazhim, Demi Allah mba, saya gak begitu” kataku sangat sedih.
“Kalau gak, kenapa kamu selalu memuji-muji suamiku, Kenapa mesti manggil  “Abang”, kenapa gak seperti ke yang lain, manggil Bapak atau nama saja” Mba Alya menghardikku, pantas saja dia pernah bilang alergi sama panggilan abang, saat aku tanya kenapa gak manggil abang saja ke Bang Binsar.
“Mba, sungguh saya gak pernah suka sama suami mba, Demi Allah, kalau panggilan abang itu biasa di Sumatra” kataku berusaha menyakinkan.
“Ah, Demi Allah, Demi Allah, banyak kok orang yang ngomong Demi Allah tapi berbohong.
Aku terdiam, tak berusaha membela diri, aku memang tak pernah menyukai suaminya, tapi aku tak kuasa meyakinkan, itu soal rasa, sulit untuk dibuktikan kalau kata Demi Allah saja tidak juga dipercayanya. Masih terasa sakit hatiku, tapi ditambah lagi dengan kata-kata yang sungguh menyesakkan dada.
“Banyak kok yang ngomong kamu suka cari-cari perhatian ke suamiku, kamu juga cewek gampangan” Katanya dan menyebutkan beberapa nama laki-laki di kantorku.

“Oh Tuhan, Sakiitnya.... aku sedih, hatiku bergemuruh, aku tak terima mendengar itu semua, tapi sungguh tak mampu, aku menghormati dan menyayangi mba Alya, aku menganggapnya seperti kakakku sendiri, mana mungkin aku suka suaminya, ngobrol intens berdua dengan suaminya aja gak pernah, ada hal yang aku sesalkan kenapa aku tak cerita ke Mba Alya soal laki-laki kantor sebelah yang telah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama yang kini jadi suamiku.
Mba Alya mengancamku dan memintaku untuk menjauhi suaminya, “Jangan pernah ngomong sama suamiku lagi, jangan panggil suamiku dengan panggilan abang” aku hanya mengangguk tak berkata apa-apa lagi, badanku lunglai, sakiiit saat kita tak dipercaya.

Aku penasaran, dari kata-kata Mba Alya itu aku tanya ke nama laki-laki yang disebutkannya itu, darimana mereka menyimpulkan aku cewek gampangan, karena makan berdua dengan laki-laki saja aku gak pernah, aku sungguh menjaga sikap untuk tidak membuat oranglain berfikiran negatif, tak ada satupun dari mereka yang mengakui pernah mengatakan itu, aku sungguh tak tahu siapa yang benar mereka atau mba Alya.
Setelah kejadian itu aku yang merasa terluka karena ucapan Mba Alya, aku pikir benar kata-kata orang, kenapa harus ke orang lain dulu baru ke aku, bukannya kita dekat, hmmm.... ternyata kami tidak saling mengenal satu sama lain.

Semua sudah berlalu, semuanya telah hancur karena keegoan masing-masing, aku yang tadinya berusaha mendekati , kini menyerah, aku selalu menangis kalau ada yang bertanya ada apa antara aku dan Mba Alya. Kenal tapi tak saling menyapa, persahabatanku terenggut karena kesalahpahaman itu, akankah kembali ??? ntahlah.... hanya waktu yang bisa menjawab, tapi kenanganku tentang kebaikannya tak akan hilang.
Ada yang aku pelajari dari kejadian itu, Sahabat adalah orang yang harusnya paling mengerti kita, Sahabat ada saat suka dan duka, sahabat memuji di belakangmu, tapi meyampaikan kritikan pedas saat berdua, yang terpenting sahabat orang yang membuat kita nyaman berbagi dengannya begitu sebaliknya, sahabat tempat kita bisa cerita apa aja, buatku sahabat harus saling percaya.

Apakah benar sahabatmu sekarang sahabat sesungguhnya belum tentu, so.... jangan tutupi satu hal kecilpun dari sahabatmu... sebelum kesalahpahaman menghampirimu, semoga kita menemukan sahabat sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar