Selasa, 08 Januari 2013

REVIEW KUMCER

JUDUL : BAPAK: RIAK LILIN HIDUPKU
PENULIS: AANG M. M. SYAFII
PEMERHATI AKSARA: TRISTANTI
DESAIN SAMPUL: ANTO
TATA LETAK: AGA
DITERBITKAN: LEUTIKA PRIO
CETAKAN PERTAMA: SEPTEMBER 2011
TEBAL: IV + 59 HALAMAN

Kumcer berisi sembilan cerpen ini sungguh menarik untuk dibaca, berbagai kisah tentang bapak tersuguh apik dengan bahasa yang sederhana. Awalnya saya sempat terkecoh saat melihat cover yang menampilkan foto laki-laki tua. Di pikiran saya, buku ini kisah nyata penulisnya.

Saat membaca cerpen ke lima “WAKTU BAPAK MENGINAP” saya sempat mengrenyitkan dahi karena tokoh “aku” yang semula laki-laki berubah menjadi wanita. Saya mulai menyadari bahwa kumcer ini tidak menceritakan kisah nyata si penulis. Saya sempat kehilangan konsentrasi dan membaca ulang cerpen sebelumnya. Setelah membaca ulang justru cerpen ke lima ini yang berhasil membuat emosi saya turun naik, terlarut dalam kisahnya. 

Emosi saya kembali bergolak ketika membaca cerpen ke delapan “SETELAH DELAPAN BULAN” . Cerpen yang berkisah tentang sosok seorang bapak yang rela menjadi penjarah pohon jati yang akhirnya dipenjara selama delapan bulan menunjukkan sifat yang berbeda setelah keluar dari penjara bahkan untuk sekedar menatap mata “aku”. Ketika sang bapak memutuskan merantau ke kota untuk bekerja, saya terlarut pada bagian ini. Adegan “aku” dan keluarganya melepas bapak pergi berhasil mengaduk-aduk hati saya.

Bukan itu saja, “Bapakku memang bukan orang biasa.” (Halaman 47) adalah kalimat yang luar biasa bagi saya. Kalimat ini mempunyai kekuatan yang berbentuk pengakuan, bahwa bapak bagi si penulis apa pun karakternya adalah orang yang berbeda dengan orang lainnya.

Selain itu, buku kumcer yang tergolong tipis ini memberi nilai plus bagi pembaca seperti saya yang tak mempunyai banyak waktu luang. Buku ini bisa menjadi teman kala kita menunggu bus, dalam perjalanan atau waktu istirahat di kantor. Buku mini dengan nilai yang besar di dalamnya. Memberikan nilai tentang perjuangan seorang bapak yang mungkin kita melupakannya. Sayang, si penulis tidak memperjualbelikan bukunya. Beruntunglah saya bisa membaca buku ini secara gratis.

Bapak: Riak lilin hidupku. Menurut saya judulnya menyuguhkan tentang hal yang tak biasa. Kalau biasanya riak itu identik dengan air, kali ini disandingkan dengan lilin. Bagaimana kalau, Bapak: kerlip lilin hidupku? Ah, biarlah pembaca yang menilainya. Namun, seperti halnya saya yang terkecoh di awal. Sebaiknya adalah jangan menilai sesuatu dari yang tampak dari luar karena belum tentu kebenarannya dan mungkin penulis ingin membuat penasaran dengan judulnya.

Selesai membaca, rasa melow mendera hati saya. Jadi teringat bapak yang telah tiada. Sepenggal lagu mengalun lembut di sanubari saya: “Untuk ayah tercinta, aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi.” 

Bapak, walau kita terpisah ruang dan waktu, bapak kan selalu menyala di pijar hatiku. Ini ungkapan saya. Kalau bagi penulis bapak berarti lilin di kegelapan hidupnya, bagaimana dengan Anda?

Cirebon, 03 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar