Selasa, 09 Oktober 2012

PERTEMUAN TERAKHIR

PERTEMUAN TERAKHIR

bintang gemintang bertaburan di langit benderang
bawa lamunan senyum menawan
menerbangkan angan ke masa silam
menuntun susuri ingatan

masih terasa, kala kaurengkuh aku
dalam dekap hangatmu
kaugantung asa di pundakku
buatku lari mengejar waktu
yang tak pernah mau menunggu

ibu!
wajah keriputmu penuh gurat kesedihan
kisahkan cerita kepiluan tentang beban kehidupan

malam itu kita bercengkrama
di antara remang cahaya
tersirat binar bahagia
dari matamu yang membasah
kita tertawa hahahaha
luapkan rasa, lama tak bersua

tak ternyana malam itu
ya, malam itu
terakhir kita bertemu
kau telah pergi menjauh
sebelum waktu ijinkan kubersimpuh
membasuh kedua kakimu

bersebab takdir pisahkan kita 
berjarak jutaan depa
tinggalkan rasa luka
karena saat kutiba
hanya gundukan tanah merah
dan batu nisanmu yang menyapa
tanpa katakata!

Cirebon, 14 Mei 2012

Di luar malam bertabur bintang bermandikan cahaya. Aku membisu di kamar remang berteman sinar temaram. Anganku melayang mengingat kejadian yang menyakitkan di siang itu. Enam tahun yang lalu, saat aku menerima sebuah telepon. Hawa dingin seketika merasuki tubuhku, gemetar. Rasa tak percaya masih mengurungku. Ya Allah, mimpi beberapa minggu yang lalu kini benar terjadi. 

“Tidak! ... Mamak belum meninggal. Tidak!, bagaimana nasib adik-adikku kalau Mamak meninggal” teriakku dalam mimpi di suatu malam. Aku masih sangat ingat kata-kata itu dan tak menyangka apa yang kurasa di malam itu, kini menjelma nyata. Siang yang serasa gelap gulita saat terdengat suara di ujung telepon.
“Halo ... Assalamu’alaikum” jawabku.
“Waalaikumsalam. Ini sama abang dek” suara kakak iparku terdengar “Mamak .... Mamak udah gak ada dek.” Katanya terbata-bata.
“Udah gak ada, maksudnya gimana bang?” aku tercekat, beberapa hari kemarin kakakku telepon mengabarkan Mamak sakit. Aku sudah mempersiapkan akan pulang ke Sumatra besok lusa. Tiket pesawat sudah dipesan.

“Iya dek. Mamak udah gak ada.”
“Gak ada maksudnya gimana Bang?” aku masih mempertanyakan berharap mendapat jawaban yang berbeda dengan apa yang kupikirkan.
“Mamak ...“ suara Bang Hargo terdengar parau, dia berhenti sesaat. “Adek jangan panik ya. Mamak sejam yang lalu meninggal.”
“Apa Bang? meninggal?” Seketika aku tak bisa menguasai diriku. Aku langsung histeris.
“Abang bohong kan. Abang bohong?” Aku tambah histeris.
“Iya dek benar. Ini abang sama Aldi.” Kata Bang Hargo menyebut nama adikku. Sesaat hening lalu ...
“Iya kak ... Mamak udah meninggal” terdengar suara yang sangat kukenal di ujung telepon. Suaranya terbata-bata.
“Jadi bener dek ... bener Mamak udah meninggal? Innalillahi Wa inna ilaihi rojiun” kataku pilu.
“I...i..iya kak bener. Kakak tenang ya” jawab Aldi sambil menangis.

Lap ... jiwaku serasa terbang. Aku langsung menangis. Telepon tak lagi kuhiraukan. Air mata mengucur deras di pipiku. Tubuhku lemas tak bertenaga. Beberapa teman memapahku yang terus menangis. Ada seorang teman yang menelepon suamiku. Tak lama kemudian suamiku datang. Di tengah perasaan yang hancur luluh. Aku harus segera merubah jadwal kepulanganku ke Sumatra. Seorang teman tanpa kuminta bersedia meminjamkan mobilnya dan mengantar kami ke tempat pembelian tiket pesawat. 

Sepanjang jalan aku tak bisa berkata apa-apa. Aku serasa gagu. Bulir-bulir bening terus menetes di pipiku. Tenggorokanku terasa kering. Lidahku kelu. 
“Nay... sabar ya!” ucap Yulia temanku yang setia mendampingi. Aku hanya mengangguk. Suamiku juga tak banyak bicara hanya diam. Kami membisu.

Sesampai di tempat pembelian tiket pesawat. Suamiku yang mengurus semuanya walau baru tadi pagi kami beli tetap saja ada tambahan biaya yang harus kami keluarkan untuk perubahan tanggal keberangkatan. Selesai mengurus semuanya mereka mengantarkan kami pulang ke rumahku.

Di teras rumah. Mbak Yum dan Yoga anakku sudah menyambut kami. “Sayang” Aku langsung menggendong anakku. Hatiku tambah berdarah. Yoga yang belum genap dua tahun, dia belum pernah bertemu dengan Neneknya. Kini Neneknya sudah meninggal.
“Yoga, Nenek meninggal sayang” ucapku di antara tangisan Yoga yang melihatku menangis pun ikut menangis. Hatiku semakin perih.

“Mak... maafkan Nayla ya” gumamku dalam hati. Ada rasa menyesal menghimpitku. Kalau saja aku segera pulang saat mendapat telepon mengabarkan Mamak sakit pasti aku masih bisa memandang wajah Mamak untuk terakhir kalinya. Penyesalan itu tak ada gunanya lagi kini. Aku harus segera mempersiapkan baju dan perlengkapan lainnya untuk kepulanganku besok. Sungguh aku merasa tak mampu melakukannya. Namun siapa lagi yang akan mempersiapkan. Tangisku masih setia menemaniku, terlintas wajah mamak saat terakhir aku berada di Sumatra. Saat itu aku pulang setelah menikah. Semalaman Mamak cerita. Begitu terlihat penderitaan di wajah Mamak.

“Nduk... Mamak pengennya masa tua Mamak ikut sama kamu ya. Bolehkan?” 
“Boleh dong Mak. Aku pasti senang sekali kalau hal itu benar terjadi, Mak” Jawabku dengan binar bahagia.
“Iya Nduk, tapi gak sekarang. Nanti kalau adikmu sudah lulus sekolahnya”
“Iya Mak. Nayla ngerti. Nayla berharap semuanya akan terwujud ya Mak” kataku sembari tersenyum.
“Iya Nduk. Mamak gak mungkin ikut sama kakakmu. Kasihan anaknya banyak” Wajah Mamak terlihat sedih.
“Iya Mak, Nayla gak sabar menunggu waktu itu datang. Udah jangan sedih ya” Jawabku lagi dengan senyuman, mengalihkan kesedihan Mamak.
“Iya Nduk,” tapi ngomong-ngomong pantas saja ya kamu bisa jatuh cinta sama suamimu. Wong ganteng gitu hehe” Ledek Mamak membuatku tersipu.
“Mamak. Aku sayang sama suamiku. Ya, gimana udah suka dari sejak pertama ngelihat” jawabku dengan pipi menjambu.
“Kamu seleranya tinggi ya Nduk” Mamak lagi-lagi meledekku.
“Mamak kok ngomong gitu” jawabku tambah tersipu.
“Iya Nduk. Bener kan?” Kata Mamak dengan tatapan menggodaku.
“Hehehe Mamak.” Jawabku sekenanya.
“Gak nyangka ya Nduk. Kamu sekarang sudah menikah.”
“Iya Mak, Gak terasa ya. Waktu itu aku pulang masih sendiri. Sekarang bawa suami ya Mak”
“Iya Nduk. Nanti pulang lagi pasti bawa anak.”
“Amin, semoga ya Mak.”
Mamak tersenyum. Aku merasa bahagia malam itu. Ya, semalaman kami bercerita. Aku sengaja tidur sekamar dengan Mamakku dan Mas Restu suamiku mengijinkan.

Aku tak pernah menyangka obrolan malam itu adalah obrolan penuh kemesraan yang terakhir antara aku dan mamak karena pagi-pagi sekali, aku sudah harus bersiap-siap pulang ke Jawa dan kini hanya kabarnya yang kudengar.“Nanti pulang lagi pasti bawa anak” Kalimat ini, kini sungguh serasa selaksa sembilu menusuk hatiku. Mamak benar aku akan pulang membawa anakku Yoga, tapi .. Ah! aku tak mampu menerusakan kata-kataku dalam hati. Airmata membanjiri pipiku lagi. 

Menjelang sore aku mulai tenang. Aku harus mengirim doa untuk Mamak karena saat ini hanya itu yang bisa menghubungkan aku dan Mamak. Setelah sholat asar aku berdoa dalam hati, “Ya Allah ampunilah dosa-dosa ibuku Ya Allah” pintaku dengan linangan air mata. “Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa. “Allahummaghfir laha, warhamha, wa ‘aafihi, wa’fu ‘anha. wa akrim nuzulaha, wa wassi’ mudkhalaha. waghsilha bilmaa`i wats tsalji wal baradi, wa naqqihi minal khathaayaa kamaa naqqaitats tsaubal abyadha minad danasi. wa abdilha daaran khairan min daarihi, wa ahlan khairan min ahlihi, wa zaujan khairan min zaujihi. wa adkhilhul jannata, wa a’idzha min ‘adzaabil qabri, au min ‘adzaabin naar. Amin Ya Robbal Alamin.

Pukul 10.30 malam sebuah mobil travel menjemputku beserta suami dan anakku. Hatiku seperti tersilet-silet saat berada di mobil itu. Hampa, walaupun aku pulang tak kan kulihat lagi wajah Mamak. Aku sudah mengijinkan mamak dikebumikan sebelum aku datang. Tidak mungkin menungguku. Terlalu lama, kasihan Mamak. Sesampai di Bandara sama hambarnya. Aku tak menikmati sama sekali perjalanan itu. 

Justru perasaanku tambah hancur saat pesawat akan lepas landas dan Yoga terus menangis. Yoga seperti tahu kalau aku sedang bersedih. 45 menit kemudian pesawat mendarat di Bandara Polonia. Dari bandara kami masih harus menempuh 4 jam lagi perjalanan. Kali ini aku tidak terlalu berhemat-hemat ria. Yang terpikirkan aku harus segera sampai. Kami menyewa taxi menuju ke pangkalan Paradep taxi. Travel murah meriah menuju Siantar. Perjalanan terasa lama. Hawa sejuk yang hadir di sepanjang jalan dari perkebunan karet yang terbentang tak mampu mendinginkan hatiku yang panas karena nyeri dan perih.

Sesampai di rumah Mamak, suara tangisan yang menyambutku. Semua saudara berkumpul. Jelas aku tak akan merasakan lagi pelukan hangat Mamak. Merasakan nikmatnya masakan Mamak. Aku lemas. Tak sabar ingin ziarah ke makam Mamak. Hanya tempat itu kini yang bisa aku lihat. Aku merasa belum membahagiakan Mamak. Aku merasa menyesal tak melihat Mamak saat sakaratul maut. Tak bisa membisikkan satu katapun saat itu. Airmataku berlinang lagi “Ya Allah. Tempatkanlah Mamak di tempatMu yang terindah” Amiin. Kuhapus air mataku sembari melangkah mendekati makam Mamak. Hanya makam tanpa pelukan hangat dan senyuman, apalagi kata-kata.

***
“Ma.. Ma, kenapa kok nangis?” tanya Yoga.
Aku terhenyak “Oh ... gak, gak papa sayang, ini Mama nulis puisi” jawabku sembari menghapus airmata yang menetes dan menunjukan tulisanku di atas buku tulis. Aku berbohong kalau baru saja kenangan tentang mamak hadir.
“Kok mata Mama merah. Bener nangis ya. Siapa yang jahat sama Mama?” tanyanya lagi.
“Gak ada sayang, mata Mama sakit kelilipan kayaknya. Sini anak mama yang ganteng ini Mama peluk. Ada apa kok bangun bobonya?” kataku sembari merengkuhnya.
“Iya, Ma. Yoga mimpi buruk. Temenin Yoga yuuk ... usap-usap punggungku” rengeknya manja, begitulah hal rutin yang harus kulakukan sebelum dia tertidur. Mengusap punggungnya.
“Iya sayang, ayuk sini” ajakku menuju kamarnya. Anakku adalah segalanya bagiku. Begitupun dengan Mamak, apa saja dilakukan Mamak untuk kebahagiaan kami. Tak kan terlupa selamanya. Kasih sayang seorang ibu tak kan tergantikan dengan apapun juga.
Tak bisa dihargai dengan berapapun banyaknya materi. Kasih sayangnya tetap abadi. Bahkan seorang ibu rela mengurai tangisnya menjadi serpihan-serpihan kebahagiaan anak-anaknya. Ah! Beruntunglah mereka yang masih memiliki orangtua. Jaga dan sayangilah selama masih bisa. Berbaktilah sebelum menyesal selamanya.

2 komentar:

  1. Bila menulis dengan hati. Insya Allah membuat orang merinding. Terima kasih berkenan baca ya :)

    BalasHapus