(Menulis
ala GPM) MY FIRST LOVE
Cinta
Pertamaku terjadi Pada Pandangan Pertama
Jalanan
sangat lengang. Sepi hanya pohon-pohon cemara yang berjejer rapi di halaman
kantor sedang asyik bercengkrama. Seorang gadis dengan kemeja putih, rok span
pendek dan sepatu high hills warna hitam melangkah ragu. Hmmm.... sepi banget
gumamnya. Gadis itu adalah aku. Hari ini kali pertama aku masuk ke kantorku
yang baru. Perawakanku yang kecil. Sepintas lalu terlihat seperti anak sekolah.
Mungkin hal itu membuat beberapa anak laki-laki berseragam sekolah yang baru
datang langsung mendekatiku. Aku terlibat perbincangan dengan anak-anak sekolah
itu. Mereka anak praktek di kantor sebelah. Kantor sebelah yang tadinya aku
pikir masih kantor yang sama dengan kantorku tapi ternyata berbeda. Untung
kantor sebelah sudah ada aktifitas tidak seperti kantor baruku masih sepi.
Bahkan pintu pagar depannya masih tergembok. Aku masuk lewat pintu pagar kantor
sebelah. Kalau tidak pasti aku menunggu di luar pintu pagar. Aku melirik jam
tanganku hmmm... pukul 06.15 WIB. Pantas saja masih sepi tapi bukan tanpa
alasan aku datang sepagi itu karena Kata Pak Handoyo Pimpinan di kantorku yang
baru masuk kantor Pukul 07.00 WIB. Karena itu mana mungkin aku datang terlambat
di hari pertama aku kerja.
Saat aku
sedang asyik berbincang dengan anak-anak sekolah. Sebuah kendaraan umum
berwarna biru berhenti tepat di depan pintu pagar. Sesosok laki-laki keluar.
Gagah, dengan postur tinggi, berbadan tegap dan owh... ganteng sekali. Jantungku
seperti berhenti. Deg.... laki-laki itu berjalan ke arahku dan menyapaku sambil
tersenyum dan mengganggukkan kepalanya.
“Bu ...”.
Astaga jantungku langsung berdetak kencang, berdebar-debar. Perasaanku tak
karuan. Pandanganku tak bergeming. Aku sempat membaca papan nama yang menempel
di seragamnya Iwan Alamsyah. Hmmm... gumamku. Aku sungguh tak mengerti perasaan
apa yang kini kualami. Sungguh aku belum pernah merasakan itu.
“Pak”
anak-anak sekolah menyapanya. Dia kembali tersenyum. Iwan Alamsyah melangkah
meninggalkanku dan anak-anak sekolah. Aku seperti ingin ikut melangkah
mengikutinya. Sebelum hal itu kulakukan aku tersadar. Aku harus segera masuk ke
kantor baruku karena sudah banyak karyawan lain yang datang.
Aku menunggu
di ruang tamu Kantor dengan pikiran masih dipenuhi sosok Iwan Alamsyah, sungguh
siapakah dia?. Apakah dia sudah menikah? Dimana rumahnya?. Aku tak bisa
menjawabnya karena sebelumnya tak ada sosok lain yang bisa membuatku ingin tahu
seperti sekarang. Apakah Aku jatuh cinta ? Mungkinkah dengan hanya menatap
beberapa detik itu. Kenapa jantungku terus berdebar-debar saat senyuman Iwan
Alamsyah terlintas di benakku. Hmm... sulit dijawab. Sepulang kerja sungguh
ingin sekali Aku bisa melihat senyum Iwan Alamsyah lagi. Dengan sengaja Aku
tidak segera menyeberang. Diam saja menolak beberapa supir angkot yang
menawariku. Terlihat banyak pegawai kantor sebelah melintas dengan mobil dan
motor tapi tidak juga kulihat Iwan Alamsyah padahal hampir 20 menit aku berDari
di situ. Hmmm.... ntar tunggu 10 menit lagi gumamku. Sampai kantor sebelah
benar-benar sepi. Iwan Alamsyah tak muncul juga. Dengan kecewa aku akhirnya
menyeberang, menyetop angkot dan duduk menyenderkan badanku. Lagi-lagi senyum
manis Iwan Alamsyah haDar tanpa kuminta.
Pagi ini cuaca
sangat cerah. Aku berjalan dengan semangat. Sudah beberapa minggu aku masuk ke
kantor baru itu, tapi tak ada perkembangan berarti untuk hubunganku dan Iwan
Alamsyah kecuali saling pandang dan melempar senyum. Itu juga karena aku yang
selalu mencari perhatian saat sarapan di Kantin Kantornya bersama teman-temanku
atau saat aku sengaja berdiri di depan pintu kantorku sambil memperhatikannya
yang sedang senam. Memalukan... tapi tidak buatku. Aku senang melakukannya asal
bisa melihat sosoknya yang membuatku selalu susah tidur. Selalu teringat senyum
manisnya. Ooh.... Iwan kenapa kamu begitu cool. Membuat aku penasaran. Aku
terkaget tiba-tiba ada motor yang dikendarai laki-laki berpakaian putih-putih
berhenti di sampingku membuyarkan lamunan ku. Laki-laki itu membuka helmnya.
“Ibu, mau ikut. Mari. Daripada jalan kaki”
laki-laki berkulit hitam manis, berhidung mancung itu menyapaku. Aku tak
menyangka akan ditawari seperti itu.
“Ooh gak pak,
terimakasih saya sudah biasa jalan kok”
“Ayuk bu. Di
sini susah kendaraannya. Ibu orang baru kan”
“Iya, tapi
maaf saya gak bisa ikut. Saya jalan saja dech. Terimakasih”
“Ya sudah bu
kalau begitu saya duluan ya” dengan wajah kecewa laki-laki itu menutup helmnya
dan berlalu meninggalkanku. Laki-laki tadi juga manis dan begitu baik menyapaku
dan menawarkan bantuan, tapi di mataku tidak semanis Iwan Alamsyah. Begitu
penasarannya aku dengan sosoknya sampai membuatku bertanya saat di kantor ke
Mba Nadia yang sudah bekerja lebih lama dariku.
“Mba... kenal
gak sama pegawai kantor sebelah”
“Siapa Ning”
“Iwan Alamsyah
mba”
“Gak Ning, gak
kenal. Kayaknya baru dech”
“Masa’ gak
kenal Mba. Orangnya tinggi mba” Aku mencoba menjelaskan berharap Mba Nadia
tahu.
“Gak kenal
Ning. Beneran gak kenal”
“Gak kenal ya”
Aku kecewa.
“Ada apa Ning?”
“Gak ada
apa-apa mba”. Aku tak berani jujur kalau aku suka Iwan. Aku cinta. Aku selalu
kangen. Aku ingin mengenal lebih jauh Iwan. Aku ingin sekali ngobrol dengannya.
Hmm... begitu dasyatnya senyum Iwan hingga selalu haDar di setiap hembusan
nafasku. Begitu hebatnya membuatku yang sudah menolak banyak laki-laki
bertekuklutut begitu memujanya hanya karena pandangan pertama tanpa tahu Iwan
baik atau tidak. Bertolak belakang dengan keinginanku tentang pria idamanku. Harus
Sholeh. Harus pintar. Harus baik. Harus sopan. Harus punya pekerjaan tetap, dan
harus bisa membantuku membuat ibu dan adik-adikku bahagia, tapi hanya sekali
senyum Iwan membuatku melupakan segalanya.
Berkali-kali aku
sengaja ikut dengan teman-temanku sarapan di kantin kantor Iwan. Hanya agar
bisa memandang wajah Iwan yang sedang asyik bekerja di ruangannya. Walau
terpisahkan kaca jendela. Aku sebenarnya risih kalau sarapan begini selalu ada
Jodi laki-laki berpostur kecil teman kantorku yang selalu berusaha mendekatiku.
Bahkan terang-terangan Jodi pernah menyatakan perasaannya.
“Ning... aku
suka sama kamu”
“Apa..?” Aku
merasa tak percaya. Pantas saja Jodi suatu hari ngotot mau mengantarkan pulang
sehabis lembur di kantor. Karena tak ada kendaraan lagi menuju rumah Ibu tiriku
Aku mau diantar Jodi, tapi Aku sungguh tidak nyaman. Ditambah sikap ibu tiriku yang
pasti akan marah melihatku diantar laki-laki. Bisa-bisa Aku akan diusir. Aku
nekat turun di tengah jalan walau Jodi melarang tapi Aku tetap tak perduli.
“Ning. Benar
aku suka sama kamu. Bukan hanya sekedar suka Ning. Mau gak kamu nikah sama aku”
“Haa? Nikah ” Aku kaget.
“Iya Ning.
Wanita seperti kamulah yang aku impikan jadi istriku”.
“Gak.. gak.
Kamu bercanda ya. Aku gak bisa. Umurku baru 19 tahun. Yang benar saja.”
“Iya Ning.
Benar aku mau nikah sama kamu”
“Gak..gak. Aku
gak percaya. Kamu Cuma ngerjain aku kan”. Aku sungguh tak percaya karena Jodi
sering usil. Bahkan Aku sering menangis dibuatnya. Saat Aku yang seorang
perantau tidak pulang kampung di hari Lebaran. Jodi habis-habisan meledekku
anak durhaka tanpa belas kasihan padahal pipiku sudah basah tergenangi air
mata.
“Hahahaha...”
tiba-tiba Jodi ketawa mengagetkanku.
“Jodi kamu kok
malah ketawa?”
“Hehehe.. kamu
pinter ya Ning. Gak percaya gitu aja sama aku”.
“Jodiiiii...
kamuuuuu” teriakku gemas.
“Aku Cuma
ngerjain kamu Ning” jawab Jodi tanpa rasa bersalah, tapi agaknya pengakuan Jodi
ini bohong karena akhirnya Jodi mengakui perasaannya setelah menikah dengan
wanita lain.
************
Hari ini tak
seperti hari biasanya. Begitu lama angkot kuning itu datangnya. Sudah satu jam
aku menunggu, tapi tak ada juga. Tiba-tiba laki-laki berseragam putih-putih itu
menghampiriku.
“Ibu, ayuk
ikut saya aja. Ibu ke arah selatan kan. Saya sering memperhatikan ibu. Saya
juga tahu loh ibu kantornya dimana”. Apa? memperhatikan. Batinku. Tahu kantorku.
Kok bisa. Dari mana lalu apa tujuannya. Pikiranku berkecamuk, tapi Aku memang
harus ikut laki-laki itu kalau tidak dia akan terlambat. Aku masih ragu.
“Ayuklah bu”.
Saya tidak akan ngapa-ngapain ibu kok” laki-laki itu berusaha meyakinkan.
Akhirnya Aku
yakin. Aku pikir siang hari begini apa yang mesti aku takutkan. Dari Sumatra
saja aku berani senDarian. Benar kata laki-laki itu. Dia tidak akan berniat
tidak baik. Aku percaya saja. Sepanjang perjalanan laki-laki itu mengenalkan Darinya.
Namanya Darma. Mahasiswa Akademi keperawatan. Dia sempat bekerja sebelum
kuliah. Usianya 23 tahun. Ternyata tetangga Ibu Tiriku. Sejak hari itu setiap
hari Darma rela mengantarkan dan menjemputku, tapi Aku selalu menolak kalau Darma
ingin main di malam minggu. Sementara belum ada komunikasi berarti antara
hubunganku dan Iwan, tapi sosok Iwan benar-benar sudah menguasai semua relung
hati dan rongga kepalaku. Walau Darma begitu baiknya, tapi Darma tak mempunyai
tempat sedikitpun di hatiku. Sampai suatu hari Darma menyampaikan perasaannya.
“Ning... aku
sayang kamu”
“Sayang.
Maksudnya?’
“Iya Ning. Aku
sayang kamu. Mau gak kamu jadi pacarku”
“Pacar?” Aku
kaget. “Aku gak bisa Dar”
“Kenapa Ning?
aku pikir kamu mau aku ajak. Kamu juga suka sama aku”. Aku tersentak. Aku tak
menyangka Darma berpikir begitu.
“Jadi... kamu
baik sama aku ada maunya ya?” Aku agak kesal.
“Bukan Ning..
aku tulus memang sayang kamu”
“Aku gak bisa Dar.
Aku hanya bisa anggap kamu teman Dar”
“Ning.. kamu
tega. Kamu benar-benar gak memberi kesempatan aku”
“Aku gak bisa Dar”
“Ning... aku
rela mati demi kamu. Aku bisa bunuh diri kalau kamu tolak Ning” Kata-kata Darma
membuat Aku tak suka. Laki-laki ini begitu cengengnya. Pikirku.
“Terserah kamu
aja Ning. Aku gak bisa. Mulai besok kamu gak usah jemput atau antar aku”.
“Ning.. kok
sampai segitunya”.
“Udah Dar.
Udah jelas kan semuanya. Jadi aku turun di sini aja”. Aku memaksa turun. Darma
melarang, tapi Aku tetap memaksa. Darma tak kuasa menolak. Dia memberhentikan
motornya. Aku turun dan gak mau lagi naik motor Darma. Untung rumah Ibu Tiriku
sudah terlihat. Aku tidak harus terlalu jauh menghindari Darma. Aku sungguh
kejam ya. Sungguh tega membiarkan Darma mengikutiku pelan-pelan dengan
motornya. Sejak kejadian itu Aku menghindari Darma. Tak membiarkan Darma mendekatiku
lagi. Sampai Darma nekat melakukan hal yang membuatku tambah kesal. Darma datang
dengan tangan penuh luka ke kantorku.
“Ning, tolong
aku. Aku baru tabrakan. Ini karena kamu. Aku selalu memikirkan kamu Ning”
“Darma, kamu
harusnya ke Puskesmas bukan ke Kantorku” kataku.
“Aku inign
tunjukkan ke kamu. Aku benar-benar sayang kamu”
“Darma....
obatin dulu lukanya” Aku panik melihat begitu banyak darah.
“Aku ingin kamu
menerima aku jadi pacarmu Ning”
“Darma... aku
gak bisa, tolong Darma. Cinta itu gak bisa dipaksakan. Kamu harus obati luka
kamu dulu”
“Ning kamu
tetap gak menerima aku. Kamu senang ya kalau aku mati”
“Darma...
tolong. Aku gak bisa. Kalau kamu sayang sama aku. Kamu berobat dulu ya”
“Tapi kamu
janji ya Ning. Kamu mau aku antar lagi”
“Terserah kamu
aja Dar, tapi kamu berobat dulu ya” Aku kehabihan cara menolak Darma.
Darma menurut.
Dia mau berobat diantar temannya. Sikap Darma yang konyol membuatku sungguh tak
ingin dekat lagi dengannya. Aku tetap menghindar bahkan sampai ibunya Darma
berkunjung ke Rumah Ibu Tiriku.
“Mi.. saya
kesini mau tanya soal Neng Menning”
“Maksudnya
gimana Ya” Ibu tiriku kaget walau Mimi Tahu kalau Darma dulu sering mengantarku.
“Iya, kasihan Darma
Mi. Dia ingin saya melamar Neng Menning. Darma ingin menunjukkan kesungguhannya
ke Neng Menning. Makanya saya datang kesini. Tanya dulu.”
“Ning. Itu ada
ibunya Darma ingin ketemu kamu”. Ibu tiriku memanggilku. Aku kaget. Ada apa ?
pikirku. Bukannya Aku sudah tidak pernah komunikasi dengan Darma lagi.
“Ibu...” sapaku
sambil bersalaman.
“Ning...
ibunya Darma mau tahu bagaimana hubunganmu sama Darma”
“Ooh.. maaf
ibu. Saya sama Darma hanya teman”
“Ooh.. ya
sudah kalau gitu. Ibu pamitan saja” terlihat ekspresi kekecewaan di wajah
Ibunya Darma. Sepulangnya Ibunya Darma. Ibu Tiriku baru cerita kalau Darma
ingin melamarku, tapi gak jadi karena Aku menyampaikan kalau hubunganku dan Darma
hanya teman saja. Lagi-lagi wajah Iwan yang terbayang. Coba kalau Iwan yang
datang melamarku. Pasti langsung kuterima.
************
Siang yang
terik membuat angin bersembunyi membiarkan daun-daun merintih menahan rindu
seperti hatiku yang rindu menunggu di bawah pohon kalau-kalau ada Iwan muncul
dari kantornya. Baru 15 menit aku
menunggu tiba-tiba benar saja ada Iwan, tapi aku sudah keburu menyeberang. Hari
ini Aku sudah janji dengan sebuah LPK untuk mendaftar kursus komputer. Aku tak
bisa membatalkan. Walau kecewa dan kesal dengan keadaan itu. Aku membiarkan Iwan
berlalu dengan angkot warna biru. Seperti ada yang hilang hanyut terbawa air
bah pesona senyum Iwan, tapi setidaknya aku bisa melihat senyum itu lagi. Besoknya
sepulang kerja aku sengaja keluar kantor paling terakhir. Aku tak segera
menyeberang. BerDari lama menunggu sang pujaan hatiku Iwan Alamsyah. Berkali-kali
aku melambaikan tangan menolak supir angkot. Ternyata benar saja ada Iwan. Aku
buru-buru menyetop angkot walau bukan ke arah aku pulang. Aku sengaja agar satu
angkot dengan Iwan. Aku naik diikuti Iwan. Di dalam angkot kami beradu pandang.
Aku kikuk. Iwan juga. Aku dan dia berbarengan menyapa. Mendadak hari itu aku memutuskan
belanja agar bisa bersama dengan Iwan. Dan Iwan juga memberi harapan dengan
mengantarku pulang ke rumah Ibu Tiriku. Hari itulah awal hubungan asmara kami
bermula.
Iwan tak
pernah memujaku, mengatakan kata cinta dan sayang juga tidak pernah. Hubungan
kami mengalir saja karena kami bukan anak ABG lagi. Iwan juga tak seperhatian Kandra
ponakan ibu tiriku. Kandra begitu perhatiannya sering mengantarkan sarapan
untukku. Membelikan obat saat aku terlihat kurang sehat. Siap kapanpun saat aku
membutuhkan bantuannya. Aku tak pikir macam-macam aku pikir Kandra baik tak ada
embel-embelnya karena yang aku tahu Kandra sudah dijodohkan oleh orangtuanya.
Ternyata aku salah. Suatu hari Kandra mengembalikan buku yang dipinjam
sodaranya “JILBAB WANITA MUSLIMAH” Buku yang diberikan Pimpinanku Pak Handoyo
dan karena Buku itu pula aku memutuskan berkerudung. Di dalam buku itu ada
Amplop berisi surat ungkapan cinta Kandra. Hmmm... tapi mana mungkin aku menerima
Kandra karena cintaku sudah berlabuh di hati Iwan. Kandra juga tak meminta
jawabanku. Hanya mengungkapkan apa yang dia rasa. Pantas saja sempat terlihat
pandangan tak suka Orangtua Kandra saat aku main ke rumah mereka.
Setelah Kandra
hadir dalam hubunganku dan Iwan. Suatu malam datang seorang laki-laki bernama
Farid diantar Adik Ibu tiriku. Aku syok bagaimana bisa dia ingin melamarku.
Padahal aku tak mengenalnya. Menurutnya dia sering memperhatikanku saat aku
berangkat kerja. Dia juga sudah tahu banyak tentangku. Yang aku ingat aku
memang pernah bertemu saat aku menyapu halaman rumah saat dia berlari pagi. Dia
juga menyampaikan siap bila harus melamarku ke Ibu kandungku di Sumatra. Semua
Keluarga di Jawa mendukungnya untuk jadi suamiku. Karena secara materi dan
pekerjaan dia sudah mapan dibandingkan Iwan. Dia juga sudah membeli rumah dekat
kantorku. Menurutnya agar dia bisa mengantar dan menjemputku setiap hari. Aku
memutuskan memberi waktu dua minggu. Untuk menjawab lamaran Farid. Aku sedikit
goyah. Aku ingin keputusanku juga keputusan Allah. Dua minggu itu tak ada satu
malampun berlalu tanpa aku sholat Istikhoroh memohon kepada Allah siapa yang
harus aku pilih. Tapi setelah dua minggu aku tetap memilih Iwan dan menolak
lamaran Farid.
Keluargaku di Jawa
menolak dan tak merestui hubunganku dengan Iwan. Hanya Ibu kandungku di Sumatra
setuju. Kata Ibu yang penting ada yang menjagaku. Kalau aku menerima keadaan
Iwan ibu pasti merestuinya. Kata-kata ibu kandungkulah yang menguatkanku untuk
melanjutkan hubunganku dengan Iwan. Setelah terdengar kabar Farid menikah
dengan wanita lain. Lambat laun keluargaku menerima Mas Iwan (panggilan
sayangku untuknya). Kami berani menyampaikan rencana keluarga Mas Iwan yang
ingin melamarku. Kakak tiriku yang di Bandung merestui hubungan kami bahkan
bersedia menggelar acara pernikahan kami nantinya. Walau Istri kakak tiriku yang
tinggal di Bogor yang juga memasukkanku kerja di Kantor masih belum
merestuinya. Tapi acara pernikahan itu tergelar juga. Sangat sederhana. Bahkan
di hari pernikahanku masih saja ada cibiran tak suka tentang Mas Iwan yang
kudengar dari kakak iparku. Tapi aku bahagia tak ada yang mengalahkan
kebahagianku di hari pernikahanku walau ada perasaan sedih juga karena orangtua
kandungku tak ada di sampingku. Bapakku sudah almarhum dan Ibu kandungku yang
berada jauh ribuan kilometer dariku.
Cinta
pertamaku Iwan Alamsyah yang kini jadi suamiku. Adalah Cintaku yang terjadi pada
pandangan pertama. Cintaku tak bersyarat untuknya. Walau Mas Iwan tak sebaik Darma.
Tak seperhatian Kandra. Tak semapan Farid. Tapi aku tetap memilihnya jadi
suamiku. Perasaan Cinta yang kurasa tak pernah berubah dari sejak pertama aku
melihatnya hingga hari pernikahanku. Cintaku untuknya begitu dasyatnya membuat
aku mampu melewati cobaan-cobaan dari penolakan keluargaku. Cibiran kakak
iparku. Dan godaan-godaan para pria yang juga mencintaiku. Di hari pernikahanku
aku buat keputusan besar dalam hidupku. Semoga aku bahagia memilih Iwan
Alamsyah menjadi suamiku.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar