Senin, 19 November 2012

RINDUKU PERGI BERSAMA HIDUPKU

Telah dimuat di
http://www.rimanews.com/read/20121119/82164/rindu-pergi-bersama-hidupku-cerpen-mening-alamsyah
http://radarseni.com/2013/03/16/rinduku-pergi-bersama-hidupku-2/
Dingin menyergap tubuhku. Cuaca mendung dan ruangan ber-Ac ini membuatku menggigil. Aku terpuruk di sudut ruangan bisu yang beku. Hatiku pun mulai beku saat kau hadir dalam relung-relung ingatan. Kau, laki-laki yang kukenal dari jejaring sosial. Laki-laki yang belum pernah kutatap matanya secara nyata. Kau seperti hantu yang mengganggu hari-hariku. Begitu banyak kenangan yang tak mungkin terlupa. Kau laki-laki bermata teduh dengan tubuh tinggi semampai sungguh atletis. Senyummu yang mengembang terlihat begitu manis. Baju kaos hitam dan topi itu selalu lekat dalam anganku. Gambaran yang bisa kusimpulkan dari foto-fotomu di dunia maya. Kau yang dulu selalu hadir di setiap pagiku. Menyapaku di Yahoo Mesengger walau kadang tak kuacuhkan. Kau temani aku menulis kekesalan hatiku sepanjang hari. Kau sabar membaca kata demi kata berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun sampai datang hari itu. Kau mulai mempertanyakan rasa dalam hatiku.
“Kamu sebenarnya menganggap aku apa?”
“Mas, kok nanya begitu?”
“Ya, aku hanya ingin tahu.”
Aku tak langsung menjawab. “Hmm,” gumamku.
“Kok hmm?”
“Ya, karena aku sudah pernah sampaikan ke Mas. Mas itu orang terpenting dalam hidupku. Penyejuk hatiku. Mas selalu bisa membuat aku bahagia.”
“Kamu mencintai aku tidak?”
“Maksudnya cinta ini cinta yang seperti apa?”
“Ya, cinta seperti seorang wanita yang mencintai laki-laki.”
Cinta, kata ini sungguh aku tak tahu artinya. Apakah termasuk cinta bila aku merasa rindu? Merasa ingin selalu berbincang dengannya. Apakah juga bisa disebut cinta bila aku bahagia karenanya.
“Mas aku anggap seperti kebutuhan batinku.”
“Kok begitu?”
“Ya, karena aku tak tahu apa artinya cinta itu.”
“Aneh.”
“Ya, aku memang aneh.”
“Aneh, kamu itu sudah menikah. Masa’ gak tahu artinya cinta itu apa?”
“Ya, aku memang sudah menikah Mas, tapi aku tak tahu apakah aku mencintai suamiku atau tidak.”
“Loh, kenapa kamu memutuskan menikah dengannya kalau tak mencintainya?”

Aku terdiam tak segera mengetik huruf demi huruf untuk membalas pesannya, “Aku menikahinya karena dia yang bisa menerimaku apa adanya. Dia rela menikahiku yang sudah tak perawan.”
“Ya, aku sudah tahu kalau soal itu.”
“Lalu apalagi Mas? Bukankah sudah kujelaskan aku tak mengenal cinta. Hidupku bukan untuk cinta Mas. Aku tak pantas merasakan cinta.”
“Bagaimana kalau aku mencintaimu, apakah kau percaya?”
“Mas mencintaiku?”
“Ya, dari dulu aku mencintaimu.”
“Aku memang tak percaya. Mas sudah memiliki istri yang begitu Mas cintai.”
“Memang, tapi aku akan segera bercerai dari isteriku.”
“Aku sungguh bahagia Mas mencintaiku, tapi kok aku tetap gak percaya ya? Kenapa Mas harus bercerai? Apakah karena alasan anak?”
“Bukan. Kami sudah lama tidak cocok. Banyak masalah yang timbul. Sudah lama kami coba pertahankan, tapi tetap tak menemukan titik temu.”
Aku seperti kehilangan kata-kata.
“Maukah kau menikah denganku setelah bercerai dari istriku?”
“Mas, aku ...”
“Kamu menolakku ya?”
“Maaf Mas. Tidak mungkin aku bercerai dari suamiku. Keluargaku berhutang banyak padanya. Dia yang memberi kebahagiaan untuk keenam adik-adikku. Aku rela berkorban demi adik dan orang tuaku walau aku tak mencintainya.”
“Ya sudah. Aku tak memaksamu.”
Kalimat itu kalimat terakhir dari perbincanganku dengannya. Setelahnya dia sama sekali tak pernah menyapaku lagi. Dia sudah menghapusku dari daftar pertemanannya. Dia benar-benar menjauh. Aku memang tak bahagia menikah dengan suamiku. Aku menikah karena hartanya. Sudah berkali aku terluka karena cinta. Kesucianku yang terenggut paksalah awal mula aku membenci laki-laki. Aku yang cantik dengan hidung mancung, tubuh semampai, dan kulit putih bersih rela menikahi laki-laki paruh baya yang bertubuh tambuh demi uangnya untuk membayar hutang-hutang orang tuaku. Pernikahanku yang sudah lebih tiga tahun ini belum juga membuatku mengandung. Kebahagiaan seperti apa yang kudapat kecuali hartanya. Hidup bergelimang harta tetap tak membuatku bahagia, pagi ini aku benar-benar merindukan Mas Restu.
“Mas, mengapa kau tega meninggalkanku begini. Mengapa kau tak mau hanya menjadi temanku?” Tanyaku dalam hati. Bulir bening mulai menetes di pipiku yang putih bersih. Kubiarkan benda hangat itu membasahi wajahku, mengalir lembut menuju bibirku yang merah merona. Nyatanya aku merindukannya, itu sungguh menyakitkan. Bukankah aku seharusnya membenci laki-laki? kalimat itu tak berlaku untuk Mas Restu. “Mengapa tak kau biarkan aku tahu keadaanmu, hanya tahu. Itu cukup buatku,” batinku perih.
***

Hari-hariku berlalu tanpa Mas Restu. Dia meninggalkan luka yang begitu dalam di hatiku. Aku hanya berusaha menjalani kehidupanku secara normal. Menjadi seorang istri yang setia. Segayung air dingin mengguyur tubuhku yang semampai membasahi setiap lekuk-lekuknya. Kubuka tutup sampo dan mengeluarkan isinya aku mulai meremas-remas rambutku. Membersihkan mahkotaku yang indah. Aku tercekat, rambutku seperti tercerabut. Tanganku penuh dengan rambut yang tergenggam. Ini kali kedua setelah tadi pagi kudapati rambutku terlepas dan bergumul mesra di atas bantal. “Ya Tuhan ada apa ini?” kepalaku terasa berat. Semuanya gelap. Senyap tak ada suara. “Mas Restu tunggu ... jangan tinggalkan aku Mas, jangan ... aku membutuhkanmu!” teriakku di antara pekat yang begitu menyiksa. Tak ada sahutan. Aku menggigil. Badanku seperti berada di dalam frezer. Dingin membeku.
“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mbok Yem, pembantuku.
“Mbok, saya kenapa?” tanyaku heran. Kini tubuhku terasa hangat dengan selimut tebal memeluk erat.
“Tadi ibu pingsan di kamar mandi. Saya lama menunggu kok gak ada suara, lalu saya memanggil ibu-ibu di komplek sini Bu.” Mbok Yem begitu lekat menatapku.
“Mbok Yem, tadi saya itu ...” Aku tak meneruskan, anganku yang melambung membayangkan betapa malunya tadi aku pingsan dalam keadaan telanjang.
“Perempuan semua kok, Bu. Tadi saya panik. Menelepon bapak tidak diangkat-angkat.”
“Ya, gak papa Mbok. Terima kasih ya. Nanti kalau bapak tanya bilang saja salah pencet ya, jangan ceritakan keadaan saya tadi.”
“Tapi, Bu.”
“Tolong ya Mbok Yem. Bapak sedang sibuk dan mungkin tidak akan pulang dalam dua minggu ini.”
“Iya Bu,” jawabnya tanpa membantah lagi.
Aku mulai merasa aneh. Tubuhku bertambah kurus. Berkali-kali mimisan. Aku pun begitu cepat merasa lelah padahal tak melakukan kegiatan apa pun kecuali membaca dan berselancar di dunia maya. Suamiku yang jarang di rumah membuatku merasa sepi. Mbok Yemlah yang selalu setia menemaniku.
“Dok, sebenarnya saya sakit apa ya?”
“Dari gejala yang ibu sebutkan, ibu menderita leukimia, tapi hasil yang pasti dapat diketahui setelah cek darah.”
“Apa Dok? Leukimia?”
“Iya benar Bu. Dua hari lagi ibu dapat mengambil hasil tesnya.”

Kutinggalkan rumah sakit. Menyusuri jalanan dengan perasaan gundah. “Ya Tuhan, ijinkanlah aku bertemu Mas Restu walau satu kali saja. Aku tahu aku salah. Aku berdosa memikirkan laki-laki lain sedang aku memiliki suami. Ijinkanlah sekali saja bertemu sebelum ajal menjemputku,” rintihku pilu dalam hati. Kulangkahlan kakiku menyeberangi jalanan yang begitu ramai. Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Aku merasa sebuah benda menabrakku. Aku terpental. Hening, tak ada satu suara pun. Setelahnya aku seperti terbang ke alam yang tak pernah kulihat selama ini.

***
Cirebon, 19 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar