Minggu, 11 November 2012

MAAF! AKU TELAH MENGATAKANNYA


Cerpenku yang dimuat di Radar Seni edisi Minggu tanggal 11 November 2012
Malam meremang berteman kerlip bintang dan rembulan yang malu-malu. Benda langit itu mengintip dari balik gumpalan awan. Mendung, semendung hati Rani, gadis manis berkerudung putih. Bulir bening mulai menetes di pipinya yang sayu. Matanya cekung karena tiga malam terakhir, dia sama sekali tak dapat memejamkan mata.  Di angkutan umum warna biru yang kini akan mengantarkannya pulang ke rumah setelah pulang dari Ujian Tengah Semester, hatinya terasa sakit. Suasana di dalam angkot yang sepi dan hanya seorang diri membuatnya membiarkan air mata membanjiri wajahnya di sepanjang perjalanan. Dia ingat perbincangannya dengan teman-teman sekelasnya sebelum ujian tengah semester dimulai.

“Hai, kamu! Sok pintar.”
“Sombong banget, gak mau ikutan,” ucap Hendro.
“Maaf, teman-teman. Aku gak bisa ikut kalian, aku ingin mencoba kemampuanku sendiri, aku tidak mau mencontek seperti itu, apakah kalian juga tidak ingin mencoba terlebih dulu? Kita baru semester satu, ini UTS yang pertama,” ucapnya menolak tawaran teman-temannya yang sudah mendapatkan soal ujian sebelum ujian dilaksanakan dan berharap ada yang setuju dengan pendapatnya.
“Apa sich alasan kamu? aneh ada yang mudah kok memilih yang sulit.”
“Aku ingin mencoba kemampuanku dulu. Ini kan baru UTS pertama, masa’ sudah begitu.”
“Ya, sudah. Sekarang begini, kamu harus janji sama kami, kamu tidak akan mengatakan hal ini ke siapa pun.”
Rani terdiam sejenak. Lalu, “Ya, aku janji.”

Janji itu menyakitkan hati Rani. Tiga hari selama UTS, mereka teman-temannya dengan nyaman tanpa perasaan bersalah hanya memindahkan jawaban yang sudah mereka kerjakan secara berkelompok. Hari ini puncak rasa sakit itu, saat teman terdekatnya, Hafsah juga ikut dengan mereka semua. Tinggal Rani sendiri yang jujur menjawab tanpa tahu soal sebelumnya. Bukan hanya itu karena Rani orang pertama yang mengumpulkan jawaban. Ada dua orang yang dengan sengaja menyindirnya. Baru saja soal selesai dibagikan oleh Dosen Pengawas, tiba-tiba suara Hasan menyengat telinga Rani.
“Ini Pak saya sudah selesai.”
“Ran, tuch Hasan meledek kamu,” ucap Joko.
Rani masih bisa bersikap netral, “Gak papa, biarkan saja. Kalau berbuat tidak baik kepada orang lain. Nanti juga ada yang membalas.”
“Iya, Ran. Gimana udah selesai?” ucap Sonny ketua kelas disertai suara teman-teman lainnya yang tertawa terbahak-bahak. Kali ini membuat Rani kesal. Kepalanya pusing karena dia tak bisa tidur beberapa hari ini ditambah soal ujian yang jelas tidak mudah. Rani dengan lemas mengerjakan soal-soal itu. Keadaannya yang lemas diperhatikan Dosen Pengawas yang juga Dosen pengajarnya.
“Ada apa? Kok lemes banget?”
“Iya Pak. Capek habis pulang kerja, langsung UTS,” jawabnya sedih.
“Ooh ...” Sang Dosen tersenyum dan meninggalkannya.

Rani yang selalu berprestasi di kelasnya semasa SMA tidak dapat melanjutkan kuliah seperti keinginannya. Pak Haryo, ayahnya meninggal saat dia masih kelas III SMA. Sementara ibunya yang hanya ibu rumah tangga biasa tidak mungkin membiayainya karena tidak mempunyai pekerjaan apa pun. Ibunya membuka warung kopi untuk biaya hidup mereka. Setamat SMA Rani memutuskan merantau. Kini dia dapat kuliah sore hari selepas bekerja di pagi harinya. Rani, tak pernah menyangka di Universitas tempatnya kuliah kini, dia menemukan hal seperti itu. Siapa sebenarnya mereka yang dengan rela memberikan soal kepada Mahasiswa.  Rani sedih. Dia sungguh tak ingin membohongi dirinya sendiri dengan ikut seperti mereka. Rani tak pernah memimpikan akan kuliah seperti itu.

Sikap berbedanya ini membuat teman sekelasnya menjauhinya. Bagi Rani itu tak masalah. Dia tetap akan menjadi dirinya sendiri. Namun, Rani merasa tersiksa dengan menutupi apa yang telah terjadi. “Bagaimana wajah pendidikan Indonesia? Bagaimana mutu pendidikan Indonesia bila seperti itu adanya?” gumamnya membatin. Setiap malam selama UTS berlangsung, Rani tetap belajar dan membaca diktat-diktat semampunya. Dalam pikirannya terlintas keinginannya untuk mengadukan hal itu ke Dosen atau Dekan. Rani harus melakukan demi ketenangan hatinya.

***
Rani menghapus air mata yang terus menetes. Hatinya masih gamang. Apakah yang harus dilakukannya? Mengingkari janji ke semua teman sekelasnya atau mengadukan hal itu ke pihak universitas. Rani tak mendapatkan satu pun jawaban, hatinya bertambah resah. Malam seakan bertambah kelam, matanya menyusuri jalan beraspal, rumah, dan  pohon yang berderet. Rani seperti berada di atas jembatan yang di bawahnya terlihat jurang yaang begitu dalam. Kadang Rani benci dengan perasaannya sendiri. Mengapa dia harus merasa bersalah untuk hal yang tak dilakukannya.

“Dek, turun di mana?” tanya sopir angkot mengagetkan Rani.
“Di terminal Pak.”
“Ooh.”
Hanya sebatas itu obrolan antara Rani dan Sopir Angkot.  Setelahnya Rani membisu. Rintik hujan mulai menetes membasahi tanah yang kering. Lama sudah tak turun hujan. Hujan itu suatu anugerah bagi mereka yang saat ini menantikan. Seperti Rani yang menanti jawaban dari konflik batinnya. Harum tanah basah menyeruak. Mengisi lekuk-lekuk hati Rani yang sedang perih.

Ditemani hujan, Rani sampai di kamar kosnya yang sepi. Malam ini, Rani akan memohon kepada Allah, setelah selesai dari masa menstruasi. Di sepertiga malam yang gigil. Rani mulai bermunajat. Di luar, gemuruh hujan mulai terdengar. Angin kencang menggoyangkan pohon-pohon perkasa. Namun tak mengurangi kekhusuan doa Rani.

***

Hari terakhir UTS. Sore ini Rani merasa lebih segar. Kini, dia yakin apa yang harus dilakukannya. Selepas UTS Mata Kuliah Bahasa Inggris, Rani menemui Pak Doni, Pembantu Dekan di bidang kemahasiswaan.

“Maaf, Pak. Saya ada perlu dengan Bapak.”
“Oh, boleh. Mari masuk.” Pak Doni  mengajaknya ke ruangan pribadi Pak Doni.”
“Ada apa Rani?”
“Saya sebenarnya memberanikan diri menemui Bapak.”
“Ya, ada apa?”
“Saya mohon maaf sebelumnya Pak. Saya ...”
“Ada apa Rani?”
“Saya ingin mencurahkan isi hati saya Pak, boleh?”
“Boleh Rani. Silakan.”
“Saya kan baru ya pak, kuliah di sini. Saya juga baru ikut UTS pertama di sini, tapi saya kaget Pak, kok teman-teman sudah mendapat soal ujian sebelum ujian. Apakah di sini hal itu dibolehkan? Mohon maaf Pak.”
“Ya tidak Rani. Tidak dibenarkan. Sebenarnya isu tentang hal itu sudah lama terdengar dan sudah sering dibahas di rapat. Namun ternyata sekarang muncul lagi. Kalau dulu Dosen Pengawas yang menemukan, kali ini justru Mahasiswanya sendiri yang melaporkan.”
“Iya, saya awalnya ragu, tapi saya tersiksa sendiri Pak. Saya sampai tidak bisa tidur. Saya hanya ingin menyampaikan ini kepada orang yang tepat. Kalau ke orang luar Universitas, saya justru malu. Bagaimana pun ini adalah kampus saya.”
Rani mengehala napas. Suaranya mulai parau karena menahan tangis.
“Sebenarnya saya sudah berjanji ke mereka untuk tidak mengatakan ini kepada siapa pun, pak.” Rani tak kuasa menahan lagi. Gundukan kristal di kedua sudut matanya mulai meleleh. “Saya, serba salah Pak. Saya hanya ingin berbuat sesuatu yang benar. Sejauh ini saya berusaha jujur.”
“Rani, tidak perlu merasa begitu. Biasa saja menghadapinya.”
“Iya, Pak. Saya sedikit lega setelah menceritakan ini ke Bapak. Apa pun tindak lanjutnya itu kewenangan Pihak Universitas. Saya hanya ingin mencurahkan apa yang saya rasa Pak bukan bermaksud menjelekkan teman-teman saya.”
“Ya, untuk menyelidikinya pasti membutuhkan bukti-bukti, tapi saya akan menyampaikan dalam rapat bahwa ada laporan dari Mahasiswa mengenai hal itu.”
“Terima kasih Pak. Saya melakukan ini karena saya cinta kampus ini dan pendidikan di Indonesia, kalau begitu saya permisi ya, Pak. Terima kasih, bapak bersedia menerima saya.” ucapnya sembari menghapus air matanya.
“Sama-sama Rani.”

Rani meninggalkan ruangan Pak Doni dengan perasaan lega. Dia masih harus mengikuti ujian satu mata kuliah lagi. Apa pun yang akan terjadi, Rani sudah siap menghadapi. Baginya, kejujuran lebih utama, dan keberanian itu akan hadir seiring kebenaran. “Teman-teman, maaf! Aku telah mengatakannya. Percayalah, ini demi kebaikan kalian juga,” ujarnya dalam hati.

TAMAT

Cirebon,  04 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar