Senin, 17 Desember 2012

BAYANGANMU DI DIRINYA

Cerpen ini juga sudah dimuat di Radar Seni. Edisi Minggu,16 Desember 2012
http://radarseni.com/2012/12/16/bayanganmu-di-dirinya/

Malam hampir usai, aromanya menggelantung di ujung waktu. Sementara dingin masih menyergap tubuhku. Meninggalkan sensasi di pori-pori kulit. Menusuk menghujam jantung menambah rasa nyeri. Perih yang semakin menyiksa. Hening menjadi satu-satunya temanku. Aku benci suasana seperti ini, saat malam kelam menyeretku dalam ruang imajinasi. Mengarungi lautan ingatan. Menghanyutkan ke alam kenangan masa lalu. Aku tercekat, tenggorokanku terasa sakit. Bayangan gadis kecil berumur belasan tahun menguasai rongga kepalaku. Menari-nari menyudutkanku di pojok ruangan beku.

“Andini, cukup! Jangan siksa aku seperti ini,” gumamku lirih. Dia masih menggodaku dengan senyumnya yang manis dan celotehnya yang riang.
“Nad, besok ulang tahunku akan dirayakan di hotel loh. Kamu datang ya?” Dia menatapku lekat dengan wajahnya yang putih dan pipi yang memerah.
“Aku … aku … ingin sekali datang An, tapi …’
‘”Tapi kenapa?” Dia mulai memandangku dengan mata curiga.
“Besok, aku harus menemani mamaku di rumah sakit.”
“Ya … kalau kamu tak datang acaranya kurang seru dech.”
“An, aku bukan siapa-siapa. Kamu akan tetap bahagia kok tanpa kehadiranku.”
“Hmm, Nad, kamu itu temanku. Teman satu bangku, kamu selalu membantuku mengerjakan PR.”
“An, aku tak punya siapa-siapa lagi selain mamaku. Aku mohon kamu mengerti aku tak bisa datang, maafkan aku ya.”

Andini tak menjawab. Wajahnya terlihat kecewa. Aku tak suka melihatnya begitu. Dia sangat manja. Apa pun yang diinginkannya harus tercapai. Sementara dia sama sekali tak memahami keadaanku. Aku masih harus bekerja jualan kue sepulang sekolah. Apalagi sudah seminggu ini mamaku dirawat di rumah sakit. Dia sama sekali tak menjenguk.

***
Matahari begitu sempurna, memamerkan kecantikannya. Daun yang indah berkilau meliuk menari.  sementara daun gugur beterbangan seiring hembusan angin. Kulangkahkan kakiku menuju rumah sakit, siang ini aku tak akan berjualan kue. Sejak mama dirawat tak ada yang membuat kuenya. Aku merasa sangat sedih hari itu. Mama, satu-satunya orang yang menyayangiku. Satu-satunya keluargaku saat ini harus berjuang melawan penyakit kangkernya. Sementara papaku, aku tak tahu dimana keberadaannya. Mama tak suka aku bertanya soal papa.

Ruangan serba putih itu seperti mencengkeramku, kulihat mama terbaring lemah.“Nad, mama sudah tak sanggup lagi, maafkan mama sayang.” Air mata mama mulai menetes, merembes membasahi pipinya yang tirus.

“Ma, mama pasti kuat kok. Mama akan sehat lagi.” Mataku terasa sakit. Kutahan air mataku agar tak tumpah.

“Nak, Mama sudah menyerah. Hari ini kamu akan bertemu dengan Papamu. Mama tadi sudah menelepon  Papa untuk menjemputmu. Tak seharusnya kamu menderita selama ini. Maafkan Mama sayang.”

Kutatap lekat mama, kuhapus benda hangat di pipinya, “Ma, aku bahagia kok ikut sama Mama.”

“Iya Sayang, tapi umur Mama tidak lama lagi. Siapa yang akan menjagamu nanti?” mama membelai rambutku dengan tangan lemahnya. Aku merasa takut. “Benarkah aku akan sendirian? Tidak! Aku harus tetap di samping mama. Apa pun yang terjadi,” batinku perih. “Ma, Nadia tidak mungkin meninggalkan Mama.” Kuhapus bulir bening yang kini mulai menetes. “Nadia tak ingin Mama meninggalkan Nadia.”

“Sayang, semua yang hidup itu akan kembali pada-Nya, tak terkecuali Mama. Sakit hanya perantara saja. Ingat ya, apa pun yang kita miliki saat ini hanya titipan yang sewaktu-waktu akan diambil oleh yang punya.”

“Nadia … Mama, …” sura mama tiba-tiba hilang. Sekujur badannya terasa kaku. Napasnya pun tersengal. Aku mulai panik. “Mama … Mama!” teriakku dengan  mengguncangkan tubuh Mama.
Aku berlari menuju ruang dokter. Berapa menit kemudian aku kembali ke kamar perawatan mama dengan seorang dokter dan kulihat seorang laki-laki  yang sangat kukenal. Dia, papanya Andini. Dokter segera memeriksa mama dan setelah sebuah suntikan mendarat ke lengan mama keadaan mama kembali normal.

“Nadia, sini sayang.” Tangan Mama melambai lemah. Kulangkahkan kakiku segera. Dengan air mata yang menderas kupeluk erat mama. “Ma, Nadia takut. Jangan tinggalkan Nadia, Ma. Nadia sayang Mama.”

“Udah jangan nangis sayang. Mama juga sayang Nadia kok. Ini papa kamu.” Ucapan mama mengaketkanku. Pandanganku beralih melihat laki-laki itu. “Apa? Papaku?” tanyaku dalam hati.
“Mas, ini Nadia anakmu. Aku titipkan dia. Aku tak akan menyerahkannya kalau keadaanku tidak begini. Aku mohon kamu menyayanginya.” Dengan suara serak dan pelan mama  mengucapkan kalimat itu. Pandangan mama menusuk tajam ke arah mata laki-laki itu.

“Jadi, Nadia ini …” laki-laki itu tak meneruskan kata-katanya. Diarahkannya pandangannya ke arahku. “Dia anakku?”

“Kamu masih tak percaya Mas. Dia anakmu? Kamu pikir aku berbohong soal kehamilanku?” Suara mama agak meninggi. “Kenapa waktu itu kamu meninggalkanku tanpa kabar? lalu kenapa kamu bilang kamu keguguran saat kita ketemu?”

“Sudahlah Mas, tak usah bahas itu lagi di depan Nadia. Aku … , Nadia sini sayang, Mmama sudah gak kuat lagi sayang. Dia Papamu, hormati dia seperti kamu hormati mama ya?” Ucapan mama terbata. Kini tubuh mama terasa dingin. Menggigil.

“Mama .. Mama!” Teriakku sembari memeluk tubuh mama. Diam, tak ada sahutan. Aku masih memeluk erat tubuh mama saat laki-laki itu datang membawa dokter.

“Nadia, lepaskan pelukanmu dulu. Biar dokter memeriksa Mama.” Tiba-tiba aku benci suara itu. Suara laki-laki yang kata mama papaku.

Kulepaskann tubuh mama pelan. Aku terus mennagis. Aku takut, sungguh takut. “Nadia, Mama kamu sudah meninggal.” Suara dokter itu mengagetkanku. Aku histeris, “Tidak! Mama gak boleh meninggal. Gak boleh.”  Aku masih terus menangis. Kupeluk erat mama.  Semua terasa menakutkan. Aku seperti berlari di dalam lorong yang gelap. Senyap.

 ***
Taman bunga yang asri, kolam renang dan rumah bertingkat yang mewah. Di rumah itu kini aku tinggal. Rumah yang kuinjak sejak mama meninggal. Andini, tak lagi menjadi teman akrabku sejak aku pindah ke rumah ini, tapi justru menjadi orang yang paling membenciku. Aku tak pernah bisa memilih. Nyatanya Andini adikku.

“Kamu sama Mamamu sama saja. Sama-sama mengganggu kebahagiaan saya.”  Sura sinis dan tatap mata kebencian Tante Lidya menusuk hatiku. Tante Lidya istri tua papa. Papa menikahi mama tanpa sepengetahuan Tante Lidya. Menurut pengakuan Papa, menikahi Mama karena Tante Lidya tak bisa hamil. Siapa yang menduga bila dua bulan setelah kehamilan Mama, tante Lidya juga hamil. Mama meninggalkan Papa dan selalu mengatakan kalau mama telah menggugurkan kandungannya.

Setamat SMA aku memilih kuliah di luar negeri. Aku tak sanggup selalu dihina Tante Lidya dan Andini. Bagaimanapun Andini adikku. Sampai malapetaka itu datang. Roy, laki-laki itu penyebab Andini bunuh diri.

“Aku mencintaimu Nad. Tidak mungkin aku menikahi Andini. Aku tak mencintainya.” Dia menatapku lekat. Ada rasa sakit mengiris hatiku.

“Roy, aku juga mencintaimu. Kamu tahu, betapa sulitnya hidupku, tapi aku tak bisa menikah denganmu. Andini juga mencintaimu,” ucapku lirih. Dia menggengam tanganku erat. Matanya yang jernih menggetarkan dinding hatiku.

“Nad, kamu tak seharusnya berkorban terus untuk kebahagiaan Andini. Kamu juga harus bahagia.”
Aku terdiam.  Aku setuju dengan ucapannya. Namun, “Roy, aku tak bisa. Aku tak ingin terjadi sesuatu dengan Andini.”

“Hmm, lalu aku harus menikahinya, tak mungkin, Nad. Aku tak bisa. Kalau kamu tak mau menikah denganku. Aku pun tidak akan menikahi Andini. Sudahlah Nad, sia-sia aku menjelaskan padamu kalau selalu Andini yang kamu pikirkan.”

“Roy, tunggu!”

“Apalagi?”

“Kau mau ke mana?”

“Aku akan pulang dan mengubur semua keinginanku untuk menikahimu.”

“Roy, kamu tak mengerti.”

“Aku mengerti, karenanya percuma.”

Itu pertemuan terakhirku dengan Roy dan setahun kemudian kuterima undangan pernikahannya. Malam itu Andini mabuk dan menabrakkan dirinya.  Aku kehilanganmu Roy dan juga Andini.

***

Aku terhenyak. Kudengar gerimis membelah kesunyian. Sedang wajahku pun kini basah. Kenangan itu menghempaskanku ke jurang yang begitu dalam. Kuseka air mataku. “Aku sayang kalian berdua,” gumamku lirih, karenanya aku tak menerima Roy yang telah bercerai dan menemuiku mengajak menikah, demi kebahagiaan Andini di alam sana, dan aku masih setia dengan cintaku pada Roy. Hujan mulai menderas. Sederas air mataku. Aku tertatih memegang tongkat yang menopang tubuhku.  Di depan cermin aku berhenti. Kupandangi wajah keriputku. Di balik punggungku, aku melihat Roy dan Andini. Samar dan semakin jelas. Bayanganmu di dirinya. Selalu, mungkin sampai aku mati. ***

 Cirebon, 03 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar