Ini juga Cerpen lama saya, yang sudah pernah diposting di sebuah Grup di FB, masih belum sesuai dengan EYD
Hika, wanita 20 tahunan ini
sangat cuek, tak ada yang mencolok dari sikapnya kecuali gaya tomboynya, saat
pertama aku melihatnya aku menangkap sesuatu yang aneh sebenarnya, hanya aku
tak berani membiarkan pikiranku itu tambah meluas, dia ponakan bosku waktu itu,
sangat sopan itu yang terlihat, karena sangat jarang di zaman sekarang anak
seusianya mencium tangan saat berjabatan kepada orang lain kecuali orangtua atau
karena ada hubungan keluarga tapi ini dia melakukannya kepadaku yang baru
dikenalnya.
“Permisi mba, mau ketemu Pak Dude, ada mba”
sapanya
“Oh ada, tunggu sebentar ya,
masih ada tamu” jawabku
Aku yang saat itu menjadi Sekretaris Pribadi Pak Dude sangat tahu jadwal
bosku itu, di sela-sela Hika menunggu di ruanganku, aku banyak bertanya padanya.
“Dari mana ?” tanyaku
“Dari Bandung ?
“ooh, ponakan bapak ya” kataku
sok tahu, hehehe, sebenarnya bukan sok tahu sich tapi karena tadi Pak Doni
sudah memberitahuku. Pak Doni itu Orang kepercayaan Pak Dude.
“iya mba” jawabnya,
Setelah menunggu beberapa saat,
akhirnya tamu Pak Dude keluar, dan aku langsung saja lapor kalau diluar ada
Hika, Pak Dude langsung menyuruh Hika masuk. Ternyata Hika melamar kerja dan
langsung diterima tapi tidak sekantor denganku, di kota lain.
Beberapa kali kami sering berkomunikasi
saat dia berkunjung ke kantor, sangat menyenangkan sich berkomunikasi
dengannya, aku mencurigai sesuatu tentangnya tapi aku tak mungkin menanyakannya
langsung, sampai suatu ketika aku malah yang curhat padanya, karena beban yang
aku rasa tak bisa aku tahan sendiri, responnya sungguh bagus saat itu, dia
malah mengenalkanku sama omnya yang katanya punya kelebihan bisa membantu
mencarikan solusi, sore itu aku dan Hika berjanji ketemu omnya di sebuah rumah
makan.
Saat ketemu omnya Hika aku
merasakan ada penolakan dalam diriku, ada peringatan yang menyuruhku.“jangan
terlalu dekat, kau harus membuat batasan dengannya”, aku tak tahu apa itu, tapi
aku mengikuti kata hatiku.
Kini Hika menjadi teman yang
paling dekat denganku, karena sudah dua tahun ini, dia sekantor denganku, dia
cerita banyak masalah pribadinya tentang mantan-mantan pacarnya yang semuanya
menyakitkan hatinya, hmmm, karena munurutku Hika terlalu mudah jatuh cinta,
siapa yang berani jatuh Cinta harus siap juga sakit hati.
Pagi ini tidak menyangka Hika
tiba-tiba meneleponku
“Halo, Assalamui’alaikum...” kata
awal yang selalu aku ucapkan saat menerima telepon
“Mba udah berangkat belum”
“Belum nich, oh iya ka, kemarin
Bu Tiwi mengajak senam bersama loh, tapi aku sich udah menolak gak ikut” kataku
menawarkan ke dia kalo saja dia mau ikut.
“Gak mba, aku lagi gak enak
badan.” Ya udah ya mba ntar aku jemput
ke rumah”
Aku senang saat dia menawarkan
itu “ Bener nich mau jemput, ya udah aku tunggu ya” tapi ada kecemasan takut
terlambat sich, karena tadi Hika bilang dia masih ada di kosannya.
Aku merapikan kerudungku dan
segera menunggu Hika di teras rumah.
Tak berapa lama Hika datang
dengan motor yang tak biasa dia pakai, aku langsung tanya
“motor siapa tuch” belum dia menjawab aku sudah menyimpulkan itu
motor teman barunya Nadine.
“motornya temen mba” jawabnya
“motornya Nadine ya?”
“bukan mba, motornya Riza temen
kos” kata Hika
“ooh, jawabku. Dan langsung duduk
dibelakangnya.
Kalo sudah ketemu begini,
akhir-akhir ini pasti kami terlibat obrolan tentang Nadine, wanita manis dengan
sikap yang supel, sangat menyenangkan itulah kesan yang aku lihat saat pertama
Hika mengenalkannya padaku, memang wajar kalau Hika begitu memujanya, karena
nadine itu punya banyak hal yang menyenangkan, aku saja bisa langsung akrab
dengannya.
Nadine dikenal Hika melalui teman
lelaki Hika yang tadinya sich mau dicomblangkan temannya ke Hika, ternyata
malah hati Hika tertambat oleh sikap apa adanya Nadine, dan sungguh di luar
dugaan kalau Hika bisa cerita hal yang rahasia, yang selama ini hanya ke aku
saja dan omnya Hika berani berbagi, itu sich menurut pengakuan Hika suatu
ketika.
“Mb..... Mb... “ sapanya suatu pagi kebiasaan buruknya yang
selalu mengganggu pagi-pagi, tapi ya justru karena itulah aku kadang menjadi
bersemangat, senang mendengar dia berbagi cerita.
“apa, ada Apa ? aku berusaha
meladeninya walau kadang aku kurang fokus karena sembari bekerja
“aku baru kenal sama temannya
Aji, dia nice banget mba, dia bisa terima loh keadaan aku”
Alisku mengrenyit aku langsung
penasaran, karena selama ini wanita normal, hanya aku yang bisa menerima
keadaan Hika.
“oh ya masa’ sich”
“iya mb, aku cerita banyak sama
dia, Nadine itu suka fotografi, dia itu apa adanya” kata Hika panjang lebar
tentang pujian-pujiannya ke Nadine, membuat aku penasaran, tapi sebenarnya
feelingku mengatakan kalau Hika lambat laun akan menyukai Nadine seperti yang
lain.
Ya, Hika tak pernah lelah, walau
sering patah hati. Begitu semangatnya Hika sampai menyuruhku menilai foto Nadine”
Mba, lihat dech fotonya, what do
you think about her? Kata Hika yang lebih sering menyampaikan kata-katanya
diselipi bahasa inggris itu.
Aku gak pernah bisa menolaknya,
walau aku juga bukan psikolog atau peramal tapi mau tidak mau aku harus
menilai, hehehe... kalau sudah begini aku jadi serasa hebat. Tapi itulah Hika
yang selalu menganggapku bisa, padahal aku juga belum tentu benar.
Dari foto yang kulihat, aku
menyimpulkan :
“Dia sepertinya banyak omong
dech” Angkuh. Seperti anak yang nakal”
kataku pada Hika sok tahu hehehe.
Aku melihat wajah Hika berubah, saat
aku menyampaikan pendapatku, tapi aku segera meralatnya tapi belum tentu benar
loh” kataku, “soalnya fotonya seperti itu”. Posisinya mendongak begitu,
timpalku.
Beberapa hari ini pasti soal
Nadine yang kami bahas, tapi aku sungguh tak enak hati, karena sempat melakukan
penilaian yang salah, makanya saat Hika mengajak Nadine main ke rumah
malam-malam saat pertama, aku langsung menyampaikan permintaan maafku.
“ka, ternyata mba salah nilai
kok, dia baik, wellcome, menyenangkan, kataku”
Hika malah jadi salah tingkah,
karena tiba-tiba aku menyinggung itu, untuk meluruskan keadaan aku langsung
bilang ke Nadine
“maaf ya nadine, kmaren mba salah
menilai fotomu, habis fotonya gitu sich” terangku.
“ooh, gitu mba” kata Nadine,
masih tak mengerti, akhirnya Hika menjelaskan.
“Iya, kemaren mba sama aku lihat
fotomu di Fb sama Twitter, terus tanya tentang kamu ke mba”
“iya Nadine, fotonya ganti dech
jangan yang itu” kataku. Karena emang di Fotonya terlihat judes banget, padahal
orangnya gak seperti itu.
Sejak kejadian malam itu, antara
aku dan Nadine tak ada komunikasi kecuali Hika yang sering menceritakannya.
Jam makan siang Hika mengajakku
makan, dia ingin banget mentraktirku katanya, memang Hika sudah berjanji akan
mentraktir di hari ulang tahunnya, tapi aku memang susah kalau diajak keluar
kantor disaat jam kerja, akhirnya aku mengiyakan tapi di jam istirahat.
“mb, ayolah aku kan udah janji
mau traktir mba”
“iya, tapi nanti dulu ya, kan
belum jam istirahat kataku”
Aku selalu gak enak keluar kantor
sebelum jam istirahat, makanya Hika selalu bilang ke aku kalau aku orangnya
sangat disiplin.
Hika menelepon Nadine, Hika ingin
kami makan bertiga, aku sich gak mikir apa-apa lurus saja, aku pikir Hika ingin
aku lebih mengenal Nadine, teman barunya itu.
Aku dan Hika naik motor
berboncenagan menuju rumah Nadine yang kebetulan gak terlalu jauh dari kantor
kami, tapi Hika tak berani ke rumahnya, kami menunggu di gang dekat rumahnya.
Saat Nadine muncul dari balik
gang aku terkaget melihat reaksi mukanya yang tiba-tiba pucat melihatku, “apa
yang aneh sama aku pikirku” aku sama sekali gak paham. Tapi mungkin karena ini
pertama kalinya dia melihatku pakai pakaian kantor dan kerudung, biasanya dia
kerumah aku tak berkerudung. Dia memandangi wajahku dan langsung bersalaman
sambil mencium tanganku, mukanya masih terlihat pucat.
Kami langsung menuju warung baso,
disana kami mulai mengobrol, tapi baru saja baso panas disajikan, aku terkaget.
“Mba aku pinjem Hika ya”
“Pinjem maksudnya? Tanyaku tak
mengerti”
“Iya aku sama Hika”.... Nadine
tak meneruskan kata-katanya, tapi aku sudah menangkap ada sesuatu antara
mereka.
“Hmmm... apa kalian berdua sudah
......” aku tercekat...
Nadine masih dengan muka pucat
dan Hika juga dengan muka bersalah menjawab
“Iya, kami udah jadian mba, “maaf
ya mba” kata Hika lagi, maaf aku gak bilang sama mba
“Nadine bilang kalau dia pengen
ngomong sendiri” kata Hika dengan muka dan nada yang tidak enak
“Maaf ya mba” Hika ulang lagi.
Hika merasa tak enak karena ini kali pertama dia tak berbagi denganku.
Aku berusaha menetralisir keadaan
itu, aku memang kaget tapi sebenarnya aku sudah menduga hal itu, ya saat
bagaimana Hika menceritakan tentang Nadine. Hanya aku sampaikan harapanku
terhadap hubungan mereka, ya cinta dan sayang boleh dimiliki siapa saja,
termasuk antara wanita dan wanita, tetapi aku ingin Nadine yang terakhir untuk
Hika, dan Hikapun sebaliknya.
Kalaupun mereka menjalin hubungan,
pada akhirnya akan sakit, karena budaya, tradisi, agama dan negara tidak akan
melegalkan hubungan seperti itu, tak ada satu manusiapun yang memilih untuk
menjadi Lesbian, apalagi Hika, dengan latar belakang keluarga yang sangat
menyedihkan, ibunya menikah tiga kali, ayahnya menikah tiga kali juga, Hika
kecil harus menerima nasib diasuh ayahnya karena ibunya bercerai dengan ayahnya
dan memilih menjadi TKW, belum lagi Hika mengalami pelecehan seksual dari pamannya
sendiri di waktu kecil.
Apapun keadaan Hika, kita tidak berhak
menghukumnya, itu yang membuatku mampu mengertinya, Semoga Hika akan menemukan
jalan untuk kembali ke kodratnya sebagai wanita seutuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar