Selasa, 22 Desember 2015

MASIH TENTANG KAU

(1)
Kau terdiam. Mengamati lalu lalang orang yang berjalan. Ah, kau begitu gundah. Ada luka yang begitu nganga di dadamu. Entah, apa yang menyebabkan kau begitu menderita. Sedang air mata pun lelah menyapa. 

Di sini kaucoba mengkaji diri. Mencari berjuta sepi tuk menemani. Kau hanyalah buih yang tergulung ombak lautan. Selamatlah engkau bila mengerti dan memahami hakikatnya kau ada di sini. Di dunia ini.

(2)
Untuk air mata yang berkali kautumpahkan yakinlah akan membuatmu semakin tangguh. Tak ada yang sia-sia dari semua penderitaan. Percayalah yang terbaik akan selalu ada untukmu, menemani sampai musim-musim berganti.

(3)
Kau merangkum sepi-sepi untuk menjadi cahaya. Agar hatimu terang. Ya, hanya cara itu yang bisa membuatmu bertahan.

Di kesepian itulah kau merenung, menahan sembilu di hatimu. Meyakinkan dirimu bahwa kau bisa melaluinya, ya, sebab perjalananmu masih panjang.

Masihkah kau menyimpan banyak stok air mata? tanya angin yang nenerpa wajahmu. Kau tergugu, semestinya masih, sebab hanya ialah satu-satunya yang menemanimu menengadah, mengharap pada Pemilikmu. 

Ia pula yang selama ini mendamaikan hatimu di segala aroma luka. Ah, tapi malam ini entah ke mana ia pergi. Mungkin ia tak ingin menemani. Ia ingin kau menyelesaikannya sendiri.

(4)
Semestinya kaupanen bahagia, namun karena kesalahan yang tak kausengaja, maka hampalah segala rasa. 

Ya, kau hanya bisa berpasrah. Apalah hendak dikata bila malam telah berganti menjadi hukuman atas kesalahan. 

Maka, kau tegar-tegarkan hatimu. Memunguti keping-keping bahagia yang tercecer pada bingkai wajah. Sebab kata-kata tak lagi berdaya meluluhkan rasa marah. 

Biarlah kaupaksa hatimu mengerti bila malam ini akan kauhabiskan dengan air mata, itu pun bila ia ada.

(5)
Seseorang pernah berkata padamu bahwa kau tak dilahirkan hanya untuk menderita. Ya, kau juga tahu,  tapi siapa yang mau memanen air mata di segala musim? tak ada orang ingin berada di dalamnya, tapi bagaimana bila kehidupan membawamu ke sana? Kecuali kau menerima dan menikmatinya.

(6)
Tak pernah ada yang lupa kautoreh pada dedahan kata-kata. Selalu saja kauterjemahkan semua rasa. Begitu mudah menemukanmu di setiap hurufnya.

Kau merasa takdir membuatmu harus mengalah, merelakan kebahagiaan berlari menjauhimu. Tak ada yang tahu bagaimana pedihnya hatimu. Tidak juga orang-orang yang katanya mencintaimu. 

Kau masih bertahan, melewati panas dinginnya hari-hari. Berkali jatuh dan bangkit lagi. Sendiri mengumpulkan bayang-bayang untuk kauajak memunguti kenangan. 

Ah, hanya itulah caramu untuk tetap hidup dalam pijar dua hati. Harapmu suatu saat nanti ada yang menyadari bahwa hidupmu berarti.

(7)
Subuh datang dengan sendu meninggalkan malam yang membuat pilu sedang matamu yang enggan terpejam sudah tergenang oleh banjir kesedihan. 

Ah, kau masih saja terjaga mengamati pertanda. Adakah seseorang yang kausayangi memberimu kejutan?

Kau termangu sebab seharusnya kau tahu. Bahwa tak ada harapan yang bisa kautunggu. Kau memang menanamnya tapi tak tumbuh. 

Lihatlah, hatinya membiru. Mungkin dia juga tak bisa sembuh sepertimu.

(8)

Sore yang menjelang di sini membawa aroma luka. Mengajarkan padamu arti kehilangan, kesakitan, dan kesedihan.Ya, setiap kali rasanya tidak sama tapi yang terpenting kau tak terus meratapi.

Esok kau harus kembali menunaikan segala kewajiban, hampir sebulan kau terkurung dalam ketakberdayaan. Cukuplah, usah kautambah. 

Hiduplah untuk dua hati, hanya mereka yang kaupunya. Saat mereka mengerti mereka akan tahu bahwa ibunya bukan wanita biasa.

(9)
Ada cerita usang yang mengetuk ingatan. Menenggelamkan binar matamu dalam lautan. Ah, kau tak ingin hanyut. Maka kaulakukan segala daya tuk sampai ke pantai. Di sana nanti kau dapat rasakan hamparan pasir putih. Rebahlah dan biarkan gelombang laut membawamu.

(10)
Pada malam biasanya kau mengaduh. Pekatnya yang membuatmu luruh. Kau mengeja detik yang terus merangkak. Sedang dirimu masih tetap di sana.  Diam dalam hampar yang sering membuat matamu berkabut. Ya, kau telah memilih. Seharusnya kau tahu hari-hari berikutnya akan hujan. Yang kauperlukan kesabaran dan keikhlasan bermain dengan rinainya. Kau tak akan menggigil karenanya. Yakinkan hatimu. Itu saja.

(11)
Kehilangan selalu saja membuatmu berurai air mata. Entah, ini kehilangan yang ke berapa. Kau selalu menganggap mereka berarti. Menempati bilik-bilik di hatimu. Tak mungkin terlupa, sebab kata-kata akan terasa tanpa makna bila tak ada yang membacanya. 

Maka, kau goreskan kisah mereka, satu per satu dalam lembar-lembar yang kau tata rapi. Saat kau membacanya, ada senyuman dan kenangan mereka menyembul. Membuatmu tersenyum simpul. 

Mereka memang pergi dari pandanganmu, tapi mereka tidak pernah pergi dari hatimu. Tidak akan pernah. Mereka yang hadir sekilas atau yang membuat hari-harimu penuh warna. Mereka telah menjadi bagian hidupmu.

(12)
Kau sering tersekap gundah. Sedang mampumu memintal kata-kata. Entah sudah berapa banyak kaucoreti dinding hatimu agar tak lagi pilu. 

Ah, kau pasti bisa, menenun air mata menjadi kain bermotif bunga. Lalu kauberikan pada sepasang merpati. Agar hangat dan keindahannya membuat senyum ranum di kedua wajah mereka. 

Bukankah hanya itu yang kaubisa?

(13)
Kadang kau perlu menggauli kenangan. Bukan untuk meratapi, tapi untuk membuatmu mengerti. 

Fase hidup yang tidak mudah semestinya menyadarkanmu bahwa kau orang terpilih. 

Semakin banyak duri yang menancapi kakimu semakin membuatmu kuat.

Tak ada lagi rasa perih sebab kau tahu bagaimana caranya mengobati.

(14)
Siang ini mendung, tak apa, asal jangan mendung di hatimu. Hadirkanlah cahaya dari dalam dirimu agar tak redup. Sebab hari-hari berikutnya mungkin hujan. Maka hangatkan dirimu dengan cahaya itu.

(15)
Mari pulang, menuntaskan rindu yang terhalang mimpi. Esok rindu itu akan mendekapmu lagi. Ketika matahari mulai menyembul malu-malu, langkahmu gegas menuju harapan untuk mereka yang kaukasihi. 

Maka ketika senja menjelang matamu berbinar melihat rindumu menemukan muaranya. Dua wajah dengan senyum paling manis di dunia.

(16)
Sudah berapa lama kau berlari? meninggalkan pedih yang menguliti hati. Apakah kau telah lelah hingga kembali pada dekap sia-sia. Mendadak ada yang menderas dalam anganmu. Segala kenang yang kaumulai dari sini. Ah, tak usah menangis. Bersyukurlah bahwa pernah ada bahagia walau sementara.

(17)
Masih ada yang terasa luka bila menatapnya. Sebab indah yang dia beri begitu sempurna. Entah apa yang membuatmu lupa bahwa segalanya hanya fana. Seharusnya kau tersadar. Dari pertemuan itu kau belajar. Dua sisi selalu datang berjajar. Bahagia dan luka. Senang dan kecewa. Lalu bila kini ia tak hendak bersamamu lagi. Pantaskah kau menangisi? semestinya kau tersenyum sebab cintanya dulu begitu ranum.

(18)
Pada detik-detik yang bergerak kau tersentak sebab tak ada lagi hentak. Gairah itu telah padam seiring hatimu yang remuk redam. Ah, Pemilik siang dan malam. Hanya pada-Nya kau mengharap kabar. Entah itu melalui siapa. Namun yang mampu membuatmu menyala dengan binar bahagia.

(19)
Dini hari yang runyam. Kata-kata menjadi senjata. Begitu tajam kadang membuat luka yang dalam. Ah, mungkin memang tak perlu ditanggapi. Sebab tak pernah ada ujung dari perdebatan. Maka mengalah saja. Lebih baik begitu sebab mengalah bukan berarti kalah.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar